Jakarta (ANTARA) - Kabar menghebohkan muncul dari KTT ASEAN 2019 di Bangkok pekan silam ketika Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-ocha menyatakan ASEAN akan mengajukan lamaran menjadi tuan rumah bersama Piala Dunia 2034.

Satu pekan setelah itu, PSSI mengungkapkan telah menggandeng Australia untuk menuanrumahi turnamen krida terakbar dunia setelah Olimpiade itu. Australia membenarkan konfirmasi Indonesia ini pada hari yang sama.

2034 adalah empat tahun setelah 2030, tahun yang diyakini banyak kalangan sebagai momen ketika Indonesia menyeruak menjadi salah satu dari lima besar kekuatan ekonomi dunia. Standard Chartered Plc, lembaga keuangan terkemuka dunia dari Amerika Serikat, memprediksi tahun itu Indonesia akan menjadi kekuatan ekonomi nomor empat di dunia.

15 tahun dari sekarang ini Indonesia kemungkinan akan jauh lebih maju, bukan hanya dari aspek ekonomi, tetapi juga pada aspek-aspek lain seperti olahraga prestasi, termasuk sepak bola, selain juga kemajuan infrastruktur baik yang berkaitan langsung maupun tidak dengan olahraga.

Pertumbuhan ekonomi yang perlahan mengerek tingkat kemakmuran, walaupun mungkin sulit menjangkau semua sudut negeri dan semua level sosial, paling tidak untuk sekarang, bakal berimplikasi kepada bagaimana olahraga ditata untuk berkembang guna mencapai level lebih tinggi.

Berdasarkan skenario itu, bukan tanpa alasan jika Indonesia berani bermimpi menjadi tuan rumah turnamen olah raga paling menyedot perhatian manusia sejagat itu. Bukan pula spekulasi jika negara semaju Australia mempercayai Indonesia sebagai mitra untuk tuan rumah bersama Piala Dunia 2034.

Asian Games 2018 adalah contoh bagaimana Indonesia telah meningkatkan kekuatan olahraganya pada tingkat yang tak pernah dicapai pada masa-masa sebelumnya. Sukses Asian Games nyaris beriringan dengan sukses ekonomi Indonesia sehingga menjadi salah satu aktor penting dalam teater ekonomi global yang antara lain terbukti turut menjadi dirijen dan anggota terkemuka G-20.

Liputan luas media mengenai bagaimana Indonesia menyelenggarakan Asian Games 2019 menjadi salah satu cerita paling menarik yang menjadi buah bibir dunia sehingga banyak negara kepincut, termasuk Australia.

Buktinya, Australia yang dua kali menyelenggarakan Olimpiade, masing-masing edisi 1956 di Melboourne dan edisi 2000 di Sydney, lebih memilih menggandeng Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia 2034, ketimbang Selandia Baru yang dalam aspek apa pun lebih dekat dengan Australia.

Tapi, setiap kali Piala Dunia FIFA digelar, dan juga Olimpiade, setiap kali itu pula analisis cost and benefit penyelenggaraan turnamen ini dikupas luas oleh masyarakat. Padahal, hampir semua negara yang pernah menuanrumahi Piala Dunia, tak melulu membidik manfaat ekonomi dari menjadi tuan rumah Piala Dunia.

Public relations

Suatu ketika Paus Yohanes Paulus II berkata, "Di antara semua subjek tidak penting, sepak bola adalah yang paling penting." Faktanya tak ada turnamen olahraga dan perhelatan dunia, yang menyamai kemampuan Piala Dunia FIFA dalam menarik perhatian miliaran pasang mata penduduk dunia sehingga Piala Dunia FIFA memang salah satu event paling penting sejagat.

Perhatian besar semesta kepada Piala Dunia sering menjadi kesempatan besar dalam mendapatkan audiens untuk pencapaian-pencapaian besar sebuah negara.

Oleh karena itu, faktor ekonomi yang memang tak mungkin dikesampingkan karena Piala Dunia membutuhkan investasi untuk infrastruktur dan sistem akomodasi dan aspek modal lainnya, kadang bukan lagi menjadi bagian paling penting dari tujuan menjadi tuan rumah Piala Dunia.

Itu pula yang dilontarkan Presiden Rusia Vladimir Putin ketika melukiskan apa yang ingin dicapai Rusia dari Piala Dunia 2018. "Menjadi tuan rumah Piala Dunia 2018 adalah menyangkut 'kebahagiaan dan kebanggaan terbesar' untuk bangsa ini," kata Putin satu tahun silam.

Laporan World Economic Forum sendiri menyebutkan, para tuan rumah event-event olahraga terbesar sejagat seperti Piala Dunia memang tak cuma fokus kepada berapa banyak dana yang dikeluarkan untuk menuanrumahi event itu. "Mereka memanfaatkan Piala Dunia atau Olimpiade untuk mengirimkan sinyal kepada seluruh dunia," tulis World Economic Forum dalam laporannya itu.

China misalnya, setelah Olimpiade 2008, membangun industri olahraganya sebagai kepanjangan dari kebijakan diplomatiknya setelah spektrum pengaruh dan kebutuhan ekonominya meluas ke mana-mana, selain oleh semakin aktifnya China dalam percaturan politik global. China bahkan tak mau berhenti pada Olimpiade 2008 karena mereka melanjutkannya dengan menjadi tuan rumah Olimpiade Musim Dingin 2022.

Tuan rumah Piala Dunia juga lebih tertarik kepada manfaat jangka panjang dari menyelenggarakan Piala Dunia. Qatar yang kaya raya misalnya, mengutip laman bleachreport.com, tidak terlalu membidik kesuksesan ekonomi jangka pendek dari Piala Dunia 2020.

Qatar justru lebih tertarik memanfaatkan Piala Dunia sebagai ajang promosi atau public relations untuk memamerkan kepada dunia siapa dan bagaimana Qatar sekarang, persis ketika mereka meluncurkan jaringan televisi Al Jazeera pada 1996 yang telah secara radikal mengubah lanskap media Arab dan menempatkan Qatar pada jantung media Arab yang paling dipercaya dan kredibel.

Lalu bagaimana dengan Indonesia? Pada 2034, kemungkinan besar wajah negeri ini menjadi yang jauh lebih cantik menawan nan modern karena saat itu infrastruktur, termasuk infrastruktur olahraga, mungkin dibangun lebih merata dan lebih megah di mana-mana.

Kemakmuran yang mungkin kian merata dan meningkat saat itu, bakal memicu gairah besar dalam segala aspek kehidupan, termasuk olahraga dan sepak bola. Dan manakala negeri ini sudah sampai ke level itu, maka akan tidak berlebihan jika Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia 2034.

Saat itu Indonesia mungkin telah menjadi kekuatan ekonomi terbesar keempat. Dan seandainya Indonesia berhasil menjadi tuan rumah edisi 2034 itu, maka Indonesia berkesempatan menunjukkan kepada dunia apa yang telah dicapainya, termasuk sepakbola, sehingga dunia rela menjadi sekutu abadi Nusantara, pada matra apa pun, mulai ekonomi, politik, budaya, sampai harmoni dan perdamaian dunia.

Sebelum dan sesudah Piala Dunia itu, tak seperti Brasil setelah Piala Dunia 2014 atau Afrika Selatan 2010 menjadi tak terawat setelah Piala Dunia usai, Indonesia mungkin akan memiliki stadion-stadion megah sepak bola yang akan tetap penuh disesaki penonton karena negeri ini memiliki puluhan juta penonton fanatik sepak bola yang memiliki kebiasaan tidak saja antusiastis memelototi pertandingan-pertandingan kelas dunia di luar sana, tetapi juga gemar menikmati pertandingan-pertandingan lokal di dalam sini.

Memang masih sangat prematur, tetapi karya besar kerap diawali dari impian besar. "Jangan remehkan kekuatan mimpi," kata Wilma Rudolph, sprinter legendaris Amerika Serikat pada 1960-an yang menjadi wanita pertama dari negeri ini yang menyabet tiga medali emas dalam satu Olimpiade.

Baca juga: Indonesia, Malaysia, Thailand dan Vietnam pantas tuan rumahi PD 2034

Baca juga: Australia akui ajak Indonesia tuan rumahi Piala Dunia 2034

Baca juga: PSSI gandeng Australia untuk ajukan bidding Piala Dunia 2034

Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2019