Jakarta (ANTARA News) - Hasil Lingkaran Survei Indonesia (LSI) tentang persepsi opini publik pada akhir September - awal Oktober 2010 terhadap 1.000 responden menyebutkan sebanyak 30,2 persen reponden membenarkan kekerasan atas paham agama yang jika dibandingkan survei yang sama pada 2005 hanya 13,9 persen respenden yang membenarkan hal tersebut.

Direktur Eksekutif LSI Denny JA, Phd dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Selasa, mengatakan, survei itu dilakukan LSI Network terhadap 1.000 responden di 100 desa/kelurahan di 33 provinsi dengan metode wawancara, tatap muda dan multistage random sampling". Tingkat kesalahan atau "margin of error" sekira 3,2 persen.

LSI Network melakukan dua kali survei untuk tema yang sama, yaitu pada tahun 2005 dan pada tahun 2010, atas pertanyaan yang sama, hasilnya jumlah responden yang membenarkan kekerasan atas paham Ahmadiyah meningkat dari 13,9 persen (tahun 2005) ke 30,2 persen (tahun 2010).

Denny menyatakan, meningkatnya pembenaran kekerasan atas paham agama ini terjadi di semua segmen dari persepsi responden yang hampir merata, namun persepsi intoleransi lebih besar terjadi di kalangan responden yang pendidikan rendah dibadingkan pendidikan tinggi.

"Begitu juga, intolerasi responden di kalangan pria juga lebih tinggi dibandingkan di kalangan perempuan, intolerasi dari responden yang berada di pedesaan juga lebih besar dibandingkan di perkotaan," katanya.

Menurut Denny, penurunan toleransi atas keberagaman dalam masyarakat, antara lain tidak tegasnya penegakan hukum di era pemerintahan saat ini, terbukti dari hasil survei bahwa responden yang puas atas penegakan hukum di Pemerintahan SBY-Boediono di bawah 50 persen.

Di samping itu, penurunan toleransi dalam survei tersebut juga disebabkan menurunnya pembelaan kaum moderat dalam keberagaman, serta persoalan paham agama seperti Ahmadiyah memang "problematik" yang sebagian ormas Islam yang selama ini dikenal moderat juga ikut merekomendasikan pembubaran Ahmadiyah.

Oleh karena itu, kata Denny, LSI merekomendasikan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk memberikan pidato yang disiarkan secara nasional yang isinya pemerintah menunjukkan sikap menegakkan konstitusi dan prinsip demokrasi yang modern yang dipilih bersama sebagai aturan main.

"Konstitusi menjamin aneka paham agama di Indonesia, sejauh mereka tidak melakukan tindakan kriminal," katanya.

Selain itu, di tingkat masyarakat, para tokoh moderat haruslah secara kontinyu memberi kesadaran kepada publik bahwa Indonesia kini menjadi negara demokrasi modern.

"Warga tak bisa memaksa pemerintah membubarkan sebuah paham agama, sejauh paham itu tidak mengajarkan tindak pidana. Tentu semua penganut agama berhak menyatakan apa yang benar menurut pemahamannya, namun tidak pernah dibenarkan dilakukannya kekerasan untuk memaksa paham agamanya," demikian Denny JA.(*)
 

Pewarta: Ruslan Burhani
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010