Brisbane (ANTARA News) - Islam tidak perlu dipertentangkan dengan modernitas karena keduanya bisa berjalan beriringan. Bahkan kaum Muslimin pernah berjaya membangun peradaban modern Islam yang gemilang di Cordova, Spanyol, saat Barat masih terbelakang. Pendapat itu disampaikan Ra`is Syuriah Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (NU) Australia dan Selandia Baru yang juga Dosen Hukum Islam di Universitas Wollongong, Dr. Nadirsyah Hosen, LLM, MA (Hons), PhD di Brisbane, Jumat malam. "Sikap moderat adalah pilihan yang paling cocok. Islam sendiri sangat fleksibel dan adaptabel dengan perkembangan zaman," katanya, di depan puluhan anggota jamaah pengajian Jumat malam Perhimpunan Masyarakat Muslim Indonesia di Brisbane (IISB). Nadirsyah mengatakan, jalan moderat dalam menyikapi modernitas itu adalah pilihan terbaik bagi umat Islam, karena selain tetap menjaga teguh identitas keislaman, mereka bisa menerima hal-hal positif dari modernitas tersebut. Beberapa ciri modernitas yang patut dimiliki kaum Muslimin di mana saja, termasuk Indonesia, dan sejatinya telah pun diajarkan Islam adalah anjuran menggunakan akal (logika), mengedepankan etika, terstruktur rapi, dan mampu beradaptasi dengan perubahan sosial, katanya. Dalam soal ajaran Islam yang menganjurkan penganutnya menggali ilmu pengetahuan dan menggunakan akalnya, kejayaan peradaban Islam di Cordova Spanyol itu adalah bukti sejarah yang tak terbantahkan. Jejak-jejak ilmuwan besar Islam yang diakui dunia itu justru berada di jantung Eropa pada tahun 700-an Masehi. Ibnu Sina dan Ibnu Rushd (Averrus) adalah dua dari sekian banyak ilmuwan besar Islam ketika itu, katanya. Di saat orang-orang di Barat masih percaya tahyul, para ilmuwan dan peneliti Muslim justru asyik bekerja di laboratorium-laboratorium, kata Nadirsyah Hosen. "Jadi Islam kompartibel dengan modernitas. Anda bisa menjadi Muslim yang baik dan sekaligus Anda pun bisa menjadi modern," katanya. Dengan kata lain, Islam bisa berjalan beriringan dengan modernitas kalau umat Islam mampu menjembatani keduanya. Dalam konteks ini, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pemahaman tentang keislaman secara benar menjadi penting, katanya. Pesan universal dan alat Nadirsyah menggarisbawahi pentingnya memahami mana yang merupakan pesan universal Islam dan mana yang sekadar "tool" (alat). Dalam pandangannya, keadilan adalah inti dari hukum Islam. Dalam Islam, kesetaraan jender justru sudah sejak dulu menjadi bagian dari pesan universal Islam. Tantangan bagi umat adalah bagaimana menurunkan nilai-nilai universal ini ke dalam masyarakat, katanya. Ia mencontohkan bagaimana umat memahami hadist Nabi tentang penggunaan siwak dan pesan universal Islam tentang menjaga kebersihan. Nadirsyah mengatakan, siwak adalah sekadar salah satu "tool" atau "alat" untuk membersihkan gigi, sedangkan pesan universal Islamnya adalah menjaga kebersihan dan kesehatan gigi. Dengan demikian, bagi kaum Muslimin yang tidak menggunakan siwak melainkan sikat dan odol gigi serta rutin pula memeriksakan giginya ke dokter, mereka tidak boleh dicap sebagai orang yang tidak mengikuti sunnah Nabi, katanya. Dalam masalah makanan, Islam tidak hanya menganjurkan umatnya untuk mengonsumsi makanan yang halal saja, tetapi juga "toyyibah" (baik dan berkah). Dalam konteks modern, makanan yang toyyibah itu misalnya dapat dimaknai sebagai perhatian terhadap kemasan, higienitas, dan keadilan bagi para pekerja, katanya. Namun dalam menyikapi tantangan modernitas, umat Islam tetap dihadapkan pada masalah pilihan, kata cendekiawan Muslim yang menyandang dua gelar doktor bidang hukum dari Universitas Wollongong Australia dan Universitas Nasional Singapura itu. Penulis buku "Shari`a and Constitutional Reform in Indonesia" terbitan ISEAS, Singapura, tahun 2007 itu menyebut isu kloning manusia dan penyewaan rahim perempuan sebagai dua di antara tantangan modernitas yang menghadapkan Islam pada pilihan. Dalam menyikapi tantangan-tantangan modernitas lainnya, para alim ulama dan ilmuwan Muslim sudah sepatutnya mengembangkan kerjasama yang baik di antara mereka sehingga mereka dapat menghasilkan kolektif ijtihad, kata Nadirsyah Hosen. LP-POM Majelis Ulama Indonesia adalah salah satu contoh yang baik dari adanya kerja sama di antara para ulama dan ilmuwan umum. Untuk memberhasilkan kolektif ijtihad itu, arogansi keilmuwan di kalangan ilmuwan dan ulama mutlak dihilangkan, katanya. Nadirsyah Hosen menambahkan bahwa dalam merespons modernitas, umat Islam Indonesia jangan pula melupakan pentingnya mengembangkan gerakan etis disamping politik dan pendidikan. Gerakan etis di kalangan umat Islam Indonesia masih vakum dan cenderung hanya terbatas pada masalah pemboikotan produk-produk negara tertentu tetapi belum menyentuh masalah-masalah seperti lingkungan dan teknologi, katanya. (*)

Pewarta:
Copyright © ANTARA 2008