Jakarta (ANTARA News)- Kurs rupiah Kamis pagi melemah di atas level Rp9.150 per dolar AS, karena pelaku pasar khawatir gejolak ekonomi global akan terjadi lagi dan berlangsung dalam waktu yang lama. Nilai tukar rupiah turun 27 poin menjadi Rp9.160/9.163 per dolar AS dibanding penutupan hari sebelumnya Rp9.133/9.160 per dolar AS. Analis Valas PT Bank Saudara, Ruri Nova, di Jakarta mengatakan, pasar uang Eropa dan Amerika yang masih belum menentu, sehingga mengakibatkan pelaku pasar khawatir untuk memegang rupiah, sekalipun pasar saham regional menguat. Pelaku pasar lebih cenderung membeli dolar AS, karena dengan mata uang asing itu dana yang dimiliki dinilai lebih aman, ucapnya. Rupiah, lanjut dia, diperkirakan sepanjang pekan ini terus tertekan, apalagi belum ada faktor segar yang muncul dari internal, karena tekanan itu akan memicu rupiah mendekati level Rp9.200 per dolar AS. Namun Bank Indonesia (BI) diharapkan akan dapat mengatasinya dengan melepas cadangan devisa, sehingga keterpurukan tidak parah, katanya. Menurut dia, apabila gejolak ekonomi global berlanjut, pemerintah diperkirakan akan mengalami kesulitan, dan membiarkan mata uang lokal itu terpuruk, namun pemerintah kemungkinan mempunyai kebijakan lain dalam mengatasi masalah tersebut. "Kami optimis pemerintah telah mempersiapkan strategi untuk mengatasi gejolak ekonomi global dengan tepat sehingga pertumbuhan ekonomi tetap berjalan sebagaimana adanya," katanya. Pasar uang Eropa dan Amerika memang masih belum stabil, namun secara perlahan-lahan sedang menuju ke arah perbaikan, meski memerlukan waktu yang lama. Apalagi Bank Sentral AS (The Fed) diperkirakan juga akan menurunkan kembali tingkat suku bunga Fedfund setelah sebelumnya diturunkan sebesar 50 basis poin menjadi 4,75 persen, tuturnya. Sementara itu, yen menguat terhadap dolar AS dan euro, karena pelaku berspekulasi membeli yen, setelah isu The Fed akan menurunkan suku bunganya. Yen naik 0,1 persen menjadi 114,00 dan menguat 0,2 terhadap euro menjadi 162,60, euro terhadap dolar AS menjadi 1,4260. (*)

Copyright © ANTARA 2007