Semarang (ANTARA News) - Kiai Kanjeng, kelompok musik religi Islam asal Yogyakarta, membawakan tembang-tembang shalawat dalam acara bertajuk "Kiai Kanjeng; Road to Campus" di Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata Semarang, Selasa (10/11) malam.

Kiai Kanjeng menampilkan beberapa tembang shalawat yang terkadang dibawakan dengan irama lagu rohani Kristen yang sering dinyanyikan di gereja-gereja, dan setelah alunan tembang usai, Emha Ainun Nadjib, sang punggawa Kiai Kanjeng memberikan penjelasan.

"Banyak orang, termasuk kiai-kiai bingung dengan lagu-lagu yang saya (dan Kiai Kanjeng, red.) bawakan, karena mereka menganggap bahwa lagu-lagu Islam tidak boleh dinyanyikan dengan irama lagu-lagu gereja," kata Emha yang akrab disapa Cak Nun itu.

Namun, kata dia, dirinya justru bingung mengenai apa yang diistilahkan dengan irama lagu-lagu gereja dan irama lagu-lagu Islami, dan apakah yang membuat lagu-lagu Islami tidak boleh dinyanyikan dengan irama lagu yang sering dinyanyikan di gereja-gereja, dan sebaliknya.

Menurut dia, lagu Islami sebenarnya dapat disampaikan dengan irama apapun dan tidak ada yang membatasinya, termasuk ketika lagu Islami itu dibawakan dengan irama musik-musik modern yang sering diidentikkan dengan Barat, misalnya rock, pop, atau jaz.

Kelompok musik yang beranggotakan sekitar 15 orang itu juga tampil membawakan beberapa lagu-lagu tradisional, di antaranya "Gundul-Gundul Pacul", diiringi dengan alunan gamelan perkusi tradisional Jawa yang menjadi ciri khas dalam setiap pementasannya.

Cak Nun mengatakan, "Gundul-Gundul Pacul" adalah salah satu lagu tradisional Jawa yang memiliki nilai filosofi tinggi, namun sayangnya tidak banyak orang yang memahami kandungan makna dan nilai yang terdapat dalam lagu yang sering dinyanyikan anak-anak itu.

Lagu "Gundul-Gundul Pacul", kata dia, mengandung arti bahwa manusia saat kecilnya masih boleh "gembelengan" (main-main, tidak bertanggung jawab), namun ketika sudah "nyunggi wakul" (memikul bakul-tempat nasi, red.) menandakan kedewasaan dan memikul tanggung jawab besar.

"Kalau manusia sudah dewasa namun tetap `gembelengan`, maka akan menimbulkan dampak buruk dan kerugian besar bagi semua orang, karena tanggung jawab yang dipercayakan kepadanya dan seharusnya dipegang ternyata tidak dikelola dengan baik," katanya.

Ia menilai, lagu itu juga dapat dikaitkan dengan pemerintah, sebab pemerintah memikul tanggung jawab yang besar untuk menyejahterakan dan memakmurkan rakyatnya, sehingga jabatan dan kekuasaan yang dimilikinya harus digunakan dengan sebaik-baiknya.

Pementasan Kiai Kanjeng itu ditutup dengan lagu "Kemesraan" yang dinyanyikan secara bersama-sama dan Cak Nun kemudian mengajak para penonton untuk saling berjabat tangan satu sama lain untuk mengingatkan bahwa sesama manusia itu saling bersaudara.(*)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009