Jakarta (ANTARA) - Isu-isu yang dibicarakan publik di media sosial (medsos) adalah potongan cerminan suara masyarakat yang dapat dijaring dan diolah menjadi salah satu bentuk partisipasi warga di alam demokrasi.

Telah banyak metode menangkap percakapan publik di medsos untuk diolah sehingga menghasilkan umpan balik bagi perbaikan sistem dan perbaikan layanan utamanya bagi institusi pemerintah tentu saja setelah percakapan dibersihkan dari jaringan hoaks.

Memang medsos adalah salah satu bentuk media baru yang paling populer di mana penggunanya dapat dengan mudah berpartisipasi, berbagi dan menciptakan isi pesan kapanpun dan di mana pun selama terkoneksi dengan Internet.

Melalui medsos, pesan yang disampaikan tidak hanya diperuntukkan bagi satu orang saja namun bisa ditujukan kepada banyak orang.

Isi pesan dapat langsung tertuju pada audiens tanpa melewati gate keeper seperti yang kita jumpai di media massa.

Konsekuensinya adalah pesan yang disampaikan sangat cepat, bahkan mampu viral dalam jangkauan sangat luas sementara si penerima pesan bertindak selaku penentu waktu interaksinya.

Ada sebuah disertasi terbaru dan menarik tentang medsos berjudul The Illusion of A PublicSphere: The Indonesian Government Communication on Social Media (2018) karya Ika K. Idris.

Ika K. Idris adalah penerima beasiswa DIKTI-Fulbright dan telah berhasil mempertahankan disertasinya tersebut dari School of Media Arts and Studies, Ohio University (2015-02018).

Penelitian itu bertujuan untuk menganalisis apakah medsos milik pemerintah Indonesia telah berhasil melakukan komunikasi dua arah dengan warganya (two-way symmetrical communication).

Metode yang dipakai adalah analisis jejaring sosial (SNA) untuk menganalisis empat jenis percakapan pemerintah-warga di medos yakni: komunikasi sehari-hari, kampanye komunikasi, krisis, dan komunikasi bencana.

Sampel yang dipilih adalah institusi pemerintah setingkat kementerian (policy-based governmentagency) dan setingkat badan layanan (service-based agency).

Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa penggunaan medsos pada lembaga pemerintahan masihmenggunakan perspektif lama yakni sebatas untuk mendominasi percakapan, membentuk opini publik yang positif terhadap pemerintah serta untuk menjawab kritik.

Hal ini terlihat dari hasil analisis jaringan percakapan yang menunjukkan bahwa komunikasi simetris dua arah terjadi, namun masih sangat terbatas.

Komunikasi dua arah sebagian besar terjadi dalam percakapan sehari-hari baik di Facebook dan Twitter, namun tidak terjadi pada kampanye komunikasi, krisis, dan komunikasi bencana.

Instansi pemerintah setingkat kementerian menggunakan medsos sebagai saluran untuk menyiarkan informasi, sehingga jumlah respon mereka terhadap komentar ataupun pertanyaan masih sangat rendah.

Meskipun instansi pemerintah setingkat kementerian dalam sampel penelitian ini membuka bagian komentar untuk setiap pengikut di halaman Facebook namun tidak ada interaksi antara lembaga tersebut dengan masyarakat.

Sementara itu instansi pemerintah setingkat badan layanan lebih aktif dalam membalas pesan melalui Twitter.

Kesimpulan lainnya adalah tingginya jumlah pengikut palsu dan buzzer politik di Twitter mendukung temuan bahwa satu-satunya ketertarikan instansi pemerintah di tingkat kementerian terhadap Twitter adalah menyebarkan informasi.

Strategi yang berbeda digunakan oleh instansi badan layanan yang menggunakan media sosial sebagai saluran untuk layanan pelanggan atau untuk memberikan informasi terkait administrasi layanan.

Komunikasi dua arah tidak terjadi dalam kampanye komunikasi yang bertujuan mengedukasi publik.

Salah satu sampel dalam penelitian ini adalah kampanye gaya hidup sehat yang menggunakan tagar #DukungGermas (Dukung Gerakan Masyarakat Sehat).

Namun demikian, nilai timbal balik dan keterhubungan dalam jaringan percakapan di media sosial terkait kampanye ini tidak ada sama sekali. Ini artinya komunikasi kampanye hanya berjalan satu arah.

Kesimpulan ringkas disertasi dari dosen Pasca Sarjana Universitas Paramadina tersebut menunjukkan bahwa perspektif lembaga pemerintah dalam menggunaan media sosial masih dengan pendekatan lama, sebatas mendiseminasikan informasi.

Hasil diskusi mendalam (FGD) kepada tiga kategori stakeholders  pemerintah, yakni jurnalis, pekerja lembaga swadaya masyarakat dan profesional di bidang komunikasi mengkonfirmasi temuan yang didapat dari analisis jaringan dan survei bahwa media sosial memang sebatas untuk menyebarkan informasi, bukan untuk membangun dialog dengan warga.

Dari hasil FGD tersebut juga terungkap bahwa dialog antara pemerintah dan warga hanya terjadi saat krisis reputasi pemerintah di medsos.

Selain itu, beberapa strategi yang dilakukan pemerintah saat terjadi krisis adalah menghapus komentar negatif dan menggunakan tim medsos untuk mendiseminasi pesan, untuk menjawab kritik serta mengintensifkan penyebaran informasi versi pemerintah.

Memang dunia kehumasan menemui tantangan sekaligus peluang dalam memanfaatkan medsos untuk meraih tujuan lembaga induknya.

Medsos memberi kemudahan bagi organisasi, karyawan, pemasok, pelanggan dan stakeholders untuk berpartisipasi dalam penciptaan dan mengelola konten.

Telah banyak studi bagaimana berkomunikasi menggunakan medsos secara lebih baik yang harus dipelajari humas dan profesional di bidang komunikasi.

Medsos telah mengubah cara berpikir kita tentang media dan pengaruhnya dan hingga detik ini pembahasannya bagi dunia kehumasan masih seputar tantangan perubahan budaya.

Apapun itu, disertasi ini telah menjawab evaluasi penggunaan medsos oleh pemerintah.

Apakah memang sudah tercipta komunikasi yang transparan, mudah diakses dan berjalan dua arah dengan warganya. Pesan yang harus ditangkap "optimalkan medsos menjadi saluran komunikasi dua arah menuju masyarakat yang demokratis".

*) Penulis adalah Magister Komunikasi dari Paramadina Graduate School of Communication

Baca juga: BSSN minta platform medsos lakukan penindakan pada akun penebar hoaks

Baca juga: Pakar sebut pemerintah perlu dorong pembuatan aplikasi medsos

Copyright © ANTARA 2019