Jakarta (ANTARA) - Sumatera Barat punya batik sendiri yang berbeda dengan batik Jawa, namanya Batik Tanah Liek atau Batik Tanah Liat. Warna kain dari Batik Tanah Liek memang tidak jauh-jauh dari warna hitam, coklat dan abu-abu.

Batik Tanah Liek ini sempat hampir punah karena tidak ada orang yang memproduksinya, namun sekitar 24 tahun lalu, tepatnya 1995 Wirda Hanim kembali memproduksi batik tersebut setelah melalui beragam percobaan.

Keinginan untuk memproduksi kembali batik tersebut muncul saat dia yang tinggal di Padang menghadiri pesta adat di kampungnya di Kenagarian Sumani, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat.

"Di acara adat tersebut orang-orang di sana menggunakan kain batik tanah liek yang sudah usang, dan sudah robek-robek," kata ibu berusia 67 tahun tersebut.

Karena penasaran dia yang sebelumnya sudah memiliki usaha bordir pun mencari tahu kain jenis apa yang dipakai para tetua di kampung tersebut, ternyata kain itu sudah tidak diproduksi sejak 70 tahun yang lalu.

Batik Tanah Liek diperkirakan berasal dari negeri China dan masuk ke Minangkabau pada abad 16.

"Kain tersebut sudah ada lama di kampung tersebut namun tidak diproduksi lagi, dari situ timbul niat saya untuk melestarikan kain tersebut," kata dia.

Wirda sebetulnya sama sekali tidak tahu ilmu membatik, ia juga tak tahu cara melakukan pewarnaan untuk kain. Namun dia sangat gigih melakukan berbagai percobaan untuk mendapatkan motif dan warna yang sesuai dengan Batik Tanah Liek tersebut.

Wirda juga tak memiliki referensi mengenai motif-motif yang biasa digunakan dalam Batik Tanah Liek, dia hanya meniru motif-motif kuno yang ada di kain tersebut.

Kebanyakan motif-motif yang ada dalam Batik Tanah Liek adalah motif-motif bunga, kuda laut dan burung hong.

Pada awalnya Wirda tak mengerti bahwa untuk membuat Batik Tanah Liek, pewarnaannya haruslah menggunakan tanah liat.

Oleh sebab itu pada 1995 dia pergi ke Jogjakarta untuk belajar membatik, namun dia tidak betah akhirnya dia meminta pengrajin batik di Jogjakarta untuk datang ke Padang selama tiga bulan.

"Namun warna yang dihasilkan tetap tidak sesuai dengan kain kuno itu. Saya kurang cocok karena mereka banyak menggunakan pewarna sintetis," kata Wirda

Kemudian dia mencoba membuat warna untuk kain tersebut dari bahan-bahan pewarna kue, namun warnanya tak sesuai dengan kain Batik Tanah Liek.

Akhirnya dia kembali ke kampungnya dan bertanya kepada warga di sana bagaimana cara mewarnai batik tersebut. Ternyata batik tersebut dasarnya diwarnai dengan tanah liat dan motifnga diwarnai dengan tumbuhan seperti gambir, pinang dan lainnya.

"Dari situ saya mengembangkan Batik Tanah Liek hingga kini," kata dia.

Pada awal-awal para pengrajinnya memang belum bisa menghasilkan kain batik yang sangat halus, namun lama kelamaan kain yang dihasilkan semakin halus. Kain yang digunakan untuk membuat kain ini pun biasanya dari kain katun, sutera atau tenun.

Meski sempat terabaikan, kini masyarakat kembali mengenal Batik Tana Liek sebagai salah satu wastra dari tanah Minangkabau.

Menurut Wirda tak sulit untuk memasarkan Batik Tanah Liek, harga yang dijualnya berkisar Rp250 ribu - Rp3 juta.

Atas pengabdiannya dalam melestarikan Batik Tanah Liek, dia pun mendapatkan berbagai penghargaan salah satunya dari Yayasan Batik Indonesia pada 2019.

Batik Tanah Liek semakin dikenal

Pada 2018 Batik Tanah Liek asal Sumatera Barat (Sumbar) dipromosikan sebagai ikon baru fesyen di Gedung Smesco Jakarta.

Direktur Utama Smesco Indonesia Emilia Suhaimi dmengatakan Batik Tanah Liek yang selama ini digunakan selama ratusan tahun oleh aristokrat Minang memang sangat potensial untuk dipromosikan sebagai salah satu fesyen kebanggaan Indonesia

"Batik khas ini sangat potensial sehingga kami akan mempromosikannya agar menjadi salah satu kebanggaan fesyen Indonesia," katanya.

Proses pembuatan Batik Tanah Liek yang tidak sederhana itu juga menyimpan potensi pembukaan lapangan kerja di wilayah Sumatera Barat. Targetnya bila produksi batik Tanah Liek meningkat maka terbuka lapangan pekerjaan bagi para pengrajin batik Sumbar ini.

Meski begitu, Emilia menyebut memang masih banyak tantangan yang harus dihadapi dalam promosi Batik Tanah Liek.

Salah satunya adalah pemasaran di samping juga terkait persaingan dengan batik printing asal Jawa yang ada di berbagai daerah bahkan di Tanah Minang.

Pada tahun yang sama Batik Tanah Liek juga menjadi cendera mata bagi para peserta Tour de Singkarak.

Ketua Umum Yayasan Batik Indonesia Jultin Ginandjar Kartasasmita mengatakan batik kini tidak hanya identik dari tanah Jawa saya, batik telah berekmbang melewati batas dan tak hanya sebagai pakaian tradisional.

"Batik yang sudah menjadi budaya asli masyarakat Jawa ternyata kini telah berkembang di daerah lain. Kini kita sudah mengenal ada batik Sumatera, Ambon, Papua dan lainnya," kata dia.

Dia mencontohkan batik Sumatera salah satunya Batik Tanah Liek memiliki corak dan motif dengan ciri khas yang mewakili budaya daerah masing-masing.

Tak hanya itu, batik yang biasanya berupa kain dan dikenakan untuk pakaian pun kini juga bertransformasi ke bentuk-bentuk lainnya, seperti aksesoris, interior rumah dan lainnya.

"Batik kini juga telah menjadi pakaian sehari-hari bagi semua generasi baik muda mau pun tua," kata dia.

Batik kini telah menjadi fashion statement bagi banyak orang, dan seiring perubahan zaman perlu adanya pelestarian dan penyesuaian bagi industri dalam menghasilkan maha karya dengan kekayaan motif yang relevan dan kekinian.

Baca juga: Batik Tanak Liek di Sumatera Barat terus dilestarikan

Baca juga: Batik Tanah Liek Sumbar diangkat sebagai ikon baru fesyen Smesco

 

Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019