Brisbane (ANTARA News) - Menteri Pertahanan Australia, Joel Fitzgibbon, akhirnya tetap memilih melanjutkan kontrak pengadaan sedikitnya 24 pesawat tempur canggih F/A -18 F Super Hornet, yang telah ditandatangani pemerintah Australia semasa pemerintahan John Howard dengan Amerika Serikat (AS).
Keputusan itu disampaikannya dalam pernyataan pers yang dikeluarkan Kementerian Pertahanan Australia, Senin.
"Membatalkan (kontrak pembelian) Super Hornet akan membawa konsekuensi hukuman finansial yang besar dan menciptakan ketegangan dengan para mitra kontraktor," kata Fitzgibbon.
Ia menimpali bahwa kemampuan Super Hornet pun dianggap mampu meladeni ancaman apapun di kawasan Asia Pasifik.
Keputusan mempertahankan kontrak pengadaan F/A-18 F itu diambil Menhan Fitzgibbon bertalian dengan hasil evaluasi tim yang dibentuknya untuk meninjau kembali kemampuan pertahanan udara Australia.
Sebelum ada keputusan ini, ia sempat memasukkan pesawat tempur canggih F-22 Raptor ke dalam proses peninjauan kembali itu sebagai opsi jika ada keputusan soal pembatalan kontrak pembelian Super Hornet senilai lebih dari lima miliar dolar AS yang telah ditandatangani pemerintahan PM John Howard dengan AS.
Adanya keinginan memasukkan F-22 Raptor memicu spekulasi tentang pembatalan kontrak pembelian F/A-18F. Konsekuensi ongkos pembatalan yang harus ditanggung pemerintah federal Australia pun bergulir menjadi wacana politik.
Pada 18 Februari lalu, Menhan Joel Fitzgibbon mengumumkan struktur dan rincian peninjaun kembali pemerintahan Partai Buruh yang kini berkuasa atas kepatutan rencana kemampuan tempur udara Australia hingga 2045.
Peninjauan kembali itu dimaksudkan untuk membantu pemerintah menilai rencana yang ada sekarang dan menyampaikan pertimbangan tentang kemampuan tempur udara Australia berdasarkan Buku Putih Pertahanan yang baru.
Menurut Menhan Fitzgibbon, peninjauan kembali itu dilakukan dalam dua tahap.
Pada tahap pertama, dilakukan penilaian terhadap persyaratan kemampuan tempur udara Australia antara tahun 2010 dan 2015, dan kelayakan mempertahankan pesawat tempur F-111 hingga setelah 2010.
Seterusnya dilakukan pula analisa perbandingan pesawat tempur yang ada untuk mengisi ketimpangan yang terjadi akibat penarikan F-111, serta penilaian terhadap status rencana mendapatkan F/A-18 Super Hornet.
Pada tahap kedua, peninjauan kembali itu akan mempertimbangkan tren kekuatan udara di kawasan Asia Pasifik hingga tahun 2045, dan kemampuan relatif pesawat tempur generasi sekarang maupun generasi ke-empat dan kelima seperti "Joint-Strike Fighter".
Dalam peninjauan kembali tahap dua itu, tim peninjau juga akan mengkaji F-22 dengan tetap mempertimbangkan masalah industri yang relevan dengan perkembangan kemampuan tempur udara Australia.
Di masa pemerintahan PM Howard, isu pengadaan Super Hornet yang terlanjur disepakati dengan AS itu tidak dapat dilepaskan dari ambisi Angkatan Bersenjata Australia (ADF) mengisi ketimpangan saat pesawat-pesawat F-111 dan "Joint Strike Fighter" dipensiunkan pada 2014.
Sangat baik
Bagi Kepala Staf Angkatan Udara Australia, Marsekal Angus Houston, kemampuan tempur Super Hornet "sangat baik" dan sejauh ini tidak ada bandingannya yang lebih baik di kawasan Asia Pasifik.
Di kawasan Asia, analis pertahanan sering membandingkan kemampuan tempur Super Hornet itu dengan pesawat tempur canggih "Sukhoi" buatan Rusia yang sudah memperkuat angkatan udara China, India, Malaysia dan Indonesia.
Kembali ke masalah kontrak pembelian Super Hornet yang pada akhirnya dipertahankan Menhan Fitzgibbon.
Seandainya dia membatalkan kontrak pembelian yang sudah disepakati pemerintahan PM Howard dengan AS, Pejabat senior Dephan Australia, Stephen Gumley mengatakan, pemerintah federal harus siap mengeluarkan 400 juta dolar.
Dana pembatalan sebesar itu, katanya, harus disiapkan sesuai dengan nilai kontrak yang sejauh ini ada.
Biaya itu akan terus membengkak karena semakin lama Australia terlibat dalam program pengadaan itu, semakin banyak pula "Super Hornets" yang dibuat.
Kontrak pembelian Super Hornet yang belakangan memunculkan pertimbangan lain dari pemerintahan Perdana Menteri Kevin Rudd dengan melirik F-22 Raptor ini dilatarbelakangi oleh keinginan untuk merumahkan pesawat tempur F-111 pada 2010.
Isu penarikan F-111 pada 2010 untuk digantikan dengan pesawat tempur yang dinilai lebih canggih dan mampu menjaga supremasi tempur udara Australia itu semakin bergulir kencang sejak 3 Mei 2007.
Saat itu, ADF menyebutkan pihaknya telah melakukan kontrak pertama akuisisi 24 unit F/A -18 F Super Hornet dan sistem pendukungnya senilai 2,9 miliar dolar dengan Angkatan Laut AS.
Berbagai masalah lainnya, termasuk akuisisi senjata, bahkan direncanakan selesai pada 2007, sedangkan pelatihan bagi para personel militer Australia di AS dimulai pada 2009 atau setahun sebelum penarikan F-111.
Dephan Australia di masa PM Howard masih berkuasa sangat yakin bahwa kehadiran F/A-18 F Super Hornet itu akan mampu mempertahankan kemampuan tempur udara Australia melalui transisi ke pesawat tempur F-35 pada dekade berikutnya.
Pesawat tempur buatan Boeing dan pertama kali terbang pada 29 November 1995 ini dinilai berkemampuan tinggi, terbukti dalam operasi tempur, dan memiliki multiperan.
Angkatan laut AS menfungsikan jenis Super Hornet yang memiliki seri E dan F ini hingga tahun 2030.
Sebanyak 24 pesawat Super Hornet Australia itu pada awal rencananya akan ditempatkan di Pangkalan Udara Angkatan Udara Australia (RAAF) di Amberley, Negara Bagian Queensland. (*)
Copyright © ANTARA 2008