E-commerce lokal berisi banyak penjual dari penjuru Indonesia yang sudah seharusnya juga membayar pajak atas penghasilan yang mereka dapat dari berjualan online.
Jakarta, (ANTARA News) - Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) mengharapkan perlakuan perpajakan yang adil dalam sektor perdagangan daring atau e-commerce yang aturannya saat ini tengah digodok pemerintah.

Ketua Dewan Pembina idEA Daniel Tumiwa yang dihubungi di Jakarta, Jumat, menjelaskan sejatinya aturan-aturan yang tengah digodok pemerintah harus juga berlaku bagi pemain asing yang beroperasi di Indonesia, bukan hanya terhadap pemain e-commerce lokal.

"Yang harus diatur yang asing dulu karena yang lokal ini sudah jadi pahlawan dan membangun Indonesia, membuka kesempatan bekerja dan secara teratur melakukan pelaporan pajak mereka masing-masing," katanya.

Daniel menyebut hal-hal yang ia sebutkan justru banyak tidak dilakukan oleh pemain asing yang beroperasi di Indonesia. Padahal pemain asing seperti Facebook dan Instagram telah banyak dimanfaatkan penjual online untuk beriklan dan berpromosi sekaligus berjualan.

"Kalau Ditjen Pajak cuma mengatur yang lokal, penjual akan pindah dari Tokopedia, Bukalapak, ke asing seperti ke Facebook atau Instagram. Yang untung ya mereka, dan Ditjen Pajak akan semakin sulit lagi mengejar pajaknya," katanya.

Aturan perpajakan sendiri tengah digodok dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (TPMSE) atau e-commerce yang merupakan amanat dari Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2017 tentang Peta Jalan Sistem Perdagangan Nasional Berbasis Elektronik (Roadmap E-commerce) tahun 2017-2019.

Di sisi lain, Daniel juga mendorong pelaku usaha yang berjualan online untuk bisa taat memenuhi kewajiban membayar pajak penghasilan.

E-commerce lokal sendiri, lanjut Daniel, berisi banyak penjual dari penjuru Indonesia yang sudah seharusnya juga membayar pajak atas penghasilan yang mereka dapat dari berjualan online.

Dengan tarif pajak penghasilan final bagi usaha mikro kecil menengah (UMKM) sebesar 0,5 persen atas omzet maksimal Rp 4,8 miliar per tahun, diharapkan bisa juga berlaku terhadap pelaku usaha e-commerce meski belum ada aturan pasti terkait hal itu.

"Sekarang yang jualan online sudah waktunya menjalankan kewajiban. Sekarang mudah jual baju, keripik, tinggal disisihkan penghasilan untuk bayar pajak. Kalau tidak (bayar pajak), barang yang mereka jual tidak bisa dikirim karena tidak ada jalan raya. Jadi yang merasa keberatan (bayar pajak), tidak pantas berjualan," pungkasnya.
Baca juga: BI: Perkembangan "e-Commerce" jadi parameter mata uang digital
Baca juga: Rudiantara: RPP "e-commerce" segera ditandatangani Presiden

 

Pewarta: Ade Irma Junida
Editor: Royke Sinaga
Copyright © ANTARA 2018