Jakarta, (ANTARA News) - Penyelesaian masalah pada penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah Maluku Utara (Pilkada Malut) seharusnya menggunakan mekanisme hukum yang benar, sehingga keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat yang mengambil alih masalah tersebut tidak menimbulkan masalah baru, kata pakar politik, Chusnul Mar'yah PhD. Mantan Anggota KPU Pusat itu kepada ANTARA News di Jakarta, Kamis, mengatakan bahwa pihak yang bertanggung jawab atas pelaksanaan Pilkada adalah KPU di Provinsi dan tidak ada aturan yang jelas, di mana KPU Pusat dapat mengambilalih tugas KPU Provinsi dalam pelaksanaan Pilkada. "Artinya KPU melakukan itu tanpa ada Juklak SK KPU. Apalagi, tahapan Pilkada di Malut dimulai Juni. Belum bisa menggunakan secara penuh UU nomor 22 tahun 2007, masih ada UU nomor 32 tahun 2004 dan SK KPU nomor 1 tahun 2007. Dengan demikian KPU Pusat tidak dapat mengambilalih," katanya. Dosen Pasca-Sarjana Ilmu Politik di Universitas Indonesia (UI) Jakarta itu mengemukakan, dalam pleno perhitungan suara, apabila terjadi protes atau keraguan proses perhitungan suara, maka KPU dapat melihat kembali perhitungan suara satu tingkat di bawahnya. "Misalnya, kalau rekap di Provinsi berdasarkan KPU Kab tapi diprotes, maka KPU Provinsi dapat melihat tingkat di bawah KPU Kabupaten yaitu di PPK. Kalau itu dilakukan, maka sudah dalam koridor aturan," katanya. Bila kemudian ada permasalahan hukum, kata Chusnul, keputusan KPU tentang hasil perolehan suara dapat diajukan ke Mahkamah Agung (MA). "Kalau terjadi ketidakberesan, protes atau `dispute` hasil suara dapat dituntut melalui pengadilan tinggi seperti Pemilu 2004, sedangkan pertentangan hasil suara dibawa ke Mahkamah Konstitusi," katanya. Menurut dia, KPU Pusat tidak punya dasar hukum untuk menghitung ulang rekapitulasi Pilkada Malut. Chusnul juga menilai Pilkada dan keputusan KPU Provinsi di Malut adalah sah. KPU Pusat tidak mungkin mengadakan Pilkada ulang dan tidak ada mekanisme dalam SK KPU untuk menghitung perolehan suara kembali di KPU. Kalau ada TPS yang menggelembungkan suara, maka penghitungan suara hanya untuk TPS tersebut, bukan menghitung semua. Ia juga menilai, penonaktifan Ketua KPU Maluku Utara, Rahmi Husen, merupakan tindakan sewenang-wenang dan tidak didasarkan pertimbangan hukum yang tepat. "Penonaktifan Ketua KPU Malut adalah tindakan sewenang-wenang KPU Pusat tanpa dasar hukum. Laporan anggota KPU Saudara Putu tidak lengkap, bagaimana metode pengumpulan datanya?," katanya. Dia menyatakan, preseden pilkada diambil alih adalah sangat buruk. Demikian juga dengan pemanggilan PPK dari Kecamatan Halmahera Barat oleh KPU Pusat pada Kamis (22/11). (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007