Jakarta (ANTARA News) - Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Ahmad Basarah menyatakan menghormati proses hukum terhadap terdakwa kasus penodaan agama Meiliana meski menurut dia sebenarnya masalah itu bisa diselesaikan secara musyawarah mufakat.

"Masalah tersebut (kasus Meiliana) sebenarnya bisa diselesaikan dengan musyawarah dan mufakat, tidak harus dengan menggunakan pendekatan pidana. Hukum pidana adalah pilihan atau opsi terakhir dan sering disebut juga dengan istilah ultimum remedium," kata Basarah di Jakarta, Kamis.

Meski demikian, ia menghormati upaya hukum yang dilakukan oleh setiap pihak yang ingin mencari keadilan. Ia menghormati putusan Pengadilan Negeri Tanjung Balai yang memvonis Meiliana dengan hukuman 18 bulan penjara sekaligus menghormati upaya banding yang diajukan Meiliana ke Pengadilan Tinggi Sumatera Utara.

Basarah berharap ke depan tidak semua masalah di masyarakat, apalagi yang menyangkut hubungan antarumat beragama, harus diselesaikan melalui jalur formil legalistik ke pengadilan. Menurut dia bisa dikedepankan mekanisme musyawarah mufakat atau yang dalam bahasa hukum disebut jalan keadilan restoratif (memulihkan  dan mengakomodir kepentingan semua pihak)

Sekretaris Dewan Penasihat Baitul Muslimin Indonesia itu juga berharap Majelis Hakim Pengadilan Tinggi  Sumatera Utara dalam memutus masalah itu tetap menjaga kemandirian dan berada di atas kepentingan semua golongan demi menjaga persatuan dan toleransi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 

"Idealnya tiap putusan hakim memuat tiga hal, yakni kepastian hukum, manfaat atau daya guna, dan yang paling penting adalah keadilan bagi sebanyak-banyaknya orang. Hukum harus ditegakkan dengan adil. Jangan sampai hakim dalam memutuskan perkara dipengaruhi oleh tekanan publik," terang Basarah. 

Wakil Ketua Lembaga Amil Zakat, Infaq dan Sadaqoh Nahdlatul Ulama (LazisNU) ini  juga meminta majelis hakim Pengadilan Tinggi Sumatera Utara yang akan mengadili banding Meiliana juga memerhatikan asas perlakuan yang sama dan adil di hadapan hukum (equality before the law) dikaitkan dengan vonis delapan orang perusak vihara dan klenteng di Tanjung Balai, Asahan, Sumatera Utara yang berkisar antara 1,5 bulan sampai 2 bulan 18 hari.  

"Perlakuan yang adil ini akan mampu menjaga kepercayaan masyarakat kepada muruah lembaga peradilan," kata Basarah.

Pada bagian lain Basarah juga mengutip perjuangan dan sikap KH Abdurrahman Wahid yang akrab disapa Gus Dur dalam membela semua umat beragama dan kelompok mana pun yang merupakan bagian dari bangsa Indonesia.

Gus Dur, sambung Basarah, dalam tindakan dan sikapnya selalu menunjukkan pesan Islam secara damai. Apa yang disampaikan oleh Gus Dur bukan hanya sebatas retorika, melainkan diterapkan dalam bentuk tindakan. 

"Bagi Gus Dur yang perlu dibela adalah mereka yang terancam atau mengalami penindasan di seluruh aspek hidupnya, baik politik, ekonomi, budaya dan agamanya. Dalam melakukan pembelaan, Gus Dur juga tidak memandang latar belakang suku, agama, ras dan antargolongan. Teladan inilah yang harus kita contoh dan kita ikuti," kata Basarah.

Menurut dia, kasus Meiliana bisa terjadi terhadap siapa pun dan dari golongan agama apa saja. Oleh karena itu, pemerintah harus mengefektifkan sistem pembinaan umat beragama di semua daerah dengan melibatkan  tokoh-tokoh agama dan ormas-ormas keagamaan.

"Fungsi lembaga pembinaan kerukunan antarumat beragama tersebut seharusnya dapat menjadi mediator penyelesaian secara musyawarah mufakat jika terjadi perselisihan antarumat beragama di seluruh wilayah Indonesia," katanya.

Baca juga: Amnesty International: UU Penodaan Agama bermasalah dan perlu dibatalkan

Baca juga: F-PKS tak setuju aturan pencegahan penodaan agama dihapus

Pewarta: Jaka Sugiyanta
Editor: Sigit Pinardi
Copyright © ANTARA 2018