Kupang (ANTARA News) - Timor Leste diperkirakan akan tetap bergolak pasca-upaya pembunuhan gagal terhadap Presiden Ramos Horta dan Perdana Menteri Xanana Gusmao, karena kelompok pemberontak tetap mempertahankan eksistensinya akibat "salah asuhan" yang dilakukan tentara asing di negara baru itu. Watak dan karakter orang Timor harus dibangun melalui pendekatan kemitraan untuk sama-sama membangun negara miskin itu, bukan dengan cara-cara represif dan arogansi seperti yang dipertontonkan tentara asing atas wilayah negara yang baru lepas dari Indonesia melalui jajak pendapat pada 30 Agustus 1999 itu. "Kondisi inilah yang tak diterima masyarakat di negara kecil itu yang kemudian memicu lahirnya kaum pemberontak pimpinan Mayor Alfredo Reinado untuk menentang bentuk kolonialisme baru atas bekas koloni Portugis yang baru merdeka pada 20 Mei 2002 ini," kata pemerhati masalah Timor Leste, Florencio Mario Vieira, di Kupang, Selasa. Menurut dia, anak buah mendiang Alfredo Reinado, yang ditembak mati ketika kelompoknya melakukan penyerangan bersenjata terhadap Presiden Timor Leste, Ramos Horta pada 11 Februari lalu, tidak akan menyerah, meskipun dikejar terus oleh pasukan asing yang bertugas di Timor Leste. "Mereka tetap akan terus bergerilya untuk mempertahankan harga diri sebagai bangsa Timor yang tidak mau diperlakukan secara tidak manusiawi oleh negara-negara asing pimpinan Australia atas negara mereka," ujarnya. Mario Vieira mengatakan, Timor Leste tetap diciptakan untuk tidak stabil agar segala macam perundingan berkaitan dengan pengolahan kekayaan minyak dan gas (migas) di Laut Timor dapat dilakukan secara tidak seimbang untuk kepentingan negeri Kanguru itu. Sungguh sangat jelas bahwa kehadiran pasukan asing di Timor Leste lebih berfungsi seperti "pemadam kebakaran", bukan bertujuan membangun sebuah kemitraan yang tulus dengan masyarakat di negara itu untuk membangun Timor Leste. "Saya tidak pernah melihat hal ini terjadi dalam diri pasukan asing yang bertugas di Timor Leste. Atas dasar itu lahirnya kelompok pemberontak yang memiliki sikap tegas menolak kehadiran pasukan asing di negara yang merdeka dan berdaulat itu," ujarnya. Secara global, kata dia, tujuan utama dari negara-negara besar hanya untuk memperlemah posisi negara berkembang agar tidak maju dalam segala bidang, sehingga mudah disetir untuk kepentingan ekonomi mereka. Negara-negara maju, tambahnya, pada umumnya berupaya menciptakan instabilitas negara untuk memperlemah posisi parlemen agar tidak kuat dalam memperjuangkan kepentingan negara untuk menyejahterakan rakyatnya. Dalam kasus Timor Leste, kata Mario Vieira, Australia memiliki kepentingan yang sangat besar untuk menguasai kekayaan migas di Laut Timor, sehingga terus berupaya memperlemah posisi parlemen di negara itu dan bertindak represif dan arogan atas masyarakat di negara itu. "Situasi inilah yang tampaknya tidak diterima oleh Mayor Alfredo yang kemudian melakukan perlawanan bersenjata atas pemerintahan di negara itu, karena masih terkontaminasi dengan pola pikir Barat untuk memperlemah rakyat di negara tersebut," katanya. Dengan mencermati situasi ini, ia memperkirakan Timor Leste tetap akan terus bergolak selagi pasukan asing masih tetap bercokol dengan arogansinya di negara itu, karena anak buah mendiang Reinado tampaknya tidak akan mau menyerah. (*)

Pewarta:
Copyright © ANTARA 2008