oleh Dr Muchlis Ahmadi *)

Pasca debat calon presiden Joko Widodo - Prabowo pada Minggu lalu (17/2/2019), suasana "panas" tampaknya masih berlanjut di masyarakat. Bahkan, gaduh netizen di media sosial sepertinya malah jauh lebih panas daripada debat capres itu sendiri.

Tuduhan hoax, ujaran kebencian, caci maki di media sosial sudah menjadi tontonan yang lumrah dan begitu vulgar di media sosial setiap harinya. Yongky Karman (Kompas, 18/2/2019) menyebut apa yang terjadi di media sosial saat ini sudah keluar dari batas-batas nalar politik dan akal sehat akibat fanatisme pilihan politik.

Berita-berita bohong itu terus "digoreng". Sehingga, diyakini hoaks ini bukan terjadi secara alamiah, tetapi terorganisasi secara sistematis. Bahkan, dicurigai ada pihak-pihak yang sengaja memproduksi hoaks untuk meresahkan masyarakat.

Apa yang terjadi di jagad maya itu --disadari atau tidak-- masuk di jagad nyata. Fanatisme pilihan politik membuat orang lama-lama mempercayai berita bohong tersebut dan membuat masyarakat terbelah.

Pada forum dialog kebangsaan di Yogyakarta (19/2/2019), Mantan Ketua Mahkamah Agung Mahfud MD mengingatkan bila gejala ini dibiarkan, keutuhan eksistensi negara Republik Indonesia bisa terancam.

Kasus di beberapa negara seperti Suriah dan Yaman memberikan pelajaran nyata bahwa mereka mengalami perang saudara hingga di ambang kehancuran akibat fenomena hoaks.



Isu global

Fenomena hoaks di media sosial ini sudah menjadi isu global. Pemerintah di sejumlah negara pun sudah memberikan perhatian yang sangat serius terhadap gelombang fenomena hoaks di media sosial.

Salah satunya, hal ini tercermin dari diselenggarakannya seminar internasional yang mengangkat topik Cybersecurity Alliance for Mutial Progress (CAMP) and Global Cybersecurity Center for Development di Belgrad, Serbia, pada akhir Maret 2018.

Sebagai pembicara selaku wakil dari Indonesia, saya mengangkat topik media sosial dan berhasil menyedot perhatian besar dari para peserta dari berbagai negara, termasuk Korea Selatan.

Pasalnya, masalah konten media sosial selama ini luput perhatian dari badan siber di negara-negara peserta itu. Padahal, diakui bahwa banyak konten di media sosial sudah mulai mengarah pada lampu "kuning" alias berbahaya dan bisa merusak kehidupan berbangsa sebuah negara.

Karena itu, Kepala Korea Cyber Agency, Byong Gyu No menegaskan pemerintah tidak bisa bekerja sendiri dan harus melibatkan kerja sama dari semua pemangku kepentingan baik nasional maupun internasional untuk menangani masalah ini.



Neo-Kolonialisme

Diakui bahwa kesadaran kerja sama ekonomi-politik tersebut tidak bisa dilepaskan dari konteks arus globalisasi. Ini seiring dengan fenomena perkembangan teknologi informasi berupa media sosial yang menjadi alat di era globalisasi.

Menurut Anthony Giddens (2000), konsep globalisasi yang ditopang oleh teknologi informasi sejatinya lebih bermotif politik suatu negara untuk menguasai aset ekonomi negara lain. Globalisasi dijadikan sebagai upaya penguasaan ekonomi suatu negara terhadap negara lain ini menyusul jatuhnya pamor kolonialisme dan teori developmentalism.

Mengacu pada tesis tersebut, bisa dikatakan bahwa revolusi teknologi informasi seperti media sosial pun memiliki keterkaitannya dengan motif politik ekonomi satu negara terhadap negara lain. James Petras (2003) menggaris bawahi yakni teknologi informasi dan globalisasi sejatinya merupakan upaya penciptaan imperium baru dari negara maju di seluruh belahan dunia.

Globalisasi sebagai Neo Colonialism melalui ekonomi teknologi informasi ini dilakukan oleh beragam bentuk. Mulai dari state actor, non-state actor dan state-sponsored actor. Adapun, kendaraan yang dipakai adalah "crimes" dimana ujaran kebencian (Hate Speech) dan kabar bohong (hoax) di media sosial dinilai paling strategis untuk menciptakan perang proksi (proxy war).

Tingginya tensi perang proksi ini pada akhirnya mencapai jantung sasarannya yakni destabilitas sosial ekonomi suatu negara. Biasanya, kelompok-kelompok radikal atau yang memiliki kepentingan akan kekuasaan akan memanfaatkan platform media sosial terhadap target provokasinya.

Di Indonesia, kondisi ini mendapat lahan subur belakangan ini yang disebabkan tingginya penetrasi penggunaan internet dan media sosial di masyarakat. Pada 2017 terdapat 143,26 juta pengguna internet atau sekitar 54,68 persen dari total penduduk Indonesia. Pada 2018 jumlah ini diprediksi naik menjadi 60 persen.

Selain itu, kondisi tersebut juga didukung oleh rendahnya tingkat literasi digital dan tingginya fanatisme pilihan politik di masyarakat kita. Sehingga, para politisi memanfaatkannya untuk mencapai tujuannya yakni kekuasaan.

Apalagi, pilpres di Amerika Serikat memberikan bukti bahwa strategi fake news mampu memenangkan Donald Trump menjadi Presiden AS. Meski demikian, fenomena fake news seperti ujaran kebencian dan hoaks tetap menyisakan luka dalam kehidupan sosial berbangsa bagi masyarakat AS.



Anti Hoaks

Karena itu, saat ini banyak muncul gerakan anti hoaks di masyarakat. Tentu saja, gerakan semacam ini patut mendapat apresiasi dan dukungan dari kita semua. Namun, tetap saja muncul pertanyaan yakni apakah gerakan ini efektif untuk menghentikan gelombang hoaks.

Pada kenyataannya fenomena hoaks saat ini masih semarak bak jamur di musim hujan. Bagaimanapun, kehadiran hoaks sebagai bagian produk teknologi informasi ini sulit dilawan selama pertumbuhan penetrasi media sosial tidak diimbangi dengan peningkatan literasi digital di masyarakat.

Banyak teori menjelaskan mengapa hoaks sulit dilawan. Secara ilmiah, ada beberapa alasan mengapa orang mudah menerima dan percaya terhadap hoaks.

Pertama, dalam diri setiap orang terdapat apa yang disebut dengan Cognitive Simplicity. Pada saat otak memproses informasi, kepercayaan datang dengan cepat dan alami, sedangkan skeptisme diolah secara lambat dan tidak alami, serta kebanyakan orang memiliki toleransi rendah terhadap ambiguitas.

Kedua, manusia memiliki Cognitive Dissonance yaitu lebih mudah untuk membantah fakta daripada mengubah keyakinan. Ketiga, adanya kecenderungan Tribal Unity yakni seorang manusia tidak akan menyimpang jauh pendapatnya dari keyakinan inti kelompoknya.

Secara empiris, muncul gerakan neo-luddite yakni sebuah gerakan anti-teknologi atau anti-industrialisasi di Amerika. Gerakan yang berasal dari Luddisme di Inggris pada abad 19 ini menilai teknologi industrialisasi telah menciptakan dekadensi peradaban yakni mengambil alih tenaga kerja manusia. Namun, kenyataannya, gerakan ini justru tersingkir dan tetap tidak mampu menghentikan evolusi teknologi hingga saat ini.

Oleh karena itu, gelombang hoaks ini tidak perlu dilawan dengan anti-hoaks. Mau tidak mau, masyarakat hidup dalam sebuah keniscayaan sejarah abad ini yang menempatkan teknologi informasi sebagai prasyaratnya dan terus berkembang tanpa bisa dibendung.

Namun, untuk meredam agar hoaks tidak berkembang secara liar, justru perlu dilakukan adanya informasi simetris dengan diberikan pencerahan informasi yang berbasiskan pada data dan fakta.

Di sinilah, pemerintah melalui semua lembaga, departemen dan pihak-pihak yang terkait memiliki tugas dan bertanggung jawab untuk memberikan informasi simetris secara cepat dan tepat.

Dengan demikian, informasi di masyarakat melalui media sosial menjadi berimbang dan masyarakat justru akan semakin terdidik untuk berpikir kritis dan tidak terjerumus dalam pusaran hoaks.

Belajar dari pengalaman di sejumlah negara, tugas ini hanya menjadi sebagian kecil dari tugas badan siber. Hal ini dirasakan tugas ini menjadi kurang maksimal dikerjakan karena lembaga siber memiliki tugas pokok lebih pada masalah perang proksi.

Sebagai penutup, dengan alasan tersebut penulis menyarankan pentingnya sebuah badan independen yang khusus menangani masalah media sosial.

Di sini, badan ini akan mengintegrasikan seluruh departemen dan lembaga terkait sehingga tercipta sinergi dari seluruh stake holder untuk menangani kasus-kasus di media sosial. Dan, pada akhirnya diharapkan nantinya, bangsa Indonesia bisa terhindarkan dari kehancuran akibat hoaks.*

*) Penulis adalah pengamat dan pegiat media sosial


Baca juga: Bawaslu: Hoaks berpotensi merusak moral bangsa



 

Pewarta: -
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019