Jakarta (ANTARA News) - Era reformasi yang telah berjalan sekitar 12 tahun memberikan pelajaran berharga bahwa sistem pemerintahan presidensial di Tanah Air bisa berjalan efektif apabila didukung sistem kepartaian yang sederhana.

Jumlah partai yang tidak terlalu banyak akan mendorong pertumbuhan DPR yang fragmentasi politiknya tidak terlampau tinggi sehingga akan mengurangi terjadinya gesekan politik di lembaga legislatif, yang cenderung menghambat kinerja pemerintahan.

Untuk itulah, ide penyederhanaan jumlah partai politik terus digagas oleh sejumlah kalangan.

Kegagalan membangun sistem kepartaian sederhana sebagaimana diharapkan selama ini berawal dari kompromi yang membolehkan partai-partai yang memperoleh kursi DPR meski satu kursi, hasil pemilu 2004, ikut Pemilu 2009.

Saat itu, ketentuan "electoral threshold" (ET) atau ambang batas minimal perolehan suara partai untuk ikut pemilu berikutnya sebesar 2,5 persen, dan "parliamentary threshold" (PT) atau ambang batas minimal perolehan kursi partai di DPR RI sebesar tiga persen, menurut UU mulai diabaikan.

Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi saat itu, sembilan partai bisa lolos otomatis menjadi peserta Pemilu 2009 karena memiliki kursi di DPR, mengikuti tujuh partai yang sudah lolos ketentuan ET 2,5 persen yakni Partai Golkar, PDIP, PPP, PKB, Partai Demokrat, PKS, dan PAN.

Mestinya, jumlah partai politik yang tidak terlampau banyak di DPR diharapkan akan membentuk partai koalisi sederhana, dan hal itu dapat mendorong terciptanya kekuatan mayoritas parlemen sehingga akan terjamin stabilitas pemerintahan presidensial, sekaligus ada "check and balances" antara pemerintah dan parlemen.

DPR RI periode 2009-2014 menjalankan aturan PT sebesar 2,5 persen, sehingga hanya ada sembilan partai di parlemen yakni Partai Demokrat, Partai Golkar, PDI Perjuangan, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) dan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra).

Wacana untuk semakin memperketat jumlah partai di Senayan kembali ramai dibicarakan setelah Partai Golkar mengusulkan agar PT dinaikkan dari 2,5 menjadi lima persen, hingga memunculkan perdebatan.

Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar Akbar Tandjung mengatakan, aturan PT yang dinaikkan dari 2,5 persen menjadi lima persen cukup ideal untuk sistem kepartaian, guna penyederhanaan partai.

Dengan PT lima persen, katanya, maka DPR kemungkinan hanya akan diisi oleh enam fraksi, tidak sembilan fraksi seperti saat ini.

Meski demikian, Akbar tak setuju apabila hak warga negara yang terpilih menjadi anggota DPR, lantas hilang karena partai tempatnya bernaung tidak lolos PT.

Untuk itu, mantan Ketua DPR itu mengajukan solusi sebagai jalan tengah, agar anggota DPR terpilih tidak sampai kehilangan kursinya di parlemen walaupun partainya tidak lolos PT.

"Calon legislatif yang memenuhi bilangan pembagi dan lolos menjadi anggota DPR namun partainya tidak lolos, tetap boleh menjadi anggota DPR. Solusinya, ia bergabung dengan partai yang lolos ke parlemen," kata Akbar yang juga mantan Ketua Umum DPP Partai Golkar itu.

PT sebesar lima persen, kata Akbar, setidaknya dapat diterapkan di tingkat pusat, yakni di DPR RI, dan belum mendesak untuk diterapkan di tingkat DPRD.

Usulan menaikkan aturan PT didukung partai pemenang Pemilu 2009, Partai Demokrat. Tokoh Partai Demokrat yang kini menduduki posisi anggota Dewan Pembina, Syarifuddin Hasan, menginginkan aturan PT dinaikkan angkanya, karena secara alami dapat menyederhanakan jumlah parpol.

Melalui pembatasan itu, katanya, diharapkan terciptanya pemerintahan yang lebih efektif.

"Kalau asasnya ingin adanya penyederhanaan partai, representasi, dan efisiensi dalam mengelola parlemen, lebih bagus memang kalau PT dinaikkan," katanya.

Menurut dia, penyederhanaan parpol memang diperlukan dengan meningkatkan angka PT. Kenaikan itu dianggapnya pula dapat membuat pemerintah lebih stabil, sehingga semakin tinggi angka PT akan semakin baik.

Meski demikian, lanjutnya, kenaikan angka PT itu harus didorong adanya revisi UU politik atau pemilu.

Senada dengan Partai Golkar dan Partai Demokrat, Sekjen PKS Anis Matta menyatakan tidak setuju dengan penilaian bahwa kenaikan PT menjadi lima persen akan mematikan partai politik kecil dan menghalangi warga negara untuk mendirikan partai politik baru.

Dia menunjukkan, saat PT 2,5 persen diterapkan pada Pemilu 2009, tidak ada masalah, bahkan muncul sejumlah partai baru di parlemen seperti Partai Gerindra dan Partai Hanura.

Dengan "parliamentary threshold" dinaikkan menjadi lima persen, Anis menekankan bahwa tetap banyak ruang tersedia bagi pendirian partai baru untuk merebut suara mengambang yang jumlahnya masih banyak sehingga bisa masuk ke parlemen.

Berdasarkan pengalaman, katanya, ada kecenderungan partai-partai besar dan lama seperti Golkar, PPP, dan PDIP mengalami penurunan suara akibat tersedot partai kecil, sehingga partai kecil itu "naik kelas" menjadi partai menengah.

Enam menolak
Dari sembilan partai yang memiliki wakil di DPR RI, enam partai menyatakan menolak kenaikan angka PT menjadi lima persen.

PDIP menyatakan tidak sepakat dengan usulan Golkar yang ingin menghanguskan partai kecil dengan memaksakan peningkatan PT menjadi lima persen. PDIP menganggap usulan tersebut sebagai bentuk kesewenang-wenangan dalam berdemokrasi.

"Semangat penyederhanaan penting, tapi lima persen terlalu tinggi. Kita tidak boleh menghambat demokrasi," kata Pramono Anung, politisi PDIP yang juga Wakil Ketua DPR.

Wakil Sekjen PPP yang juga Sekretaris Fraksi PPP DPR RI M Romahurmuziy menyatakan, partainya menolak kenaikan angka PT karena akan semakin memperbanyak suara "hangus" sia-sia dan terkesan sebagai tindakan antidemokrasi.

"Meninggikan PT hanya akan mengurangi legitimasi keterwakilan DPR. Karenanya 2,5 persen sudah merupakan batas yang perlu dipertahankan dan tidak ada alasan untuk mengotak-atik lagi," katanya.

Seperti halnya PPP, dua partai menengah lainnya, PKB dan PAN, meminta pemerintah dan DPR tidak menaikkan ketentuan PT dengan alasan kenaikan syarat perolehan kursi parlemen tidak demokratis karena akan membuat suara pemilih terbuang sia-sia.

Sekjen PAN Taufik Kurniawan menilai ketentuan 2,5 persen yang saat ini berlaku sudah cukup moderat dalam konteks pembangunan. Sebaliknya, peningkatan syarat perolehan kursi parlemen justru bisa merusak asas demokrasi yang bersandar pada keadilan dan kedaulatan rakyat.

Namun, katanya, PAN tidak khawatir apabila PT dinaikkan jadi lima persen, namun PAN masih memandang penting upaya mewujudkan keseimbangan jumlah kursi di DPR dan DPRD.

Sedangkan Sekjen PKB Lukman Edi menilai, rencana menaikkan syarat perolehan kursi parlemen menjadi lima persen terlalu tinggi. Meski demikian, kata Lukman, pihaknya siap menerima kemungkinan perubahan syarat perolehan kursi parlemen, dan partainya serius melakukan konsolidasi internal untuk mengantisipasi perubahan PT tersebut.

Sementara itu, Partai Gerindra menuding, usulan kenaikan PT dari 2,5 persen menjadi lima persen adalah akal-akalan pemberangusan aspirasi rakyat.

Sekjen Partai Gerindra Ahmad Muzani mengatakan, pada Pemilu 2009, dari 104 juta suara sah, berdasarkan aturan PT 2,5 persen, telah menyebabkan 18 juta suara sah hilang. "Kalau parliamentary threshold dinaikkan menjadi lima persen, berapa juta lagi suara bakal hilang. Ini akan membuat demokrasi keterwakilan semakin menurun," ujarnya.

Alasan serupa juga disampaikan Ketua Umum DPP Partai Hanura Wiranto yang menganggap wacana kenaikan PT menjadi dua kali lipat dibanding sebelumnya, sangat berlebihan dan tidak rasional.

"Kalau ingin normal, paling tidak hanya naik jadi tiga persen atau paling maksimal 3,5 persen, tidak secara drastis dari 2,5 persen menjadi lima persen. Jadi kenaikannya secara bertahap," kata Wiranto, yang mengkhawatirkan hilangnya suara sah pemilih seperti yang terjadi pada Pemilu 2009.

Tidak mudah
Untuk mewujudkan aturan PT naik dari 2,5 persen menjadi lima persen, perlu adanya perubahan atau revisi terhadap Undang-Undang Pemilu. dan menurut Koordinator Komite Pemilih Indonesia Jeirry Sumampouw, hal itu bukan perkara mudah.

Ia menilai, usulan meningkatkan angka PT itu bakal sulit terwujud, karena terlihat nuansa politik untuk memonopoli lebih tinggi dari pada upaya penataan sistem ketatanegaraan.

Seperti halnya Jeirry, pengamat politik yang juga peneliti Lembaga Survei Indonesia (LSI) Burhanuddin Muhtadi juga menilai revisi UU Pemilu bukan suatu hal yang mudah sehingga upaya menaikkan angka PT menjadi lima persen saat ini masih sekadar wacana.

Meski demikian, ia menilai, aturan PT merupakan jalan terbaik untuk meningkatkan efektivitas kerja pemerintah, melalui mekanisme alami penyederhanaan jumlah partai.

"Apabila banyak partai yang `dikawinpaksakan` akan membuat pemerintah menjadi tidak efektif dan dapat membuat efektifitas pemerintah berjalan tidak semestinya," paparnya.

Burhanuddin mengatakan, justru dengan adanya penyederhanaan partai, koalisi yang terbentuk tidak lagi menjadi parsial melainkan permanen dan kelompok antara partai yang berkoalisi maupun yang oposisi akan lebih mudah terlihat.

Jumlah partai yang terlalu banyak, lanjutnya, memungkinkan lebih sering terjadinya "kong-kalikong" antara partai kecil dan partai besar sehingga menyebabkan menurunnya efektifitas pemerintah.

Di lain pihak, katanya, angka PT yang tinggi akan membuat masyarakat pemilih mengetahui mana partai politik yang memang memiliki modal dana dan sumber daya manusia berupa jaringan kepengurusan di berbagai tingkatan. (A041/s018)

Oleh Arief Mujayatno
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010