Pulangnya Para Pendamping Prajnaparamita

Selasa, 12 Desember 2023 19:46 WIB

Pulangnya Para Pendamping Prajnaparamita

Arca Singhasari dan Generasi Muda Peduli Sejarah

  • Vicki Febrianto

Anggota tim pemeliharaan dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Trowulan membersihkan lumut dengan menyemprotkan air bertekanan tinggi di badan Candi Singosari, Malang, Jawa Timur, Jumat (27/5/2022). Kegiatan tersebut dilakukan untuk menjaga keutuhan bentuk candi serta meminimalisir kerusakan akibat mikro organisme, spora jamur dan lumut. (ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto/rwa)
Sebutan Singhasari, belakangan menjadi bahan perbincangan hangat seusai Pemerintah Belanda menyepakati pemulangan ratusan objek benda budaya penting yang dijarah pada masa kolonial, untuk kembali ke tanah air.

Empat diantaranya berupa arca Durga, Mahakala, Nandiswara, dan Ganesha, yang berasal dari Candi Singhasari di Kabupaten Malang, Jawa Timur.

Keempatnya selama ini disimpan di Museum Volkenkunde, Leiden, Belanda. Arca-arca itu, berada jauh dari pangkuan Ibu Pertiwi kurang lebih selama ratusan tahun, atau tercatat sejak tahun 1800-an.

Kepulangan empat arca dan ratusan benda budaya penting lainnya itu, seolah mengingatkan kita pada pepatah China, "Ketika minum air, jangan melupakan sumbernya." Empat arca dari Candi Singhasari itu, kini akan kembali ke tempat dimana mereka berasal.

Pamor Candi Singhasari yang mencuat seiring dengan rencana pemulangan sejumlah arca tersebut, sejatinya juga menyimpan sejumlah pertanyaan. Apa sebenarnya tujuan pembangunan Candi Singhasari yang terletak di wilayah Kabupaten Malang itu?

Di kalangan awam, nama Singhasari merujuk kepada Kerajaan Singhasari yang memiliki empat raja, yakni Raja Ken Angrok atau yang biasa dikenal dengan sebutan Ken Arok, Raja Anusapati, Raja Wisnuwardhana, dan Raja Kertanagara.

Namun, Sejarawan Universitas Negeri Malang Dwi Cahyono dalam wawancara bersama ANTARA di Kota Malang, Jawa Timur, menyatakan, Singhasari sesungguhnya merujuk pada suatu tempat di utara Kota Malang, yang saat ini menjadi Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang.

Singhasari bukan sebutan untuk kerajaan di wilayah Jawa Timur, melainkan Ibu Kota Kerajaan Tumapel yang muncul pada 1248 Masehi.

Didirikan Ken Angrok pada 1222 Masehi, Kerajaan Tumapel berpusat di ibu kota Kutaraja, yang saat ini masuk wilayah Kota Malang sebelah selatan Kecamatan Singosari tepatnya di area yang kini dikenal sebagai Kuto Bedah, Kelurahan Kotalama, Kecamatan Kedungkandang.

Setelah dua raja memimpin Tumapel dari Kutaraja, yakni Ken Angrok dan Anusapati, ibu kota dipindahkan ke Singhasari. Perpindahan ibu kota kerajaan itu seolah mengingatkan kita pada rencana pemerintah untuk memindahkan Ibu Kota Negara dari Jakarta, ke Nusantara di Kalimantan Timur.

Keberadaan Singhasari sebagai Ibu Kota Kerajaan, tercatat pada 1248 hingga 1292 M. Singhasari melepas status sebagai ibu kota kerajaan pasca-serangan dari Jayaktwang yang merupakan keturunan Raja Kertajaya, penguasa terakhir Kerajaan Kediri, yang dikalahkan Ken Angrok.

Dalam serangan yang terjadi pada 1292 M, Raja Tumapel saat itu, Kertanagara tewas akibat kepungan pasukan Jayaktwang yang dilakukan dari arah utara dan selatan. Selain Kertanagara, sejumlah pejabat penting di kerajaan itu juga tewas dalam serangan.

Kekalahan Kerajaan Tumapel pada era keemasan yang dipimpin Kertanagara itu, disebut-sebut akibat banyaknya pasukan Tumapel yang dikirimkan ke luar wilayah, sehingga tidak mampu melawan pasukan Jayakatwang.

Kertanagara, ditengarai gugur di wilayah Singhasari pada saat melakukan ritual. Diyakini, Kertanagara tewas di lokasi yang tidak jauh dari bangunan Candi Singhasari, yang saat ini berada di Jalan Kertanegara, Kelurahan Candirenggo, Kecamatan Singosari.

"Saat Kertanagara meninggal pada 1292 M, gugurnya di Singhasari. Disebut-sebut, Kertanagara sedang melakukan ritual. Ada kemungkinan dilakukan tidak jauh dari Candi Singosari, di Desa Ardimulyo, utara candi. Ada temuan Arca Dewi Camundi," kata Dwi Cahyono.

Usai Jayakatwang menyerang Kerajaan Tumapel, berujung tewasnya Kertanagara status Ibu Kota Kerajaan yang disandang oleh Singhasari juga gugur. Status ibu kota kerajaan yang sebelumnya disematkan ke Singhasari, pada era Majapahit juga berubah menjadi "pura" atau kota.

Dalam kitab Negarakertagama, menyebutkan bahwa Singhasari menjadi tempat untuk menginap raja keempat Majapahit, Hayam Wuruk dan rombongan, kurang lebih pada 1350 M. Wilayah itu, dikenal dengan sebutan Pura Singhasari.

Keberadaan kawasan Singhasari tetap bertahan hingga era Kesultanan Mataram. Namun, pada saat itu, status eks Ibu Kota Kerajaan Tumapel tersebut menjadi kadipaten, atau wilayah yang tunduk pada suatu kerajaan dan tempat kedudukan bagi seorang adipati.

Singhasari juga pernah menyandang status sebagai wilayah kawedanan pada masa Hindia Belanda, dan pada akhirnya menjadi sebuah kecamatan pada masa kemerdekaan. Dalam perjalanannya, Singhasari, tidak pernah berstatus sebagai sebuah desa.

Perjalanan Singhasari sebagai sebuah wilayah, juga sempat berada pada titik terendah yakni saat ditinggalkan warga akibat kondisi tertentu. Kawasan itu disebut-sebut sempat menjadi hutan, akibat ditinggalkan warga yang memilih pergi ke kawasan lereng Gunung Arjuno.

Pembangunan Candi Singhasari

Kisah antara Kerajaan Tumapel dengan Kerajaan Kediri saling terkait. Raja Tumapel, Ken Angrok, mendapatkan kekuasaan usai mengalahkan Raja Kertajaya. Keruntuhan Kerajaan Tumapel, langkah balas dendam dari Jayaktwang, yang merupakan keturunan Raja Kertajaya.

Jayakatwang yang menghancurkan Kerajaan Tumapel, dikalahkan oleh Raden Wijaya. Raden Wijaya merupakan menantu raja terakhir Kerajaan Tumapel, Kertanagara. Setelah mengalahkan Jayakatwang, Raden Wijaya mendirikan Kerajaan Majapahit pada 1293 M.

Setelah tewasnya Raja Kertanagara dan berdirinya Kerajaan Majapahit, kurang lebih pada 1304 M, Raden Wijaya yang merupakan menantu Kertanagara membangun tempat pendharmaan atau pemujaan terhadap arwah raja terakhir Kerajaan Tumapel tersebut.

Ditengarai, tempat pendharmaan bagi arwah Raja Kertanagara itu merupakan bangunan suci Candi Singhasari. Raden Wijaya memiliki kepentingan untuk membangun Candi Singhasari yakni mengenang Kertanagara yang masih memiliki ikatan keluarga.

Bangunan Candi Singhasari yang ada saat itu, menurut Dwi Cahyono, berbeda dengan bangunan candi yang ada saat ini. Berdasarkan Prasasti Gajahmada yang ditemukan di sebelah utara Candi Singhasari, ada sebuah peristiwa yang terjadi pada 1351 M.

Pada 1351 M, Gajahmada melakukan ritual untuk para pangeran yang gugur dalam peristiwa penyerangan Jayakatwang pada 1292 M. Kemungkinan besar, Candi Singhasari dipugar dan diperbesar pada tahun 1351 M, dengan bentuk yang menyerupai kondisi saat ini.

"Jadi tidak dengan tiba-tiba seperti itu bangunan Candi Singhasari. Apa yang kita lihat sekarang, adalah hasil dari pembangunan 1351 M, yang 1304 M kita belum ketahui bagaimana bentuk awalnya, sementara pada 1292 M, merupakan embrio Candi Singhasari," katanya.

Sehingga, dengan adanya proses pemugaran yang terjadi pada 1351 M tersebut, keberadaan Candi Singhasari bukan lagi khusus sebagai tempat pendharmaan bagi Kertanegara semata, namun juga sekaligus pendharmaan bagi para pejabat yang tewas dari Kerajaan Tumapel.

MALANG, 22/6 - CANDI SINGOSARI. Dua siswa Sekolah Dasar melihat Candi Singosari di desa Candirenggo, Singosari, Malang, Jawa Timur, Senin (22/6). Candi yang dibangun pada tahun 1304 sebagai tempat pendharmaan atau tempat pemujaan kepada Raja Kertanegara, yang merupakan raja terakhir kerajaan Singosari.(ANTARA/ARI BOWO SUCIPTO)
Candi Singhasari sendiri, terletak di Kelurahan Candirenggo, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang. Candi tersebut, merupakan candi bercorak Hindu-Budha yang berdiri di atas batur berdenah bujur sangkar dengan ukuran 13,84 meter persegi.

Pada kaki candi, juga menjadi ruangan untuk tempat-tempat sejumlah arca. Ada lima relung atau ruang yang mengelilingi dinding kaki candi. Di sebelah barat, ditemukan dua buah relung yang menghadap ke barat.

Sementara di sebelah utara terdapat satu relung, sebelah timur satu relung dan selatan satu relung. Empat dari lima relung tersebut, dalam kondisi kosong, kecuali satu relung pada dinding sebelah selatan yang diisi Arca Syiwa Guru atau yang dikenal dengan Agastya.

Empat ruang yang kosong tersebut belum bisa dipastikan merupakan tempat atau rumah bagi empat arca yakni Durga, Mahakala, Nandiswara, dan Ganesha, yang selama ratusan tahun berada di Belanda, kurang lebih sejak 1819 M.

Namun, dari dimensi arca yang dibawa ke Belanda tersebut, sesuai dengan dimensi relung yang ada di Candi Singhasari.

Pemindahan empat arca itu bermula pada saat Nicolaus Engelhard, yang merupakan Gubernur Jawa Pesisir Timur Laut pada 1801-1803 menemukan reruntuhan bangunan Candi Singhasari pada 1802.

Saat itu, arca-arca tersebut sempat ditempatkan di rumah dinas Engelhard yang berada di Semarang, Jawa Tengah, sebelum akhirnya dikirimkan ke Belanda. Empat arca tersebut, sejak dipindah paksa ke Belanda, menghabiskan sebagian besar waktunya di Museum Volkenkunde sebelum akhirnya dipulangkan ke tanah air dan selanjutnya akan dirawat oleh Museum Nasional Indonesia.

Harapan Baru

Kepulangan empat arca Candi Singhasari tak ubahnya menjadi kado istimewa bagi peringatan ulang tahun ke-78 Indonesia sekaligus membuka harapan baru bagi masyarakat terutama pemerhati sejarah.

Pulangnya empat arca tersebut juga menjadi setitik harapan bagi wilayah Kabupaten Malang, untuk menjadi tempat persinggahan terakhir bagi Durga, Mahakala, Nandishvara dan Ganesha, meskipun ada pekerjaan rumah besar untuk menyiapkan tempat bagi arca-arca tersebut.

Museum Singhasari yang terletak di Dusun Krajan, Kecamatan Singosari, berharap besar bahwa empat arca yang dikembalikan Pemerintah Belanda bisa ditempatkan di museum yang berdiri pada tahun 2015 itu.

Meskipun harapan besar tersebut juga memiliki pekerjaan rumah yang tidak mudah, Pamong Budaya Ahli Muda Sejarah Museum dan Cagar Budaya Pemerintah Kabupaten Malang, Yossy Indra Hardyanto mengatakan bahwa ada dampak besar dari kehadiran arca tersebut.

Dengan adanya arca dari era Kerajaan Majapahit di Museum Singhasari, akan ada peningkatan jumlah kunjungan masyarakat ke museum. Dengan meningkatnya jumlah kunjungan tersebut, harapan untuk melahirkan generasi muda yang melek sejarah lebih terbuka.

Sejauh ini, ia menilai bahwa generasi muda Indonesia banyak yang lebih tertarik untuk mengikuti perkembangan budaya asing. Bahkan, mengesampingkan budaya Indonesia termasuk kerajaan-kerajaan yang memiliki tingkat kompleksitas tinggi pada masanya.

"Harapan kami, tidak ada lagi generasi muda yang menganggap nenek moyangnya itu primitif. Kebudayaan yang sangat indah itu tidak lagi dianggap primitif. Tujuan akhir kita adalah, generasi yang melek sejarah," katanya.

Namun, pada akhirnya, dimanapun arca peninggalan Candi Singhasari tersebut ditempatkan, harapan lebih besar juga tercurah dari kepulangannya. Sejengkal harapan agar anak-anak muda Indonesia bisa bangga dengan sejarah Indonesia yang panjang, mulai bermunculan.

Dengan kepedulian atas sejarah tersebut, pada akhirnya juga mampu menjadi modal untuk membangun peradaban Indonesia yang lebih baik ke depan dengan tetap menjaga kebudayaan yang saat ini mulai tergerus dengan kemajuan zaman.

Pulangnya Para Pendamping Prajnaparamita

Enam yang nyaris karam Bersama Amsterdam

  • Asep Firmansyah & A Rauf Andar Adipati

Anggota tim pemeliharaan dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Trowulan membersihkan lumut dengan menyemprotkan air bertekanan tinggi di badan Candi Singosari, Malang, Jawa Timur, Jumat (27/5/2022). Kegiatan tersebut dilakukan untuk menjaga keutuhan bentuk candi serta meminimalisir kerusakan akibat mikro organisme, spora jamur dan lumut. (ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto/rwa)
12 Oktober 1802, rombongan pegawai pemerintah kolonial Hindia Belanda melakukan perjalanan dari Semarang menuju ujung timur Jawa dengan menyusuri kawasan pesisir Pulau Jawa.

Gubernur Jawa Pesisir Timur Laut Nicolaus Engelhard memimpin langsung perjalanan rombongan tersebut. Engelhard pula yang belakangan secara mendadak meminta rombongan berhenti di tengah rute perjalanan dari Pasuruan menuju Malang.

Informasi mengenai keberadaan sebuah kompleks candi rupanya menggelitik rasa penasaran Engelhard, sebagaimana tertuang dalam catatan perjalanan tersebut yang kini tersimpan di Arsip Nasional Belanda.

"Yang Mulia (Engelhard) mendadak ingin melihat (kompleks candi)," demikian bunyi catatan perjalanan yang ditulis oleh salah satu pegawai staf Engelhard, sebagaimana dikutip dalam laporan kajian asal usul atau provenance research yang dilakukan tim dari Museum Nasional Kebudayaan Dunia (NMVW) Belanda pada September-Oktober 2022.

Lokasi perhentian rombongan Engelhard merujuk pada kompleks Candi Singhasari yang berada di dekat Kota Malang dan ditengarai berasal dari akhir abad ke-13 serta diyakini dibangun sebagai candi penghormatan terhadap Kertanegara, raja terakhir Kerajaan Tumapel (Singhasari).

Keinginan Engelhard untuk menyambangi kompleks Candi Singhasari tentu tidak lepas dari reputasi dia sebagai pegawai kolonial Hindia Belanda yang gemar mengoleksi barang-barang antik Jawa.

Satu-satunya struktur asli tersisa dari kompleks tersebut adalah apa yang kita kenal sekarang sebagai Candi Singhasari, yang oleh pemerintah kolonial dan masyarakat lokal disebut Candi Menara.

Di Candi Menara pula, Engelhard mendapati sejumlah arca yang dalam catatan dideskripsikan sebagai "figur perempuan berbelalai gajah, dua figur perempuan, figur menunggangi sapi, dan di luar candi seekor sapi dengan ukuran lumayan besar mirip Dewa yang amat dihormati masyarakat Mesir, Apis."

Tim NMVW berkesimpulan bahwa figur perempuan berbelalai gajah merujuk kepada arca Ganesha, dua figur perempuan adalah Mahakala dan Nandiswara, figur menunggangi sapi ialah Durga, dan seekor sapi merupakan Nandi.

Sayangnya, kajian NMVW tidak bisa menemukan kesimpulan kapan secara pasti Engelhard memerintahkan arca-arca yang ia temui di Candi Menara untuk dicopot.

Yang jelas, selepas "penemuan" tersebut hingga menjelang akhir masa jabatan Engelhard pada 1808, kelima arca itu ia tempatkan di taman rumah dinasnya di Semarang bersama satu arca lain Bhairawa, yang diyakini juga berasal dari kompleks Candi Singhasari meski tidak disebutkan dalam catatan perjalanan 1802.

Arca Agastya menjadi satu-satunya artefak di Candi Menara yang ditinggalkan oleh Engelhard. Ia menyebut bahwa kondisi arca Agastya sudah terlalu rusak sehingga nilainya tidak sebanding dengan ongkos transportasi menuju Semarang yang harus dikeluarkan.

Kondisi arca Agastya juga yang dijadikan pembenaran oleh Engelhard untuk mencopot dan "menyelamatkan" kelima arca dari Candi Menara untuk ditempatkan di taman rumah dinasnya di Semarang.

Nyaris Karam


Engelhard yang sudah tidak lagi menjabat Gubernur Jawa Pesisir Timur Laut belakangan menawarkan arca-arca dari kompleks Candi Singhasari kepada Pemerintah Hindia Belanda.

Maka sekira Agustus 1817, Gubernur Jenderal Hindia Belanda Godert van der Capellen berangkat ke Semarang memimpin tim pemeriksa yang beranggotakan pejabat tinggi kolonial termasuk Direktur Agrikultur, Seni, dan Sains Caspar Georg Carl Reinwardt.

Sebagai pejabat tinggi kolonial, salah satu tugas Reinwardt adalah memperkaya koleksi Rijksmuseum van Oudheden atau Museum Barang Antik milik Pemerintah Belanda.

Oleh karena itu, Reindwardt berencana untuk mengirimkan langsung keenam arca dari kompleks Candi Singhasari ke Belanda menggunakan kapal Amsterdam yang digunakan untuk mengangkut dari Semarang ke Batavia.

Namun, rencana Reinwardt terbentur intervensi Van der Capellen yang menginginkan agar sebagian arca ditempatkan di 's Lands Platentuin te Buitenzorg atau yang kini kita kenal sebagai Kebun Raya Bogor.

Lantaran intervensi Van der Capellen maka keenam arca Singhasari akhirnya diturunkan dari Amsterdam di Batavia pada Oktober 1817. Tiga arca yakni Durga, Mahakala, dan Nandiswara kemudian ditempatkan di Kebun Raya Bogor.

MALANG, 22/6 - CANDI SINGOSARI. Dua siswa Sekolah Dasar melihat Candi Singosari di desa Candirenggo, Singosari, Malang, Jawa Timur, Senin (22/6). Candi yang dibangun pada tahun 1304 sebagai tempat pendharmaan atau tempat pemujaan kepada Raja Kertanegara, yang merupakan raja terakhir kerajaan Singosari.(ANTARA/ARI BOWO SUCIPTO)

Sedangkan arca Bhairawa, Ganesha, dan Nandi tetap di Batavia hingga akhirnya diangkut kapal Prins Frederik untuk dikirimkan ke Belanda pada Februari 1819. Ketiganya sempat transit di Inggris dan dipindahkan ke kapal kargo Flora yang baru tiba di Texel, Belanda, Juli 1820.

Sementara Bhairawa, Ganesha, dan Nandi kemudian ditempatkan di taman Koninklijk-Nederlandsche Instituut --kini Akademi Seni dan Sains Kerajaan Belanda/KNAW-- di Amsterdam, tiga arca lainnya baru menyusul beberapa tahun berselang.

Arca Durga diberangkatkan dengan kapal De Zeeuw yang tiba di Vlissingen pada Oktober 1827, sedangkan Mahakala dan Nandiswara menumpangi kapal Waterloo yang merapat di Belanda Januari 1828.

Intervensi yang dilakukan Van der Capellen terhadap rencana Reinwardt belakangan terbukti membawa berkah, sebab hanya dua bulan berselang setelah lepas sauh dari Batavia kapal Amsterdam karam di lepas pantai Afrika Selatan pada Desember 1817.

Tanpa intervensi Van der Capellen, arca-arca adiluhung peninggalan era Singhari bisa jadi akan karam bersama kapal Amsterdam.

Keenam arca tersebut, bersama sebuah arca Brahma yang diyakini juga berasal dari kompleks Candi Singhasari dan diangkut oleh Reinwardt dalam kunjungan pada 1822, sudah hampir dua abad berada di Belanda hingga akhirnya Pemerintah Indonesia mengajukannya dalam proses repatriasi pada 2021.

Berbekal dari rekomendasi Komite Goncalves kepada Pemerintah Belanda pada 2019, Indonesia melalui Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemenderian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi membentuk tim repatriasi yang dipimpin mantan Duta Besar RI untuk Belanda I Gusti Agung Wesaka Puja.

Lilian Goncalves, yang mengetuai Komite Goncalves dan memberi rekomendasi perihal repatriasi kepada Pemerintah Belanda, menjadi ketua komite repatriasi mereka yang maju dalam proses perundingan.

Tepat pada 10 Juli 2023, tim repatriasi kedua negara menandatangani dokumen Pengakuan Pengalihan Hak dari Kerajaan Belanda kepada RI yang mencakup pengembalian empat koleksi artefak.

Di dalamnya terdapat empat arca dari kompleks Candi Singhasari yakni Durga, Mahakala, Nandiswara, dan Ganesha, yang tiba di tanah air pada 23 Agustus 2023.

Arkeolog Universitas Indonesia yang juga menjadi bagian tim pakar tim repatriasi Indonesia, Junus Satrio Atmodjo, menegaskan bahwa kembalinya arca-arca peninggalan Singhasari menjadi kesempatan bagi para sarjana di Indonesia untuk melanjutkan tugas memperdalam pengayaan ilmu pengetahuan terkait.

Bagi Junus masyarakat Indonesia sudah sewajarnya memiliki gambaran yang lebih luas terkait kebudayaan Singhasari ketimbang cendekia di luar negeri.

"Jadi karya agung itu bukan hanya tampilan fisiknya, tetapi adalah makna-makna di balik karya itu. Dan ini adalah tugas dari kita semua untuk bisa menerjemahkannya," kata Junus.

Pulangnya Para Pendamping Prajnaparamita

Biar sejajar menggugah kesadaran sejarah

  • Asep Firmansyah & A Rauf Andar Adipati

Pengunjung mengamati arca Bhairawa dari Candi Singasari yang disimpan dan menjadi koleksi Museum Volkenkunde di Leiden, Belanda, Jumat (15/9). Sejumlah artefak yang tersimpan di museum tersebut antara lain arca dari Candi Singasari, Malang, Jawa Timur, yakni arca Bhairawa, Mahakala, Nandiswara, Nandi, Ganesha, dan Durga Mahisasuramardini. (ANTARA FOTO/Ismar Patrizki)
Kunjungan kenegaraan Perdana Menteri Belanda Mark Rutte ke Indonesia pada 2016 diwarnai salah satu peristiwa penting dalam hubungan bilateral kedua negara.

Rutte mendatangi Istana Merdeka, Jakarta, pada 23 November 2016, membawa sebilah keris asal Bugis yang diserahkannya kepada Presiden RI Joko Widodo di sela-sela pernyataan pers bersama selepas pertemuan bilateral.

Serah terima keris itu menjadi simbol dari pengembalian sekira 1.500 artefak sejarah asal Indonesia yang dikembalikan Belanda setelah sebelumnya menjadi koleksi Museum Nusantara Delft.

Namun, adegan serah terima itu menyisakan kesan berbeda di kepala Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Hilmar Farid.

Hilmar menilai cara Belanda mengembalikan artefak-artefak bersejarah Indonesia itu dengan sampul kebaikan hati dan pemberian hadiah.

"Pendekatannya selama masa itu adalah Belanda memberikan hadiah kepada Indonesia dalam bentuk koleksi yang dimaksud. Jadi bukan repatriasi dalam pengertian karena kita ingin (koleksi itu) kembali," kata Hilmar di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Sampul kebaikan hati dan pemberian hadiah sudah berlangsung panjang kendati poin tentang proses repatriasi benda-benda budaya asal Indonesia di Belanda sempat diupayakan tercantum dalam draf kesepakatan Konferensi Meja Bundar.

Jalan terang menyejajarkan kedudukan dalam kesepakatan repatriasi sempat muncul ketika Perjanjian Kebudayaan RI-Belanda ditandatangani oleh menteri pendidikan kedua negara pada 7 Juli 1968.

Dua tahun berselang, Belanda sepakat mengembalikan keropak naskah Negarakertagama kepada Indonesia yang ditandai penyerahan simbolis oleh Ratu Juliana kepada Presiden Soeharto, meski naskah aslinya baru kembali ke tanah air pada 1972.

Ironisnya sampul kebaikan hati dan pemberian hadiah masih terasa begitu kuat dalam serah terima pengembalian keropak naskah Negarakertagama tersebut.

Sebagai tindak lanjut kedua negara pada 1975 juga membentuk komite repatriasi masing-masing, di mana Dirjen Kebudayaan semasa itu Ida Bagus Mantra menjadi ketua untuk pihak Indonesia.

Indonesia mengajukan daftar sejumlah artefak untuk dikembalikan dari Belanda seperti arca Prajnaparamita peninggalan era Kerajaan Tumapel/Singhasari, mahkota Lombok, dan beberapa benda peninggalan Pangeran Diponegoro, yang pengembaliannya juga tersendat-sendat medio 1977-1978.

Lekatnya sampul kebaikan hati dan pemberian hadiah tersebut, termasuk untuk koleksi dari Museum Nusantara Delft, mendorong Hilmar untuk kemudian meluruskan pendekatan dan modalitas proses repatriasi koleksi asal Indonesia di Belanda.

Lilian Goncalvez

Sekira satu tahun setelah pengembalian koleksi Museum Nusantara Delft, gelombang repatriasi oleh negara kolonial kepada bekas jajahannya mendapat angin segar menyusul pernyataan Presiden Prancis Emmanuel Macron yang berencana mengembalikan benda-benda asal Afrika.

Belanda merespons angin tersebut dengan memulai proses politik untuk mengambil pendekatan yang lebih baik dalam upaya repatriasi sejak 2019.

Lilian Goncalvez-Ho Kang You, seorang advokat cum pegiat HAM, dipercaya memimpin komite yang belakangan menghasilkan rekomendasi "Koleksi Kolonial dan Pengakuan atas Ketidakadilan".

Duta Besar RI untuk Belanda 2015-2020 Ida Agung Wesaka Puja mengikuti dengan dekat perkembangan kerja Komite Goncalves.

Dalam rekomendasinya, Komite Gonvalves memberikan tiga poin utama. Pertama, harus ada pengakuan terhadap sifat ketidakadilan atas benda-benda tersebut karena dibawa secara paksa dari negara asalnya tanpa seizin negara asalnya.

Kedua, harus ada pengakuan dan juga rehabilitasi terhadap aspek ketidakadilan tersebut yang menjadi dasar pendekatan kerja sama pengayaan ilmu pengetahuan terhadap benda-benda repatriasi.

Dan ketiga,benda-benda yang dijarah dan memenuhi aspek ketidakadilan harus dikembalikan secara sukarela kepada negara asalnya.

"Tiga rekomendasi itu didukung pemerintah Belanda, melalui menteri kebudayaan mereka, walaupun terjadi perdebatan yang panas juga di parlemen," kata Puja di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Goncalvez pula yang belakangan dipercaya untuk mengampu tugas dari Pemerintah Belanda melakukan penjajakan dalam proses repatriasi artefak-artefak bersejarah di Negeri Kincir Angin itu.

Kesadaran Sejarah

Kedudukan yang sejajar dalam proses repatriasi disambut Kemendikbudristek RI dengan menyusun Tim Repatriasi Koleksi Asal Indonesia di Belanda yang dipimpin oleh Ida Agung Wesaka Puja.

Sejarawan sekaligus Pemimpin Redaksi Historia, Bonnie Triyana, dipercaya menjadi sekretaris tim tersebut. Tim tersebut juga melibatkan tujuh orang pakar yakni arkeolog Universitas Indonesia (UI) Junus Satrio Atmodjo, museolog UI Irmawati Marwoto, dan epigraf UI Ninie Susanti.

Kemudian filolog Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Oman Fathurahman, sejarawan sekaligus Dekan Fakultas Ilmu Budaya UI Bondan Kanumayoso, sejarawan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (UGM) Sri Margana, serta antropolog UGM Lono Lastoro Simatupang.

Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Hilmar Farid memberi penjelasan saat wawancara khusus terkait proses repatriasi di Jakarta, Rabu (23/8/2023). (ANTARA/Gilang Galiartha)
Tim Repatriasi Indonesia kemudian rutin berkomunikasi dan melakukan rapat-rapat bersama tim repatriasi Belanda yang dipimpin Goncalves.

Dari rapat sebatas pertemuan tatap layar di tengah situasi pandemi COVID-19 hingga akhirnya tatap muka, tim repatriasi kedua negara akhirnya mencapai kesepakatan final pada 10 Juli 2023.

Hari itu dua dokumen ditandatangani kedua belah pihak, pertama Pengaturan Teknis yang bisa menjadi landasan untuk proses repatriasi koleksi asal Indonesia di Belanda di masa mendatang.

Kedua, dokumen Pengakuan Pengalihan Hak dari Kerajaan Belanda kepada Republik Indonesia yang meliputi serah terima hak sebanyak 472 benda dari empat koleksi artefak.

Empat koleksi tersebut adalah arca-arca Durga, Mahakala, Nandiswara, dan Ganesha dari era Kerajaan Tumapel/Singhasari, objek seni karya kelompok seni Pita Maha asal Bali, ratusan perhiasan dan pusaka Kerajaan Lombok, serta keris yang dirampas dalam peristiwa Puputan Klungkung.

Empat arca Singhasari jadi gelombang pengembalian artefak pertama yang tiba dari proses repatriasi 2023. Keempatnya tiba di tanah air pada 22 Agustus 2023 disusul secara berkala hingga seluruh koleksi yang disepakati sepenuhnya pulang pada November 2023.

Semangat untuk mengubah modalitas ditekankan betul oleh Hilmar yang ingin menjadikan repatriasi sebagai momentum untuk menumbuhkan kembali kesadaran sejarah baik di Indonesia maupun di Belanda.

"Ini bukan cuma soal mengembalikan barang dari luar negeri ke kita, tetapi juga bisa menelusuri kembali ceritanya, menyadari apa sih arti pentingnya, signifikansinya," kata Hilmar.

Memahami keluhuran arca Prajnaparamita

  • Gilang Galiartha

Kurator sekaligus Pamong Ahli Budaya Muda, Fifia Wardani, menirukan sikap Dharmacakramudra di hadapan arca Prajnaparamita dalam wawancara di Museum Nasional Indonesia, Jakarta, Senin (28/8/2023). (ANTARA/Gilang Galiartha)
Apabila Anda berkunjung ke Museum Nasional Indonesia di Jakarta, Anda akan berkesempatan melihat langsung arca Prajnaparamita peninggalan era Kerajaan Tumapel/Singhasari.

Arca Prajnaparamita ditempatkan di Lantai 4 Gedung Arca Museum Nasional yang menjadi ruang pamer koleksi emas dan perhiasan dari berbagai peradaban Nusantara.

Arca yang terbuat dari batu andesit setinggi 1,26 meter itu memperlihatkan sesosok perempuan yang duduk dalam sikap padmasana. Sikap padmasana tergambar lewat kedua kaki disilangkan dengan kedua telapak kaki menghadap ke atas, telapak kaki kanan di atas paha kiri dan telapak kaki kiri di atas paha kanan.

Penempatan arca Prajnaparamita di ruang pamer koleksi emas dan perhiasan Museum Nasional itu tidak lepas dari banyaknya ragam perhiasan yang melekat di arca tersebut.

Arca Prajnaparamita mengenakan mahkota berbentuk kiritamakuta yang motifnya disebut tidak didapat pada arca-arca lain.

Sifat atribut perhiasan yang sangat raya atau samboghakaya membuat kesan buah dadanya yang telanjang tak berkain tampak tertutupi oleh perhiasan yang dikenakan.

Arca Prajnaparamita menggunakan anting atau kundala dari bunga teratai merah atau padma dan di bahunya terhadap hiasan lempeng emas tipis bertabur manik-naik. Hiasan itu menjuntai dari sisi mahkota di belakang telinga yang juga berbalut semacam untaian kalung panjang terjuntai hingga ke lutut.

Di leher arca Prajnaparamita terdapat tiga guratan yang mewakili pertanda kemakmuran dan kelebihan. Leher itu juga dihiasi dua kalung atau hara. Satu kalung berupa untaian manik-manik, sementara kalung lainnya di bawah berbentuk lempengan emas dihiasi permata bermotif.

Tali kasta atau upavita melilit badan arca Prajnaparamita melintang dari pundak kiri ke bagian bawah lambung kanan, yang memiliki keistimewaan berupa lemengan emas berhias padma.

Kedua lengan arca Prajnaparamita dibalut kelat bahu atau keyura ganda, sementara di pergelangan tangan kanan dan kiri masing-masing melekat tiga buah gelang atau kankana.

Cincin atau angulika juga melingkar di ibu jari, telunjuk, dan jari tengah kedua tangan arca Prajnaparamita. Sementara kedua telapak tangan Prajnaparamita membentuk sikap Dharmacakramudra yang jari-jarinya dipola laiknya pose tarian.

Lengan tangan kiri arca Prajnaparamita mengapit tangkai padma yang menjalar dari umbi, sebuah ciri khas kesenian era Singhasari, yang terdapat di samping pinggangnya. Tangkai padma itu menjalar ke atas tepat di sisi bahu kiri dengan kelopak yang mekar dan di atasnya terdapat pustaka atau kitab.

Di bagian bawah arca Prajnaparamita mengenakan kain bermotif Jlamprang, yakni motif lingkaran saling bersinggunan satu sama lain. Bagian dalam lingkaran bermotif senjata cakra, sementara di sisi luar terdapat motif rosit mengarah motif cakra.

Arca Prajnaparamita mengenakan ikat pinggang atau katibandha yang dihiasi ikatan untaian manik-manik terjuntai hingga ke bawah. Di bagian pinggul arca sisi belakang terdapat simpul kain berhias motif teratai rumit.

Seperti tangannya, kaki arca Prajnaparamita juga berhiaskan gelang atau nupura sementara ibu jari kedua kakinya dilingkari cincin atau angulika.

"Dengan berbagai kelengkapan ornamen yang melekat, arca Prajnaparamita menjadi medium untuk memahami pernik perhiasan di era Singhasari," kata Kepala Museum Nasional Ni Luh Putu Candra Dewi kepada ANTARA di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Siapa Prajnaparamita?


Dalam tradisi Buddha, Prajnaparamita merupakan dewi kebijaksanaan tertinggi yang merupakan perwujudan Prajnaparamita Sutr.

Namun, seperti kebanyakan arca dewa-dewi peninggalan kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia, Prajnaparamita juga dilingkupi keyakinan bahwa ia dikerjakan untuk mengabadikan sosok penting dalam perjalanan kerajaan-kerajaan tersebut.

Dugaan arca Prajnaparamita sebagai arca perwujudan tokoh penting dijelaskan oleh Gaya Mentari dalam "Prajnaparamita Wujud Estetika Seni Arca" yang terbit di Jurnal Museum Nasional Prajnaparamita 2016.

Setidaknya ada tiga ciri yang memperkuat dugaan tersebut yakni arca Prajnaparamita bersikap statis dan kaku, digambarkan dengan dua tangan diletakkan di depan dada dalam pose tertentu, serta matanya yang digambarkan terpejam atau setengah terpejam.

Nama Ken Dedes paling lekat diasosiasikan sebagai sosok yang diabadikan melalui arca Prajnaparamita di kompleks Candi Singhasari.

Anggapan itu tumbuh dari Residen Malang era penjajahan Hindia Belanda, D. Monnereau yang menemukan arca tersebut pada 1819 di Cungkup Putri sekira 500 meter ke arah selatan dari kompleks Candi Singhasari.

Suwardono dalam "Identifikasi Ken Dedes dalam Arca Perwujudan sebagai Dewi Prajnaparamita: Tinjauan Filsafat Religi dan Ikonografi" (2007) menilai Monnereau terpengaruh pendapat masyarakat setempat yang begitu akrab dengan Ken Dedes.

Monnereau bahkan menyematkan nama Putri Dedes kepada arca yang ia temukan dan belakangan dikirim ke Belanda oleh CGC Reinwardt pada 1820.

Suwardono berkesimpulan bahwa asosiasi arca Prajnaparamita dengan Ken Dedes diperkuat fakta bahwa arca itu memiliki ciri kesenian khas Singhasari. Oleh karena itu arca tersebut kemungkinan menggambarkan tokoh bangsawan putri dari Kerajaan Singhasari.

Sementara Ken Dedes adalah tokoh bangsawan putri legendaris di Kerajaan Singhasari, sehingga bisa dikatakan bahwa ia adalah sosok yang diwujudkan dalam arca Prajnaparamita yang kini disimpan di Museum Nasional.

Akan tetapi arkeolog Universitas Indonesia Agus Aris Munandar berpendapat lain dalam laporan penelitiannya yang berjudul "Arca Prajnaparamita sebagai Perwujudan Tokoh" pada 2003.

Ia membandingkan penafsiran terhadap arca Prajnaparamita dengan arca sejenis di Candi Bhayalango, Tulungagung, dan data-data dari naskah Nagarakrtagama.

Dalam Nagarakrtagama disebutkan sebuah tempat bernama Prajnaparamitaputri di Bhayalango, sebuah candi makam yang dibangun dan diperuntukkan bagi Sri Rajapatni dan arcanya diberkahi oleh pendeta Jnanawidhi.

Sri Rajapatni merupakan sebuatan bagi Putri Gayatri putri bungsu raja terakhir Singhasari Kertanegara sekaligus istri keempat dari Raden Wijaya atau Kertarajasa, Raja Majapahit pertama.

Pendapat itu juga diperkuat oleh Slametmulyana dalam "Nagarakertagama dan Tafsir Sejarahnya" (1979) yang menyebut berdasarkan Prasasti Penanggungan 1296 dan Prasati Kertarajasa 1305 Gayatri dipuja-puja kecantikannya serta paling dikasihi oleh Kertarajasa.

Pamong Budaya Ahli Muda sekaligus kurator Museum Nasional, Fifia Wardani, menilai tidak ada yang perlu perdebatkan dari pemaknaan asosiasi arca Prajnaparamita baik itu mewakili Ken Dedes ataupun Gayatri Rajapatni.

"Tidak ada yang lebih kuat, tidak ada yang lebih. Dua-duanya bisa dijadikan referensi bagi masyarakat secara bijak, kita ambil nilai-nail baiknya," kata Fifi kepada ANTARA di Jakarta beberapa waktu lalu.

Menurut Fifi dalam naskah Pararaton Ken Dedes diperistri pendiri Kerajaan Tumapel Ken Angrok/Ken Arok karena memiliki aura parameswari, estri, naraswari, atau aura perempuan utama, yang tidak dimiliki sembarang orang.

Masih mengutip Pararaton, lanjut Fifi, disebutkan betapapun nestapanya seorang laki-laki apabila ia memperistri perempuan beraura naraswari maka ia akan menjadi raja besar.

"Pesan positifnya adalah perempuan harus menjadi perempuan yang tercerahkan, karena ia memiliki aura positif bagi lingkungan sekitarnya," kata Fifi.

Sedangkan sosok Gayatri, kata Fifi, dikenal sebagai salah satu tokoh perempuan di balik layar kehebatan Kerajaan Majapahit. Menurut Fifi Gayatri memiliki kecerdasan tekad kuat yang ditularkan ke orang-orang di sekitarnya.

Gayatri juga melahirkan tokoh cemerlang yakni Ratu Majapahit Tribuana Tunggadewi yang kemudian melahirkan Hayam Wuruk, Raja Majapahit yang membawa kerajaan itu ke masa keemasan pada abad ke-14.

Gayatri juga dikenal sebagai sahabat Empu Mada penasihat Kerajaan Majapahit dan kerap memberi masukan untuk kerajaan dari balik layar.

"Jadi seperti Gayatri, ada kalanya kita tidak perlu tampil tapi perlu memberikan nasihat dan visi dari balik layar," kata Fifi.

Dua siswi Sekolah Menegah Pertama mengamati arca Prajnaparamita atau tokoh Ken Dedes yang dipamerkan dalam pameran koleksi Museum Nasional yang bertajuk " Museum Nasional Dulu, Kini, Dan Akan Datang" yang di gelar di Museum Nasional, Jakarta, Sabtu (17/5). Arca yang pernah di bawa ke Belanda pada tahun 1820 dan dikembalikan ke Indonesia pada tahun 1978 tersebut dipamerkan dalam rangka memperingati Hari Museum Internasional 2014 dan perayaan hari jadi ke-236 Museum Nasional Indonesia. (ANTARA FOTO/Teresia May)

Kisah sukses

Arca Prajnaparamita selama nyaris setengah abad lamanya menjadi satu-satunya karya peninggalan era Singhasari yang berada dalam kondisi terbaik di Indonesia.

Sejak 22 Agustus 2023, Prajnaparamita tak lagi sendiri, sebab para pendampingnya, arca-arca yang juga berasal dari era Singhasari berhasil dipulangkan ke tanah air.

Kini ada empat arca penting lain peninggalan Singhasari yang dirawat oleh Museum Nasional Indonesia yakni Durga, Mahakala, Nandiswara, dan Ganesha.

Kedatangan empat arca Singhasari melalui proses repatriasi 2023 menimbulkan berbagai reaksi di kalangan publik Indonesia, termasuk mereka yang sangsi akan kemampuan untuk melakukan pelestarian dengan baik.

Reaksi pesimistis pun pernah muncul ketika Prajnaparamita disepakati untuk dipulangkan dari Belanda bersama sejumlah perhiasaan Kerajaan Lombok serta aneka artefak milik Pangeran Diponegoro pada 1978.

Pemerhati budaya Nunus Supardi dalam "Ken Dedes Pulang Kampung" yang terbit di Jurnal Museum Nasional Prajnaparamita 2016 menyebut adanya reaksi keras dari kalangan masyarakat Belanda atas rencana pemulangan arca Prajnaparamita ke Indonesia.

Menurut Nunus terdapat sebuah artikel di surat kabar Belanda yang menyebut penyerahan arca Prajnaparamita berlangsung "dengan tidak wajar."

Artikel yang sama lanjut Nunus menyoroti ketidaksiapan Indonesia menerima kepulangan arca Prajnaparamita karena tidak ada sarana yang memadai.

Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Hilmar Farid menegaskan bahwa hingga dewasa ini suara pesimistis nyatanya tidak terbukti.

"Boleh dilaporkan ya Prajnaparamita dalam keadaan baik arcanya. Kekhawatiran soal keamanan juga tidak terjadi," kata Hilmar kepada ANTARA di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Hilmar dan segenap pelaku konservasi artefak bersejarah Indonesia tentu menjadikan Prajnaparamita sebagai preseden baik perawatan arca pada umumnya dan khususnya peninggalan era Singhasari.