Jakarta (ANTARA News) - Pengamat politik yang juga Direktur Eksekutif Sugeng Sarjadi Syndicate, Dr Sukardi Rinakit, di Jakarta, Selasa, mengungkapkan pemikiran geostrategis dan geopolitiknya, dengan mengusulkan pemindahan ibukota negara ke Jayapura, atau sebuah kota di bibir Pasifik. Ia mengemukakan hal itu menanggapi semakin 'crowded'-nya kondisi Jakarta yang semakin bermasalah dengan bencana banjir, keakutan kemacetan lalu lintas serta hambatan-hambatan transportasi udara maupun laut. "Ibukota pindah saja ke Jayapura. Jadi, langsung menghadap ke Samudera Pasifik. Ini secara geopolitik, posisinya langsung di Pasifik Barat (ke Asia Timur, Australia, New Zealand dan tinggal nyeberang jika mau ke Amerika Serikat," kata Sukardi Rinakit. Sebelumnya secara terpisah Ketua Fraksi PDI Perjuangan di DPR, Tjahjo Kumolo, menegaskan pemerintah pusat harus segera mengambil alih perencanaan dan pembangunan Jakarta, atau secepatnya menentukan alternatif ibukota pemerintahan baru yang setidaknya tak ada hambatan-hambatan rutin, seperti banjir kronis serta kemacetan akut. "Pembangunan Jakarta kalau masih tetap sebagai ibukota negara RI, dengan melihat realitas di lapangan, seharusnya diambil alih perencanaan dan pembangunannya oleh pemerintah pusat, namun pengelolaannya tetap oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Dan satu hal lagi, tidak bisa setengah-setengah pembangunannya," tegasnya. Baik Sukardi Rinakit maupun Tjahjo Kumolo, sama-sama prihatin dengan keadaan kota Jakarta yang kembali mengalami banjir pada 1 Februari 2008 lalu dengan ekses berganda pada kemacetan lalu lintas darat, terganggunya ratusan jadual penerbangan dalam maupun luar negeri, serta ikut mengacaukan kegiatan pelabuhan laut maupun jaringan kereta api se-Jawa. Malahan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kena dampak banjir, sehingga iring-iringan mobil kepresidenan tidak bisa menembus Jalan Thamrin pada Jumat (1/2) lalu, tepatnya di depan pusat pertokoan Sarinah, lalu Presiden pun akhirnya pindah mobil. Praktis sejak pada hari Jumat (1/2) itu, transportasi darat, udara dan laut dari, ke, maupun di Jakarta benar-benar terganggu. Cepat Tentukan Alternatif Tjahjo Kumolo lebih lanjut berpendapat, jika memang setelah dinilai dari berbagai aspek ternyata kondisi Jakarta sudah sulit berubah drastis, pihaknya mengusulkan secepatnya menentukan alternatif ibukota pemerintahan baru. "Ia, kalau tidak bisa lagi, sudah harus cepat ditentukan alternatif ibukota baru yang setidaknya tidak ada hambatan, khususnya banjir kronis dan kemacetan akut itu tadi," tegasnya. Khusus tentang banjir, demikian Tjahjo Kumolo, ternyata telah mampu mematikan seluruh aktivitas pemerintah pusat. "Saya kira pihak DPR pasti setuju (dengan usulan dan upaya penataan kembali ibukota pemerintahan), apakah tetap di Jakarta atau mencari alternatif lain, sepanjang perencanaan terpadu oleh pemerintah pusat cermat, teliti dan proyeksinya jangka panjang sampai 100 tahun," katanya meyakinkan. Mengapa harus berdurasi jangka panjang begitu, karena menurut Tjahjo Kumolo, dari data yang ada di partainya, Kota Jakarta kini sudah berposisi di bawah permukaan air laut, dengan beragam risiko berbahaya bagi suatu ibukota pemerintahan. Secara terpisah, beberapa tokoh politik dan pengamat kembali mengangkat lagi wacana mencari alternatif ibukota pemerintahan yang lebih representatif serta menunjukkan harkat martabat bangsa. Selain diutarakan oleh Tjahjo Kumolo, juga datang dari Sekretaris Fraksi Partai Demokrat di DPR, Sutan Bathoegana, Suharso Monoarfa (Sekretaris Fraksi Partai Persatuan Pembangunan di DPR RI), termasuk oleh pengamat politik dari Universitas Gajah Mada, Dr Cornelis Lay serta peneliti dan pengamat politik LIPI, Dr Hermawan Sulistio. (*)

Copyright © ANTARA 2008