Semarang (ANTARA News) - Pengamat ekonomi Tony Prasetiantono mengatakan kenaikan suku bunga acuan bisa menjadi salah satu upaya yang dilakukan bank sentral untuk menekan perlemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.

"Jangan alergi dengan menaikkan suku bunga karena ini bagian dari taktik jangka pendek," kata Tony dalam acara diseminasi Laporan Perekonomian Indonesia 2017 di Semarang, Rabu.

Tony mengatakan kenaikan suku bunga acuan dari saat ini sebesar 4,25 persen bisa menjadi alternatif bank sentral untuk menjaga fluktuasi kurs rupiah yang sempat menyentuh Rp13.900 agar tidak sepenuhnya bergantung dari cadangan devisa.

"Kalau naik setidaknya 25 basis poin, mudah-mudahan rupiah masih terselamatkan," katanya.

Tony menyayangkan apabila cadangan devisa yang pada akhir Maret 2018 tercatat sebesar 126 miliar dolar AS kembali tergerus dan hanya dimanfaatkan untuk menahan perlemahan rupiah yang terdampak oleh tekanan global.

Ia mengatakan terdapat dua alasan kenaikan suku bunga acuan yaitu karena saat ini investor selalu berupaya mencari pasar baru untuk investasi dengan suku bunga kompetitif.

Padahal saat ini mulai memasuki era kenaikan suku bunga acuan seperti yang dilakukan Bank Sentral AS dalam merespon membaiknya kondisi perekonomian di negara tersebut.

"Banyak debitur yang melunasi kredit bank dan gantinya menerbitkan `bonds` di bursa efek dengan bunga lebih kompetitif," katanya.

Selain itu, alasan lainnya adalah jarak yang makin menipis antara inflasi yang pada akhir tahun diperkirakan mencapai 4,0 persen dengan suku bunga acuan saat ini 4,25 persen.

"Kalau selisihnya terlalu tipis, ujung-ujungnya orang akan menarik deposito dan membeli dolar AS atau saham," ujarnya.

Ia menyakini dengan kenaikan suku bunga acuan tersebut maka pergerakan kurs rupiah terhadap dolar AS dapat lebih terkendali.

Tony juga optimistis pergerakan rupiah masih bisa berada pada kisaran Rp13.600-13.700 per dolar AS pada akhir tahun karena investor percaya dengan stabilitas ekonomi Indonesia seiring dengan kenaikan peringkat utang.

"Investor juga berpikir jangka panjang karena Indonesia ratingnya naik," ujar pengajar Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada ini.

Baca juga: Menko Darmin optimistis rupiah tenang kembali

Pewarta: Satyagraha
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2018