Wajah penuh duka dan kesakitan itu, terkulai lemah di atas tempat tidur lipat milik TNI, bersama puluhan warga lainnya, yang juga masih merasakan sakit.

Pria yang kehilangan anak dan ibunya pascagelombang tsunami itu, Niram (26), kini masih terlihat terbaring di salah satu sudut Gereja GKPM di Sikakap, sebuah kecamatan yang berada di bagian selatan Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat.

Warga Dusun Muntei, Desa Betumonga, Kecamatan Pagai Utara, Kabupaten Kepulauan Mentawai itu sesekali terlihat mengurut dadanya dengan tangan, seakan sisa-sisa benturan material kayu yang dibawa gelombang tsunami masih dirasakannya.

Pria yang memiliki seorang anak itu, menuturkan bahwa kakinya belum bisa digerakkan karena sakit akibatterhimpit batang pohon sagusaat dihantam gelombang tsunami.

Niram masih sulit melupakan tragedi gempa berkekuatan 7,2 Skala Richter (SR) mengguncang daerahnya disusul dengan gelombang tsunami yang konon setinggi pohon kelapa.

Korban yang luka dan selamat dari gulungan gelombang pasang tsunami menyapu dusun-dusun di Kepulauan Mentawai, sebagian memang terbaring di puskesmas dan Gereja GKPM.

Pusat gempa berada pada 3.61 lintang selatan (SL)-99.93 Bujur Timur (BT), 78 km barat daya Pagai Selatan, Kepulauan Mentawai, Sumbar pada hari Senin (25/10) pukul 21.42 WIB.

"Saya, terseret gelombang tsunami sekitar 100 meter sehingga tersangkut di dahan pohon durian. Pohon durian itu berada di tebing bukit," tuturnya dengan wajah terpana.

Betapa tidak, dirinya merasakan gelombang laut yang sempat berputar sekitar setengah jam.

Niram masih terbayang dalam ingatannya, bagaimana gelombang itu datang begitu cepat menyapu daratan menyeret dirinya serta istrinya, dan menewaskan anaknya Irwandi (3) dan ibunya.

"Ombak setinggi pohon kelapa itu merenggut nyawa anak dan ibuku," lirihnya dengan mata berlinang.

Pria yang sehari-harinya bertani itu, mengaku tak ada firasat akan terjadinya bencana gempa disertai tsunami menyapu perkampungannya.

Senin (25/10) siang itu, katanya, dirinya melepas lelah setelah seharian bekerja di kebun coklat seluas 1,5 hektare. Kelelahannya tak tertahan sehingga tidur lebih awal dari malam-malam biasanya.

Anak semata wayangnya itu, tidur bersama neneknya (ibu Niram, red) di rumah lain.

"Jarak rumah saya dari rumah ibu saya sekitar 400 meter, dan rumah saya dari bibir pantai jaraknya sekitar 100 meter," kata Niram.

Ia menuturkan, saat gempa bangunan rumahnya yang terbuat dari material kayu hanya bergoyang sedikit.

"Kami merasakan gempa tidak terlalu kuat, maka tak ada membayangkan atau berpikiran macam-macam, apalagi akan datang tsunami," katanya.

Desa Muntei Baru-baru tidak dialiri listrik kecuali beberapa rumah yang menggunakan genset, dan Niram sendiri menggunakan lampu minyak di rumahnya.

Suasana gelap itu makin membuat kepanikan warga, ketika terdengar suara tetangganya berteriak memberitahu warga lainnya, bahwa air laut naik.

"Oinan atunaik...Oinan atunaik --bahasa asli Mentawai-- (Air naik...Air naik, red)," dengan lantang dari arah bagian atas rumah Niram.

Belum teriakan itu selesai, Niram merasakan kembali guncangan gempa yang lebih besar dari sebelumnya, disertai gelombang laut yang langsung menyeret Niram dan istrinya sebelum mereka mencoba melarikan diri.

Dalam suasana gelap dan mencekam itu, air laut menghancurkan rumah-rumah penduduk di Dusun Muntei itu. Hempasan gelombang setinggi pohon kelapa itu, menyeretnya dan rumah warga hingga ke kaki bukit.

Bersamaan dengan rumah-rumah itu, Niram ikut terseret sehingga tersangkut di pohon durian sedangkan istrinya terpisah sekitar 20 meter dan masih selamat.

Niram sedikit lega, saat warga memberitahu bahwa istrinya selamat, meskipun sempat dipisahkan gulungan gelombang tsunami itu.

Namun hatinya kembali pilu dan hancur, saat jasad anaknya ditemukan warga di balik puing-puing material bangunan rumah dan pohon tumbang, pada keesokan harinya, sedangkan jasad ibunya (nenek Irwandi, red) belum juga ditemukan.

Kejadian yang sulit dilupakan itu berlangsung cukup lama olehnya. Gulungan gelombang laut yang menyapu darat itu surut setelah berputar-putar selama lebih dari setengah jam, lalu menyeret material rumah yang telah hancur dan pepohonan yang tercabut dari akarnya.

"Air laut itu berputar-putar cukup lama, sekira hampir satu jam," katanya dengan mata terpaku menatap tempat tidur lipat di gereja itu.

Tak lama setelah air laut surut, tutur pria berambut lurus itu, ia diselamatkan oleh sejumlah warga yang datang dari perbukitan.

Meskipun telah mendapatkan pertolongan warga, tapi tetap saja selama dua hari dua malam Niram dan istrinya harus menahan rasa sakit yang luar biasa pada kaki dan dada.

Dua hari (Rabu) pasca gelombang tsunami tim SAR datang menjemputnya sekitar pukul 15.00 WIB, dievakuasi ke Puskesmas Sikakap, untuk mendapat perawatan.

Niram tidak pernah menyangka bencana itu akan datang menghancurkan kehidupan di kampungnya yang telah dilaluinya selama 26 tahun di daerah itu.

Terang saja peristiwa naas itu, membuat Niram sulit melupakan sepanjang hidupnya. Kini dirinya hanya berharap ada kehidupan yang lebih baik setelah bencana itu.

"Kami hanya menjalankan kehidupan ini dengan sesederhananya, tanpa harapan berlebihan. Kami hanya mengharapkan ketentraman dan kedamaian di tanah nenek moyang kami ini," harapnya sambil berlinangan airmata.

Menurut Niram, daerahnya saat ini memang tidak layak lagi untuk ditempati. Berjuta kenangan telah ia pendam dalam hati seiring dengan terkuburnya sanak saudara dan handai tolan pada perkuburan masal di Dusun Munte, Desa Betumonga itu.

"Kami masih menunggu keputusan bersama antara warga yang masih selamat dengan kepala dusun, apakah kami akan pindah ke daerah yang lebih aman, atau bergeser tempat tinggal ke arah perbukitan," katanya sambil meringis menahan ngilu di kaki kirinya yang tak bisa digerakkan itu.

Niram sendiri merasa lebih baik pindah ke tempat lain yang memang aman dari bancana tsunami.

"Jika melihat kondisi sekarang, saya lebih memilih untuk pindah ke tempat yang lebih aman," katanya.


Korban Berjatuhan

Korban tewas berhasil ditemukan di Desa Munte, Dusun Betumonga itu, Minggu (31/10) sebanyak 103 jiwa. Sedangkan yang masih dinyatakan hilang sebanyak 77 orang.

Secara keseluruhan korban meninggal akibat tsunami di Kepulauan Mentawai tercatat sebanyak 449 orang. Sedangkan yang masih dinyatakan hilang sebanyak 163 orang.

Korban yang mengalami luka-luka tercatat 270 orang mengalami luka berat, 142 orang luka ringan.

Rumah warga yang rusak akibat gempa dan tsunami sebanyak 517 unit kondisi rusak berat, 204 unit rumah rusak ringan.

Sarana pendidikan yang rusak yakni, 4 unit rusak berat, 1 unit rusak sedang. Selain itu empat unit Rumah Dinas rusak berat.

Dua unit resor juga rusak berat yakni Resort Marcaroni dan Katei, 1 unit kapal pesiar terbakar, 1 unit kapal pesiar rusak ringan.

Fasilitas umum yang rusak ketika terjadi gempa disusul Tsunami yakni jembatan 7 unit, antara lain jalan P2D rusak sepanjang 8 km. (ANT-143/K004)

Oleh Oleh Rudrik Syaputran
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010