Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut Bupati non-aktif Kutai Kertanegara, Syaukani Hassan Rais, dengan pidana penjara delapan tahun atas dakwaan melakukan empat tindak pidana korupsi selama 2001-2005 yang menimbulkan kerugian negara Rp120,251 miliar. "Terdakwa terbukti melakukan tindak pidana korupsi menyalahgunakan kewenangan melanggar hukum pada pasal 3 jo pasal 18 UU nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU nomor 20 tahun 2001 jo pasal 65 ayat (1) dan ayat (2) sesuai dakwaan Subsidair," kata Jaksa Penuntut Umum (JPU), Khaidir Ramli, dalam persidangan yang berlangsung di Pengadilan Tipikor di Jakarta, Senin. Selain dituntut pidana penjara, JPU juga meminta majelis yang menghukum Syaukani membayar denda Rp250 juta subsidair enam bulan kurungan. Syaukani juga dituntut membayar ganti kerugian negara sebesar Rp35,593 miliar dan bila satu bulan setelah adanya kekuatan hukum tetap tidak dibayar maka akan dipidana penjara tiga tahun enam bulan. Empat tindak pidana korupsi yang dilakukan terdakwa adalah menyalahgunakan dana perangsang pungutan sumber daya alam (migas), dana studi kelayakan bandara Kutai, dana pembangunan bandara Kutai dan penyalahgunaan dana pos anggaran kesejahteraan masyarakat. Sepanjang 2001-2005, dana perangsang yang disalahgunakan itu berjumlah Rp93,204 miliar. Dari jumlah itu sebanyak Rp27,8 miliar diterima dan dinikmati oleh terdakwa. Sementara itu untuk perbuatan korupsi dana studi kelayakan bandara Kutai Kartanegara, terdakwa pada April 2003 bertemu dengan Voni A Panambunan dan membicarakan tentang studi kelayakan bandara Kutai Kartanegara. Anggaran yang diajukan sebesar 722.700 dolar AS dan kemudian disetujui padahal pos untuk keperluan tersebut belum tercantum dalam APBD Kutai Kartanegara. "Terdakwa juga menyetujui pembayaran terhadap konsultan PT Mahakam Diastar Internasional, meski sudah ada pimpro proyek tersebut, Syaukani tetap menyetujui padahal itu kewenangan pimpro," ujar JPU. Total pembayaran bagi PT MDI sebesar Rp6,269 miliar. Namun ternyata perusahaan tersebut tidak melakukan uji kelayakan tetapi menyerahkan pekerjaan itu kepada PT Incona dan membayar Rp2,222 miliar. Sedangkan untuk pembebasan tanah bandara Kutai, terdakwa setidaknya meminta pemegang anggaran untuk lima kali mengeluarkan anggaran dengan alasan untuk pembebasan tanah padahal hal tersebut, masih menurut JPU, tidak dilakukan. "Total dana yang digunakan Rp15,250 miliar dan untuk membuat seakan-akan memenuhi prosedur yang ada, para pejabat terkait pembebasan tanah bandara di kabupaten tersebut diminta membuat kelengkapan administrasi," kata JPU. Untuk korupsi penyalahgunaan pos anggaran dana kesejahteraan rakyat yang dikelola oleh asisten IV Kabupaten Kutai Kartanegara, terdakwa mulai Juli 2005 mengajukan anggaran tambahan operasional bupati. Pengajuan tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh asisten IV, perbuatan itu dilakukan lagi sebanyak tiga kali sehingga merugikan negara Rp7,750 miliar. Secara keseluruhan dari kerugian negara sebesar Rp120,251 miliar, terdakwa dinilai menikmati dan memperkaya diri sendiri sebanyak Rp50,843 miliar dengan perincian dari dana perimbangan pungutan migas Rp27,843 miliar, dana pembangunan bandara Rp15,250 miliar dan penyalahgunaan dana kesejahteraan rakyat Rp7,750 miliar. Syaukani juga didakwa memperkaya orang lain sebanyak Rp65,360 miliar dalam pemberian keputusan pembagian dana perimbangan dan memperkaya Voni A Panambunan sebesar Rp4,047 miliar melalui proyek pembangunan Bandara Kutai Kartanegara. Usai persidangan, Syaukani menyatakan, semua hal yang dipaparkan oleh JPU dalam surat tuntutannya tidak sesuai dengan fakta persidangan. Ketua Majelis hakim, Kresna Menon, akan melanjutkan persidangan pada Senin (3/12) dengan agenda mendengarkan pledoi dari terdakwa dan penasehat hukumnya. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007