Jakarta (ANTARA News) - Mendengar kata Peraturan Daerah (Perda) Penyelenggaraan Ketertiban Umum, para joki three in one (3 in 1) akan meradang mengingat mata pencahariannya itu terancam tergusur di saat sekarang untuk mencari pekerjaan lain terbilang sulit. Mereka sudah mengetahui semua rencana itu melalui pemberitaan baik media cetak dan media elektronik dan merasa miris membayangkan bagaimana sulitnya mendapatkan segenggam uang yang berkisar antara Rp10 ribu sampai Rp15 ribu per hari. Bahkan tidak sedikit pula para pemburu uang lembaran ribuan itu juga, menggunakan pendapatan dari usaha tersebut untuk membiayai sekolahnya. Berarti secara tidak langsung, dengan memberlakukan peraturan pemerintah itu, akan menghentikan mereka untuk menggapai cita-citanya. Padahal di sisi lain, saat ini bangsa Indonesia membutuhkan sumber daya manusia yang potensial untuk masa depan, namun cita-cita itu secara tidak langsung dihentikan sendiri oleh pemerintah melalui pasal-pasal dalam perda. Perda yang merupakan pengganti dari Perda Pemprov DKI Jakarta Nomor 11/1988 tentang Ketertiban Umum itu, menyebutkan setiap orang dilarang menjadi atau menyuruh orang lain menjadi pengemis, pengamen, pedagang asongan, dan pengelap mobil. Juga dilarang membeli barang yang dijajakan pedagang asongan atau memberikan sejumlah uang atau barang kepada pengemis, pengamen, dan pengelap mobil. Sanksi atas ketentuan tersebut adalah pidana kurungan 20 hari sampai 90 hari atau denda Rp 500 ribu hingga maksimal Rp 30 juta. "Pemerintah dengan mengeluarkan perda tersebut, seolah-olah ingin membunuh rakyatnya sendiri, karena profesi inilah yang dapat membantu sekolah saya," kata Hendrawan, salah seorang joki 3in1 yang mangkal di Jalan Tanah Abang II, Jakarta Pusat dan saat ini masih duduk di salah satu sekolah menengah kejuruan (SMK). Dirinya dengan tegas menolak perda tersebut serta meminta pemerintah untuk bersikap bijaksana dalam mengeluarkan sesuatu peraturan daerah agar tidak menimbulkan permasalahan baru. Ia menyatakan paling utama pemerintah saat ini adalah bagaimana membuka lapangan pekerjaan yang baru karena profesi itu terpaksa dilakukan tidak lain akibat permasalahan ekonomi. "Pemerintah kalau ingin tetap memaksakan pemberlakuan perda itu, maka kami menagih untuk dibukanya peluang kerja yang lain," katanya polos yang disambut dengan anggukan kepada dari rekan-rekannya sesama joki 3in1 itu. Hendrawan selama ini memanfaatkan waktu sorenya dari pukul 17.30 WIB sampai 19.00 WIB atau selepas sekolah untuk berdiri di tepi jalan demi mendapatkan pengendara yang membutuhkan bantuan tenaganya itu. Hal senada dikatakan oleh Ilham (21), joki 3in1 warga Kebon Jahe, yang meminta agar pemerintah untuk tidak memberlakukan perda tersebut karena mata pencaharian untuk keluarganya itu terancam hilang. "Mata pencaharian ini sangat diandalkan meski penghasilannya terbilang kecil," katanya yang telah menjalankan profesi tersebut sejak lima tahun lalu itu. Untuk mencari uang itu ia membaginya dalam dua shift sejak pukul 07.00 WIB sampai 10.00 WIB kemudian disambung dari 17.30 WIB sampai 19.00 WIB, bersama tetangganya yang lain di daerah Kebon Jahe, Jakarta Pusat. "Bukan saya saja yang terancam, tapi tetangganya juga sama-sama terancam mengingat profesi joki sangat diandalkan untuk kehidupan sehari-hari," katanya. Sebaliknya dikatakan oleh salah seorang joki di Jalan Budi Kemulyaan, Jakarta Pusat, Afrizal (18), bahwa ia sebenarnya setuju-setuju saja dengan pemberlakuan perda itu namun tentunya harus dicarikan solusi yang terbaik. "Jangan sampai dalam mengeluarkan perda itu, tidak memikirkan dampak ke depannya," katanya yang mengaku saat ini masih duduk di SMKN I Jakpus. Solusi yang harus dipikirkan oleh pemerintah itu, kata dia, yakni, mencarikan mata pencaharian selain joki. "Jika mata pencaharian lain sudah disediakan, maka kami akan mematuhi keinginan pemerintah," katanya. Ia mengakui jika apa yang diinginkan pemerintah itu, baik tapi jangan sampai dalam mengeluarkan kebijakan itu pada akhirnya akan menyulitkan masyarakat banyak terutama kalangan orang kecil. "Saya setuju-setuju saja dengan kebijakan pemerintah, tapi sebelum mengeluarkannya harus dipikirkan secara matang," katanya. Dikatakannya, rencana pemberlakuan perda itu menambah miris perasaannya karena saat ini saja ia harus kucing-kucingan dengan petugas ketentraman dan ketertiban (tramtib) setempat dalam menjalankan pekerjaannya. "Sekarang saja sudah kucing-kucingan dengan petugas tramtib setiap menjadi joki, hingga pendapatan semakin berkurang. Bagaimana perda itu diterapkan, berarti pendapatan akan hilang sama sekali," katanya.(*)

Oleh Oleh Riza Fahriza
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007