Cirebon (ANTARA News) - Rendahnya harga gula saat ini dinilai tidak mampu merangsang petani tebu meningkatkan produktivitasnya sehingga program revitalisasi pabrik gula menghadapi ancaman kekurangan pasokan bahan baku. Patokan harga gula yang kurang kompetitif dibanding harga komoditas lain seperti beras dan kedelai, dikhawatirkan akan mendorong petani tebu beralih menanam tanaman komoditas lain sehingga mengancam keberhasilan program revitalisasi pabrik gula, kata Ketua Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Jawa Barat H Anwar Asmali. Usai mengikuti kunjungan Wapres Jusuf Kalla ke Pabrik Gula Tersana Baru di Cirebon, Anwar Asmali mendesak agar pemerintah menaikkan harga patokan gula untuk merangsang petani meningkatkan produksi tebu sehingga kebutuhan bahan baku yang meningkat akibat revitalisasi pabrik gula terpenuhi. "Di tengah kenaikan harga komiditas pertanian seperti beras dan kedelai, justru harga gula pasir relatif statis bahkan cenderung turun. Ini sangat membahayakan program revitalisasi yang meningkatkan kapasitas giling tebu pabrik gula," katanya. Menurut Anwar, penetapan harga dasar gula Rp4.900 per kilogram tidaklah realistis karena akan menurunkan semangat petani bertanam tebu sehingga diperkirakan banyak petani tebu yang akan beralih ke komoditas lain. "Harga yang realistis adalah Rp5.200 per kilogram supaya mendorong petani untuk menambah lahan tebu sesuai dengan kapasitas pabrik yang semakin meningkat," katanya. Hal senada dikatakan Direktur Produksi PT PG Rajawali II, Ir Widodo, yang meminta agar petani tebu diberi rangsangan melalui harga gula yang baik sehingga tidak beralih ke komoditas lain. Rangsangan itu perlu untuk memacu petani tebu meningkatkan produktivitasnya karena dengan program revitalisasi kapasitas giling meningkat dan tentu saja membutuhkan pasokan bahan baku yang lebih banyak pula. Ia mencontohkan, dengan mengalirknya kredit investasi dari BRI untuk perbaikan maupun penggantian mesin yang sudah tua, serta penambahan unit pendukung yang sampai 2008 nilai investasinya mencapai Rp186,5 miliar, maka kapasitas giling meningkat menjadi 16.000 ton batang tebu per hari (TCD). "Tahun depan dengan tambahan kredit investasi kembali, maka lima pabrik gula di Rajawali II kapasitasnya akan naik menjadi 18.000 ton TCD dan tahun 210 ditargetkan 20.000 TCD. Semua itu memerlukan areal tambahan sekaligus meningkatan produksi tebu per hektar," katanya. Menurut dia, jika banyak petani tebu yang kemudian beralih ke komoditas lain yang lebih menguntungkan, maka akhirnya kapasitas terpasang pabrik yang sudah direvitalisasi tidak bisa difungsikan optimal. Pada bagian lain, Anwar menilai, rendahnya harga gula ini juga disumbang oleh kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada petani tebu. Kebijakan impor gula 110.000 ton melalui Bulog dan PPI dengan dalih buffer stock serta membiarkan gula rafinasi beredar luas di pasar tradisional dan supermarket merupakan salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya harga gula di dalam negeri. Ia mengungkapkan, kebutuhan riil gula rafinasi untuk industri makanan dan minuman di Indonesia hanya 1,2 juta ton per tahun, tetapi data yang diungkap Ketua Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia (AGRI) Malvin ditemukan jumlah produksi gula rafinasi di Indonesia mencapai 1,5 juta ton. "Berarti ada kelebihan 0,3 juta ton yang kemana larinya, apalagi ada sejumlah industri makanan dan minuman yang bisa mengimpor sendiri gula rafinasinya," katanya. Oleh karena itu ia mendesak agar Dewan Gula Indonesia bisa diketaui oleh Wakil Presiden dan bukan Menteri Pertanian. "Jika ketuanya masih menteri, maka tidak ada daya tekan untuk menerapkan kebijakan yang terpadu," katanya. Ia mengungkapkan, jangan sampai satu departemen mengeluarkan kebijakan terkait gula yang bertentangan dengan kebijakan departemen lainnya. (*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2008