Jakarta (ANTARA News) - Di tengah perkembangan teknologi, industri kerajinan perak di Indonesia masih mengandalkan tangan untuk proses produksinya, sehingga mampu berdaya saing di pasar internasional karena memiliki berbagai keunggulan seperti desain dan kualitas produknya

“Ini salah satu bukti talent kita yang tetap kompetitif. Di industrinya, sektor ini punya nilai tambah tinggi. Mulai dari bahan baku sampai barang jadi, nilai tambahnya bisa mencapai di atas 50 persen,” kata Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto melalui keterangannya diterima di Jakarta, Sabtu.

Airlangga menyampaikan hal itu ketika mengunjungi sentra pengrajin perak di Kotegede, Yogyakarta.

Menperin menjelaskan, Kotagede merupakan salah satu klaster atau kelompok industri kerajinan perak yang sudah lama dikenal dan masih lestari. 

Untuk itu, Kementerian Perindustrian mendorong sektor yang mayoritas skala industri kecil dan menengah (IKM) ini ke arah klaster karena para pelaku usahanya akan mudah mendapatkan bahan baku dan memasarkan produknya.

“Bahkan, kompetensi para pengrajinnya akan semakin meningkat karena mereka berkumpul. Ini bisa terus menjaga keberlangsungan produktivitasnya. Konsepnya adalah one village one product, jadi perak menjadi kekuatan Kotagede. Di tempat lain juga ada, seperti yang berbasis produk kulit,” paparnya.

Airlangga menyampaikan, industri kerajinan sebagai salah satu sektor yang tengah diprioritaskan pengembangannya. 

Alasannya, karena mampu menghasilkan nilai tambah tinggi, berdaya saing global, berorientasi ekspor, menyerap banyak tenaga kerja, serta didukung dengan ketersediaan sumber bahan baku yang cukup.

Berdasarkan catatan Kemenperin, industri kerajinan di dalam negeri lebih dari 696 ribu unit usaha dengan menyerap tenaga kerja sebanyak 1,32 juta orang.

Sementara itu, sampai dengan November tahun 2017, nilai ekspor produk kerajinan tahun 2017 berada di angka 776 juta dolar AS, naik 3,8 persen dibanding tahun 2016 sekitar 747 juta dolar AS.

Salah satu showroom kerajinan perak yang masih eksis di Kotagede adalah HS Silver yang telah berdiri sejak tahun 1953. 

Di showroom, HS Silver tidak hanya memajang produk saja, tetapi juga menyediakan ruang workshop. Para pengunjung bisa melihat secara langsung proses produksi kerajinan perak yang dibuat secara handmade oleh para pengrajin.

Direktur Pengembangan dan Bisnis HS Silver, Artin Wuriyani menuturkan, awalnya usaha kerajinan perak yang dirintis oleh sang pemilik Harto Suhardjo ini memiliki 10 karyawan. 

Saat ini, HS Silver telah menyerap tenaga kerja sebanyak 86 karyawan dengan menggandeng 200 pengrajin perak. Selain di Yogyakarta, HS Silver juga memiliki showroom di Bali.

“Kami juga mencari para pengrajin di luar Kotagede, seperti di Wonosari dengan memberikan pelatihan. Kami memberdayakan masyarakat di sana, khususnya para perempuan,” ujarnya.

Dalam pengembangan bisnis, HS Silver terus meluncurkan inovasi desain produk dengan berbagai tema yang disesuaikan tren dan selera pasar. 

“Misalnya tema air, kami angkat seperti bentuk rumput laut dan ikan,” imbuhnya.

Artin pun menceritakan, sang pemilik menekuni bisnis kerajinan perak di Kotagede ini sebagai salah satu upayanya meneruskan warisan budaya Tanah Air.

“Karena sejak zaman Mataram Kuno, daerah ini banyak para pengrajin perhiasan,” terangnya.

Produk-produk HS Silver telah mampu menembus pasar ekspor, antara lain ke negara-negara Eropa, Timur Tengah, Asia, dan Amerika Serikat. 

“Kita unggul karena handmade. Seperti di Eropa, mereka sangat senang dengan filigree, yaitu kerajinan perak yang bentuknya benang-benang disusun menjadi suatu model,” jelasnya. 

HS Silver juga menghasilkan kerajinan perak berbentuk solid seperti gelang.

Pewarta: Sella Panduarsa Gareta
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2018