Nusa Dua (ANTARA News) - Pemerintah Indonesia akan memberikan insentif bagi investor yang memanfaatkan teknologi, bahan baku, energi, hingga proses produksi ramah lingkungan, kata Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Muhammad Lutfi di sela Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim di Nusa Dua Bali, Senin. "Kita perlu mencari jalan tengahnya untuk investor karena selain musti membantu memerangi kemiskinan tapi secara bersamaan mesti bertanggung jawab pada lingkungan. Jadi kalau dulu kita memberi insentif supaya Indonesia kompetitif, sekarang insentif diberikan agar mereka bertanggung jawab,"katanya. Ia belum bisa menjelaskan seperti apa bentuk insentif tersebut tetapi biaya yang meningkat karena tanggung jawab itu akan ditanggung kedua pihak, selain oleh swasta juga oleh pemerintah dalam bentuk insentif. Investasi ramah lingkungan yang telah dilakukan di Indonesia itu, lanjut dia, antara lain di bidang Pembangkit Listrik Tenaga Panas bumi (PLTB) atau geothermal yang dalam 2-3 tahun ke depan nilainya diharapkan mencapai dua miliar dolar AS. "Geothermal kita mempunyai prospek hingga 16 ribu MW, padahal sekarang kapasitas Jawa-Bali 17 ribu MW, artinya kita mempunyai kesempatan, khususnya karena geothermal ini zero waste atau nol emisi,"katanya. Ia mengakui membangun PLTB memerlukan investasi besar dan membuat harga listrik geothermal menjadi tidak murah. "Yang ditandatangani pada 1991-1995 itu sampai 7,7 sen per kWh, karena mereka harus menggali dulu sumurnya, baru dari hasil itu mereka buat pembangkit listrik, memang jadi zero emisi, tetapi kalau dipecah-pecah jadi tidak mungkin, karena itu dibikin yang diinsentifkan lalu harga terakhir turun sampai di bawah 5 sen. Perbedaan itu yang kita bagi dua swasta dan pemerintah,"katanya. Ia mencontohkan investor yang akan masuk di bidang Geothermal adalah Itochu terdiri atas investor Jepang, AS dan Indonesia dengan nilai investasi hampir 800 juta dolar. Ditanya investor lain di sektor usaha yang dinilai sebagai ramah lingkungan, ia menyebut misalnya investasi di bidang biodiesel pengganti solar berasal dari CPO (minyak sawit). "Misalnya perusahaan besar seperti Wilmar sudah membuka investasi di sektor ini untuk kapasitas biodiesel hampir 1 juta ton per tahun,"katanya. Sementara itu, Menteri Perdagangan Marie Elka Pangestu di tempat sama mengatakan, akan melakukan studi empiris dampak perubahan iklim dalam upaya mengambil kebijakan yang tepat di bidang perdagangan. "Kalau ada studi kita mempunyai bukti yang saintifik dan jelas serta memiliki dasar untuk mendorong kebijakan ke arah itu. Selama ini sebenarnya sudah ada proses yang telah berjalan beberapa tahun dan ini merupakan momentum. Kalau kita tidak melakukan apa-apa maka dampak 10-20 tahun kemudian itu sangat dahsyat dan yang dirugikan negara berkembang,"katanya. Soal insentif untuk mendorong kalangan industri dan perdagangan yang ramah lingkungan ia menyebut sudah ada insentif untuk sektor biofuel dalam paket perpres nomor 1 tahun 2007. Sebelumnya, Marie mengatakan, para menteri perdagangan anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO-World Trade Organization) belum punya kesepakatan bersama tentang mekanisme perdagangan ramah lingkungan karena masing-masing negara memiliki kriteria sendiri. "Sampai sekarang belum ada persepsi yang sama tentang green product. Indonesia dan negara-negara anggota WTO lainnya memiliki kriteria berbeda tentang definisi produk ramah lingkungan," katanya. Indonesia juga memiliki inisiatif sendiri dalam kriteria perdagangan ramah lingkungan, ujarnya dan mengimbau agar rumusan mekanisme perdagangan ramah lingkungan harus multilateral.(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007