Jakarta (ANTARA News) - Tiba-tiba sang Tokoh beranjak dari kursi kemudian berdiri di atas meja seraya berteriak lantang membelah langit-langit ruang pertemuan, "Mari berpesta, Mari bertarget, menghadapi Pesta Olahraga ke-18." Hiruk pikuk dalam hitungan detik, ratusan pasang mata mengarah kepada dia yang empunya suara.

Ujaran Sang Tokoh sontak diamini oleh khalayak yang hadir saat itu. Bagaikan koor dalam Katedral yang melantunkan tembang-tembang sarat notasi surgawi, hadirin ramai-ramai menjawab dengan olah vokal seragam, "Selamat datang, selamat datang Pesta Olahraga Asia ke-18. Selamat datang negara-negara peserta di Jakarta dan Palembang."

"Kapan dan bilamana pesta itu diadakan? Akankah seremoni pembukaan seagung rombongan pendeta berarak masuk ke gerbang perjamuan suci? Ingat ya, saudara-saudari, pesta olah raga dapat diibaratkan sebagai oase di tengah padang gurun," kata Sang Bijak yang duduk berseberangan dengan Sang Tokoh.

Setelah mendengar dan mencermati ujaran Sang Bijak, beringsut Sang Tokoh turun perlahan dari meja. Ia duduk di bangku, kemudian merapikan rambut dengan gerakan menyisir menggunakan kelima jari tangan.

Tidak ingin kehilangan panggung, Sang Tuan Rumah mengambil pengeras suara kemudian berkata, "Di sini kita hadir, di bawah panji tukar pendapat bertajuk KitaAsianGames 2018, Target versus Pesta. Sila mengemukakan gagasan seluas mungkin, sedalam sumur tanpa dasar. Karena kita tercipta sebagai makhluk yang berolahraga, karena gerak pertama saat kita lahir dari rahim ibu, sejatinya gerak tangan dan kaki."

Sang Tokoh, Sang Bijak, dan Sang Tuan Rumah sedang ramai-ramai membincang Pesta Olahraga ke-18 yang akan diadakan di Jakarta dan Palembang. Tunggu...ada satu tokoh yang merugi bila tidak disebut perannya. Dia Sang Generasi XYZ.

Mata peserta diskusi terarah kepada Sang Generasi XYZ. Apa yang hendak mereka sampaikan - untuk memutus kredo bahwa mereka lebih akrab bergumam dalam gadget dan berharap saluran wifi lancar jaya, ketimbang berkomunikasi orang per orang di kedai kopi - merespons judul diskusi, Target versus Pesta.

Salah satu dari Langgas Generasi XYZ itu berujar, "Bro and sists, lebih afdhol kita menyaksikan tayangan video plus audio mengenai Asian Games 1962. Ini bukan kami bersuka dengan serba memori membuai dari masa lalu."

Sang Tuan Rumah sontak menjawab, "Mainkan, mainkan video dan audio. Hadirin cermati...setelah itu berkomentar atas nama perspektif dengan huruf besar."

Pembuka tayangan, diisi dengan intro membahana dari pidato sang Proklamator Indonesia, Ir Soekarno, "Kita tunjukkan pada dunia bahwa Indonesia bangsa yang besar. Yang mampu maju ke muka, memimpin pembebasan bangsa-bangsa di dunia menuju dunia barunya."

Hadirin yang datang kemudian membuka kemudian membolak-balik halaman demi halaman lembar informasi mengenai tayangan berdurasi delapan menit mengenai Asian Games 1962, yang diselenggarakan di Jakarta pada 24 Agustus sampai dengan 4 September1962.

Sebanyak 18 negara dengan 1.460 atlet berlaga di 15 cabang olahraga yang dipertandingkan. Soekarno menunjuk "Kampung Senayan" untuk membangun Stadion Utama Gelora Bung Karno, wisma-wisma atlet, dan sejumlah gelanggang olah raga lain di sekitarnya.

Para peserta mengikuti paragraf demi paragraf penjelasan tertulis. Mereka tercekat dalam satu pertanyaan, mengapa Soekarno menggelontorkan dana demikian besar demi menunjang kegiatan olah raga?

Narasi tayangan terus berlangsung kemudian terdengar, "Ia (Soekarno) mampu menjawab dengan mudah. Di matanya, olahraga merupakan salah satu alat perjuangan bangsa. Dengan berkiprahnya Indonesia di dunia olah tubuh, Indonesia  akan mampu berbicara kepada dunia."

"Saat itu, Indonesia diwakili 290 atlet terbaik. Soekarno boleh berbangga diri, Indonesia mampu berada di peringkat kedua, di bawah Jepang. Hasil perolehan akhir medali Asian Games Indonesia berhasil menyabet 21 emas, 26 perak, dan 30 perunggu."

Tidak menunggu lama, tayangan dilanjutkan dengan diisi skenario pembukaan Asian Games 2018. "Acara pembukaan akan melibatkan sekitar 6.000 artis, musisi, penari, tim kreatif, teknisi dan produksi."

"Panggung berukuran panjang 120 meter, lebar 30 meter, serta tinggi 26 meter yang dibuat secara manual oleh perajin asal Bandung dan Jakarta akan menjadi bagian dalam acara pembukaan pesta olahraga Asia. Tempat pertunjukan tersebut siap dihias dengan flora khas Indonesia, sekitar 12 ribu tanaman dan bunga akan mengisi panggung."

Hadirin berdiri kemudian bertepuk tangan bersetuju. Tidak lama, karena tayangan selesai. Sang Tokoh mengajukan pertanyaan, "Bagaimana suara dan pendapat dari para wakil rakyat dan pemerintah mengenai target medali di Asian Games tahun ini?"

Sang Generasi XYZ tanpa menunggu lama menjawab dengan ketangkasan mengunduh informasi. "KONI Pusat menetapkan target 16 emas. Jumlah ini sama seperti yang diinginkan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla."

"Di lain pihak, KONI Pusat menegaskan bahwa kita berpeluang mendapat lebih dari 16 emas, bahkan mampu mendapatkan 22 emas. Sejak Asian Games 1962 hingga Asian Games 1990, Indonesia selalu berada di peringkat teratas perolehan medali."

"Hanya saja, kini Indonesia tertinggal dari tiga negara Asia Tenggara, yakni Thailand, Malaysia, dan Singapura."

Sampai kalimat pamungkas itu, hadirin bergumam, "Wah...wah...Target tidak jarang melenakan mereka yang merindukan kreativitas yang lahir dari makna olah raga sejatinya."

Tersengat oleh gumam hadirin, diskusi kemudian bergeser dengan topik Target versus Pesta dalam Asian Games 2018. Sang Narator naik ke panggung kemudian mengambil alat pengeras suara untuk menjelaskan tiga hal yang tidak bisa diabaikan dalam setiap pesta olah raga.

"Pertama, olah raga merupakan upaya untuk mengambil jarak terhadap roda kehidupan yang formal dan serius. Dengan olah raga yang intinya permainan, individu atau kelompok dalam tim, dibebaskan untuk berimprovisasi dengan kemungkinan-kemungkinan baru. Bebas bersikap dalam berolahraga menyuburkan kreativitas."

"Kedua, olah raga merupakan aktivitas yang mengakrabkan hubungan antar pribadi, antar negara, agar berkembang subur optimisme membangun perjumpaan antar pribadi."

"Layaknya sastra, olah raga yang dihidupi dari tanah subur kreativitas, bagaikan derai tawa kegembiraan dan torehan kesedihan dari kekalahan. Olah raga itu mengguncang, menghadirkan sesuatu yang tidak terpikirkan, serentak memesona karena para atlet terpacu lebih cepat, lebih tinggi, lebih berprestasi. Semua itu memesona dan menyentuh inti diri."

Sang Narator mengakhiri tiga butir simpulan diskusi Asian Games 2018, Target versus Pesta. Katanya, "Hadirin, silakan keluar dari gedung ini. Mari kita ikut dan meriahkan Pawai Obor Asian Games di berbagai kota seluruh Indonesia."

"Yuk kita berpesta..."

Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2018