... Menariknya China adalah cara berkembangnya berbeda sekali dengan Amerika Serikat. Di sini kepemimpinan berkelanjutan. Kalau di AS dengan demokrasi...
Beijing (ANTARA News) - Pengusaha nasional, Anindya Novyan Bakrie, memaparkan berbagai keunggulan Indonesia dalam Forum Tsinghua PBCSF, di Beijing, China, Minggu.

Paparan Komisaris Utama PT Bakrie&Brothers Tbk itu yang berjudul Indonesia: A Live Case of Growth, Modernization, and Inclusivity membuat kagum ratusan alumni Universitas Tsinghua dan People's Bank of China School of Finance (PBCSF) yang memadati auditorium utama kampus itu.

"Banyak orang yang tidak sadar, bahwa kami ini punya 300 etnis dan 600 dialek," ujar boss Visa Media Asia (VIVA) yang membawahi televisi ANTV, TVOne, dan portal berita www.viva.co.id itu.

Apalagi dalam paparannya itu, dia melengkapi foto masakan rendang, objek wisata Raja Ampat, aktivitas Presiden Joko Widodo saat bertemu masyarakat, dan peta Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau.

Dengan mengutip data McKinsey Global Institute, putra sulung Aburizal Bakrie itu menyebutkan, kekuatan ekonomi Indonesia saat ini masih menuduki peringkat ke-16, namun pada 2030 akan berada di posisi ketujuh.

"GDP kami juga akan menduduki peringkat keempat pada 2050 dengan 7,3 triliun dolar Amerika Serikat," katanya mengutip PriceWaterhouseCoopers itu.

Dalam hubungan Indonesia-China, delegasi Indonesia di Dewan Penasehat Kerja Sama Bisnis Asia-Pasifik (ABAC) itu menyebutkan empat hal yang harus diperhatikan.

Pertama, investasi barang dengan barang teknologi terakhir. Kedua, China harus bisa membantu mendidik masyarakat Indonesia.

"Ketiga, China harus bisa memastikan kejelasan mitranya di Indonesia. Harus bisa pastikan kemitraannya jelas karena bagaimana pun kami yang tahu kondisi di lapangan. Kalau batu bara kita bisa kirim ke mereka, tapi tanahnya dan konsesinya tidak bisa mereka ambil. Kemudian, yang keempat, mesti ramah lingkungan. Artinya, jangan sampai mereka mengeruk langsung kabur," ujarnya mengingatkan.

Namun sejauh ini, dia melihat China sudah melakukan keempat hal itu dan dia pun mengapresiasinya.

"Dengan negara lain bukan berarti kita tidak mau, tapi zamannya yang tidak memungkinkan. Kita ke Eropa. Eropa lagi sibuk, mengurusi Brexit (keluarnya Inggris dari keanggotaan Uni Eropa) saja pusing," katanya.

Oleh sebab itu, Anin yakin dalam kurun waktu 10 tahun ke depan, China akan menjadi negara pemimpin ekonomi dunia.

"Menariknya, China adalah cara berkembangnya berbeda sekali dengan Amerika Serikat. Di sini kepemimpinan berkelanjutan. Kalau di AS dengan demokrasi. Lalu di sini inovatif," kata lulusan Stanford Graduate School of Business Stanford, California, AS, itu.

Menurut dia, sistem kepemimpinan yang keberlanjutan itu sangat diperlukan para pengusaha untuk menjamin kepastian usahanya.

"Seperti perusahaan saja. Kenapa perusahaan yang ganti-ganti CEO kadang-kadang lebih sulit untuk berkembang? Karena arah kebijakannya berganti-ganti, kepemimpinan terhadap anak buah berubah-ubah. Di China jelas itu (kepemimpinannya)," ujarnya Anin.

Namun yang lebih menarik adalah perubahan situasi global yang menyebabkan banyak masyarakat dunia yang terkecoh.

"China yang berpaham komunis malah menganut pasar bebas. AS yang katanya pasar bebas demokratis, justru proteksionisme," katanya menambahkan.

Meskipun demikian dalam konteks perang dagang AS-China, dia melihat posisi Indonesia sangat strategis.

"Kita butuh, mereka juga butuh. Kalau mereka sedang perang dagang dengan AS, mereka butuh strategi lain yang bisa menengahi," katanya ditemui seusai tampil sebagai pembicara dalam forum itu.

Ia mamandang perang dagang ini sama sekali tidak menguntungkan AS dan China.

"Apple saja yang kapitalisasi pasarnya 1 triliun dolar AS turun hampir 20 persen karena daya beli China juga turun. Demikian pula dengan China yang mengalami kesulitan memasukkan barang ke AS," ujar Anin.

Pewarta: M Irfan Ilmie
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2019