Bangkok (ANTARA News) - Pemimpin kudeta militer di Thailand pada 2006, Jenderal Sonthi Boonyaratglin, hari Jumat menyatakan bahwa tentara masih memerlukan hukum darurat untuk mengatasi masalah keamanan di sepanjang tapal batas, yang mengabaikan seruan politisi akan pencabutannya sebelum pemilihan umum pada Desember 2007.
"Undang-undang darurat tersebut masih diperlukan tentara untuk menangani candu dan pendatang gelap," kata pemimpin Angkatan Darat tersebut kepada wartawan saat ditanya kemungkinan mencabut aturan itu, yang diberlakukan pada 35 dari 76 propinsi negeri itu sejak kup tak berdarah pada September lalu.
Sonthi menyatakan mempertahankan hukum darurat tidak akan memengaruhi kegiatan politik dalam kampanye untuk pemilihan umum.
Dewan Keamanan Negara (CNS), kelompok jenderal penjungkal Perdana Menteri Thaksin Shinawatra tahun lalu itu, dalam sidang Senin menyetujui mencabut hukum darurat di 11 propinsi dan memberlakukannya di tiga propinsi lain, kata jurubicaranya.
Tapi, keputusan CNS itu masih harus disetujui kabinet bentukan tentara tersebut, yang menunggu saran badan itu, lembaga bertugas atas semua masalah keamanan negara, kata Kolonel Sunsern Kaewkumnerd.
"Hukum darurat tidak berdampak pada masyarakat umum, sehingga Anda tidak perlu kuatir," kata Sunsern.
Thailand sibuk untuk pemilihan umum 23 Desember, yang diikuti tiga kelompok utama politik, dengan yang terkuat berpusat di sekitar Demokrat, partai tertua di negara itu.
Pengulas menyatakan pemilihan umum atas dasar undang-undang dasar baru itu, yang dirancang badan tunjukan tentara dan untuk melemahkan pemerintah kuat satu partai seperti saat Thaksin berkuasa, diduga tidak menghasilkan partai mayoritas tunggal.
Sonthi tampak masih ragu atas rencananya sesudah pensiun pada ahir September, yang memicu dugaan bahwa ia mungkin masuk politik.
Thailand akan memperpanjang keadaan darurat di propinsi selatannya, kata pejabat awal Juli, saat kekerasan perlawanan di wilayah sebagian besar Melayu itu merenggut nyawa setiap hari.
Keadaan darurat bermasalah itu, yang memberi kekuasaan luas kepada pasukan keamanan, diperpanjang tiga bulan mulai 19 Juli, kata Pongpayom Vasaphuti, pejabat tinggi dari kementerian dalam negeri.
Keadaan darurat itu meliputi ketiga propinsi terparah dilanda perlawanan, yakni Yala, Pattani, dan Narathiwat, serta sejumlah kabupaten di dekatnya di propinsi Songkhla.
Pongpayom menyatakan keputusan memperpanjang aturan itu dibuat dalam sidang pejabat tinggi keamanan diketuai Perdana Menteri Surayud Chulanont, yang menjabat sesudah kup di Thailand pada September 2006.
Kelompok hak asasi mengecam keras hukum darurat itu, yang disebutnya menciptakan iklim pembiaran di wilayah tersebut, tempat kelompok perlawanan melancarkan pertempuran berdarah untuk negara terpisah Melayu di dekat perbatasan dengan Malaysia.
Undang-undang darurat memberi pasukan keamanan kekebalan luas dari hukuman, sementara memberi mereka kekuasaan menggerebek, menggeledah dan menyita.
Aturan itu juga memungkinkan tersangka ditahan sampai 30 hari tanpa tuduhan.
Kawasan itu berada di bawah hukum darurat sejak kup tersebut.
Lebih dari 2.300 tewas di selatan sejak perlawanan meledak pada Januari 2004, dengan empat orang tewas dan lima cedera sejak Minggu.
Perdana menteri terguling Thaksin Shinawatra memberlakukan undang-undang darurat pada Juli 2005, yang dikecam akibat dapat memperburuk sengketa di wilayah itu, yang merupakan kesultanan mandiri Melayu sebelum dicaplok Siam Thailand tahun 1902.
Pemerintah bentukan tentara melaksanakan serangkaian upaya perdamaian untuk wilayah selatan itu. (*)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007