Nouakchott, Mauritania (ANTARA) - Calon dukungan pemerintah Mauritania Mohamed Ould Ghazouani menang dalam pemilihan presiden pada Ahad (23/6), dan memperkuat kekuasaan partai yang memerintah yang telah menempatkan diri sebagai sekutu Barat melawan gerilyawan garis keras.

Komisi pemilihan mengumumkan Ghazouani pemenang pada Sabtu larut malam dengan 52 persen suara. Pesaing terdekatnya, pegiat anti-perbudakan Biram Dah Abeid, menempati posisi kedua dengan 18,59 persen, sedangkan tempat ketiga diisi oleh calon Mohamed Ould Boubacar --yang didukung oleh partai Islam terbesar, mengantungi 17,85 persen.

Pemilihan tersebut adalah yang pertama di negara yang berpenduduk jarang di Sahara, sejak kemerdekaan dari Prancis pada 1960, untuk memilih pengganti bagi presiden yang dipilih pertama secara demokratis.

Tak satu dari tiga sisa calon memperoleh lebih dari 10 persen.

Ghazouani telah berkampanye mengenai kemajuan ekonomi dan keuangan yang dicapai di bawah presiden saat ini Mohamed Ould Abdel Aziz --yang menangku jabatan dalam kudeta 2008, kemudian menang dalam pemilihan umum 2009 dan 2014.

Di bawa kepemimpinan presiden yang berusia 62 tahun itu, ekonomi telah berkembang dan akan menerima dorongan tambahan ketika ladang-gas besar lepas pantai mulai memproduksi pada awal dasawarsa depan.

Beberapa jam sebelumnya Juru Bicara Pemerintah Sidi Mohamed Ould Maham dalam satu taklimat telah mengumumkan Ghazouani adalah "presiden terpilih", dan para calon oposisi yang diwakili oleh Abeid mengatakan mereka akan memprotes hasil tersebut.

"Ini kelihatan seperti kudeta," kata pesaing terdekat Ghazouani --Biram Dan Abeid, yang mewakili dirinya dan pemimpin lain oposisi. "Kami bersatu dan akan memelopori penentangan (terhadap hasil) ini."

Kebanyakan pemilihan umum itu telah berjalan damai, selain dari wilayah Riyadh, Elmina dan Sebkha di Nouakchott, tempat pemrotes pada Ahad pagi membakar ban dan sampah sebelum polisi membubarkan mereka.

Abdel Aziz mengejutkan banyak temannya dan pengamat internasional dengan menyinggir setelah melaksanakan dua masa jabatan presiden maksimal lima-tahun di Mauritania, negara dengan penduduk kurang dari lima juta, yang terdiri atas banyak wilayah Gurun Sahara Barat.

Keputusannya bertolak-belakang dengan kecenderungan pada pemimpin Afrika --termasuk di Rwanda dan Republik Kongo-- yang telah mengubah atau menghapuskan batas masa jabatan.

Sumber: Reuters
Baca juga: Mauritania ikut putuskan hubungan diplomatik dengan Qatar
Baca juga: Indonesia-Mauritania ingin OKI aktif cari solusi untuk Palestina

Penerjemah: Chaidar Abdullah
Editor: Fardah Assegaf
Copyright © ANTARA 2019