Jakarta (ANTARA News) - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 2008 tentang Jenis dan Tarif PNBP dari Penggunaan Kawasan Hutan, untuk Kepentingan Pembangunan di luar Kegiatan Kehutanan masih dapat ditelaah kembali.
"Kalau urusannya murah atau tidak murah, pantas atau tidak pantas, itu bisa ditelaah secara terbuka baik oleh Departemen Kehutanan, Departemen Keuangan kalau itu menyangkut PNBP. Jadi sangat terbuka untuk itu," kata Presiden usai memimpin rapat terbatas di Departemen Kehutanan, Jakarta, Jumat.
Presiden mengatakan, tidak dicabutnya kebijakan lama terkait pemberian ijin 13 perusahaan tambang untuk melakukan pembangunan di kawasan hutan lindung, itu merupakan proses sejarah.
Tapi pertanyaannya apakah tarif tersebut seimbang dengan apa yang akan diberikan kepada negara dengan apa yang harus dilakukan untuk konservasi atau untuk pemeliharaan kembali hutan.
Terkait dengan penetapan tarif Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, seluruh kewajiban perusahaan, entah itu dalam bentuk Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Pajak Penghasilan (PPh) maupun Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sah ada aturannya.
Sedangkan untuk ketetapan tarif PNBP, tentu ada pertimbangan dari departemen teknis mengenai apa-apa yang menjadi objek dari tarif tersebut dan kenapa tarifnya seperti itu, tentu dilihat dari berbagai aspek yang diusulkan.
"Tarif adalah diusulkan dari departemen teknisnya dan kemudian kita review dari Departemen Keuangan sebagai penerimaan non pajak," katanya.
Sebelumnya, Kepala Badan Planologi Kehutanan Departemen Kehutanan, Yetti Rusli mengatakan, tarif PNBP untuk penggunaan kawasan hutan produksi dan hutan lindung dapat berubah sesuai dengan kondisi perekonomian nasional dan global.
"Angka ditetapkan bersama berdasarkan fakta yang ada sekarang. Total biaya produksi dan pendapatan perusahaan merupakan suatu dinamika, dan tarif selalu di
up date oleh Menteri Keuangan tergantung pada kondisi ekonomi nasional dan global," kata Yetti Rusli.
Menurut dia, tarif yang ditetapkan dalam PP Nomor 2 Tahun 2008 tersebut tidak melalui penelitian tetapi dengan simulasi langsung ke beberapa perusahaan tambang dengan mencoba memasukkan semua biaya yang dikeluarkan perusahaan dan ditambah dengan PNBP Kehutanan.
Pada akhirnya tarif yang dikeluarkan merupakan tarif yang dianggap sesuai bagi perusahaan yang terkena PNBP tersebut, dalam arti tarif tidak terlalu tinggi karena dapat menghentikan investasi dan tarif tidak terlalu rendah sehingga merugikan negara. (*)
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2008