Brisbane (ANTARA News) - Australia akan mengembangkan armada kapal selam baru yang mampu membawa peluru kendali jarak jauh serta kapal selam kecil yang canggih, untuk mengantisipasi persaingan persenjataan di kawasan Asia Pasifik. Menteri Pertahanan Australia, Joel Fitzgibbon, seperti dikutip Harian "The Australian", Rabu, telah meminta pembuatan rencana pengembangan generasi baru kapal selam AL Australia untuk menggantikan armada kapal selam kelas "Collins" pada 2025. Proyek pengembangan armada kapal selam baru dengan biaya 25 miliar dolar Australia yang perlu waktu 17 tahun itu merupakan proyek pertahanan terbesar, terlama, dan termahal di negara itu. Rencana Pemerintah Australia memperbaharui armada kapal selamnya itu muncul di saat negara-negara di kawasan Asia Pasifik, seperti Indonesia, China, dan India juga mulai mengembangkan kekuatan armada kapal selam di negara mereka. Kondisi ini berpotensi mengubah keseimbangan kekuatan pertahanan angkatan laut di kawasan tersebut. Menteri Pertahanan Joel Fitzgibbon mengatakan kesepakatan umum menyebutkan bahwa kapal selam dapat memberikan kemampuan militer yang vital bagi Australia. "Pengerahan armada kapal-kapal selam baru memerlukan perencanaan jangka panjang dan harus segera dikembangkan. Inilah yang saya minta," kata dia pula. Perintah segera membuat rencana itu agar mendapatkan persetujuan awal fase desain dari Komite Keamanan Nasional Kabinet tahun 2011. Australia Selatan merupakan satu-satunya lokasi yang tepat untuk pengembangan generasi baru kapal selam Australia itu nantinya, kata Fitzgibbon lagi. Menanggapi rencana Pemerintah Federal Australia itu, juru bicara Asosiasi Pertahanan Australia (ADA), Neil James, seperti dikutip ABC, memperkirakan armada kapal-kapal selam pengganti kelas Collins itu tidak akan dilengkapi tenaga nuklir. Selain karena faktor biaya, argumentasi lain adalah masalah "kompleksitas" dan kenyataan bahwa Australia tidak memiliki industri nuklir, kata dia. Sejauh ini, Australia memiliki sedikitnya enam kapal selam, yakni HMAS Collins, HMAS Dechaineux, HMAS Farncomb, HMAS Rankin, HMAS Sheean, dan HMAS Waller. Sehubungan dengan dinamika pertahanan laut di kawasan itu, pada September 2007 lalu, media massa Australia sempat menyoroti kerjasama Indonesia dan Rusia dalam pengadaan Alat Utama Sistem Senjata (Alutsista) TNI. Harian "The Sydney Morning Herald" menyoroti kesepakatan kedua negara, khususnya tentang pengadaan sejumlah kapal selam, tank, dan helikopter senilai 1,2 miliar dolar AS itu. Suratkabar milik kelompok Fairfax itu, bahkan menuding pembelian sejumlah Alutsista TNI dari Rusia tersebut akan memicu perlombaan senjata di kawasan tersebut. Menanggapi laporan media Australia itu, Menteri Luar Negeri Indonesia, Nur Hassan Wirajuda menyatakan Indonesia memiliki dasar keperluan yang kuat untuk membangun angkatan bersenjata yang layak, dan yang disepakati dengan Rusia dalam pengadaan Alutsista TNI itu untuk mengejar tingkat kemampuan yang memadai bagi sebuah negara kepulauan. "Menarik bahwa pertemuan dengan para Menlu APEC, masalah itu sama sekali tidak diangkat. Pertanyaan pertama justru datang dari media (asing, red)," kata Menlu Wirajuda pula. Menurut dia, sebagai negara yang berdaulat, Indonesia mempunyai dasar keperluan yang legal untuk membangun angkatan bersenjata yang layak. Namun berdasarkan ukuran anggaran belanja pertahanan selama 30 tahun terakhir, Indonesia tergolong negara dengan anggaran yang "sangat rendah". "Akibatnya pembangunan angkatan bersenjata kita relatif ketinggalan. Apa yang kita sepakati dengan Rusia, daya belanja kita baru untuk mengejar tingkat kemampuan yang memadai bagi sebuah negara seperti Indonesia," kata Menlu RI lagi. (*)

Copyright © ANTARA 2007