Andai Arab Saudi demokratis dan Korea Utara terbuka, informasi-informasi rahasia milik Amerika Serikat tentang kedua negara itu yang dibocorkan WikiLeaks, mungkin mengguncang dua negara tersebut.

Korea Utara pasti terkejut karena kawat diplomatik AS menyebutkan China yang adalah pelindung satu-satunya negara itu, ternyata muak dengan kebandelan Utara. Korea Utara kini tahu dia sendirian di dunia ini.

Raja Arab Saudi mungkin malu karena bertolak belakang dengan keyakinan dunia Islam yang mengesampingkan persepsi miring Arab terhadap Iran, justru rajin mendesak AS menyerang Iran.

Sementara raksasa ekonomi baru, China, ternyata tak disambut hangat oleh dunia karena sejumlah negara melihatnya sebagai negara agresif.

Mengutip WikiLeaks, New York Times mewartakan bahwa Inggris, India dan Jepang mengeluhkan agresivitas dan arogansi Beijing, sementara Afrika menggunjingkan `bantuan berbalas akses sumber daya alam` yang dipraktikan China.

"China mulai dianggap dunia berkembang tidak lagi bagian dari mereka," kata Duta Besar AS untuk China, Clark Randt.

Di lain hal, sejumlah pemimpin dunia terkejut setelah mengetahui "pandangan asli" Washington tentang mereka.

Kepada Larry King dari CNN, PM Rusia Vladimir Putin mati-matian menyanggah klaim Menteri Pertahanan AS Robert Gates bahwa Rusia negara mafia.

Sedangkan, Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton dipermalukan WikiLeaks, bukan hanya karena kebocoran itu dialami departemennya, namun juga karena penyataan-pernyataan sensitifnya terhadap sejumlah pemimpin terekpos ke seluruh dunia.

Dia ketahuan menyebut Presiden Argentina Cristina Kirchner `kurang waras` yang kemudian mendorong Presiden Venezuela Hugo Chaves membela Cristina dan mengejek balik Hillary.

Dunia memburunya

Pembocoran WikiLeaks adalah episode terbesar ketiga dalam sejarah diplomasi dalam seabad terakhir, tulis editor senior New Republic, John B. Judis.

Yang pertama adalah pada 26 November 1917, saat rezim komunis Bolshevik pimpinan Vladimir Lenin membeberkan persekongkolan Inggris, Prancis dan Tsar Rusia selama Perang Dunia I.

Hal paling sensasional dari persekongkolan itu adalah Perjanjian Sykes-Picot 1916 yang membagi-bagi wilayah Timur Tengah yang dikuasai Turki. Perjanjian ini disebut sebagai prolog bagi hadirnya negara Yahudi di Palestina empat dekade kemudian.

Yang kedua adalah pembocoran dokumen Departemen Pertahanan AS pada 1971 oleh Daniel Ellsberg kepada New York Times.

Dokumen itu membuka borok pemerintahan Presiden Kennedy dan Johnson yang berulangkali membohongi rakyat bahwa campur tangan AS di Vietnam ternyata kecil hubungannya dengan cita-cita menyebarkan demokrasi di Asia Tenggara.

Kini, giliran Julian Assange dan WikiLeaks membuka episode terdahsyat ketiga yang membuat dunia guncang, namun disambut positif oleh sebagian pihak.

"Untuk bagian besar masyarakat di beberapa negara, pengungkapan pandangan Amerika tentang para pemimpin mereka adalah penting," tulis The Guardian dalam editorialnya (4/12).

Tak heran, sejumlah kalangan, termasuk di Indonesia, memburu bagian terbesar kawat diplomatik AS yang belum dipublikasikan WikiLeaks. Jumlahnya sendiri sekitar 250.000 dokumen yang 3.095 diantaranya dari Kedubes AS di Jakarta.

Mereka berusaha mengetahui apa yang sesungguhnya dikatakan Washington tentang peristiwa-peristiwa dan tokoh-tokoh domestik di mana misi diplomatik AS berkantor.

Ini adalah cara seksi dalam mendapatkan informasi tersembunyi, yang bahkan tak bisa didapatkan laporan jurnalistik, karena media massa kini memang malas menginvestigasi.

Merusak diplomasi

"Saya ingin menciptakan standard baru, yaitu jurnalisme ilmiah," kata Julian Assange. Maksudnya, laporan jurnalistik yang bersumber dari sumber-sumber terpercaya yang bisa dicek dan diverifikasi.

WikiLeaks sendiri, mengutip Mark Feldstein (profesor jurnalisme pada Universitas George Washington), menggugat ketidakmampuan media dalam mengungkap penyimpangan kekuasaan.

"Manakala jurnalisme tak mampu mengungkap penyelewengan, maka aktivis-aktivis anti penyalahgunaan wewenang bakal mengambilalih peran itu. Kadang dengan mempengaruhi peristiwa-peristiwa lewat cara-cara yang tak pernah terpikirkan politisi," kata Feldstein dalam American Journalism Review edisi September.

Dari sisi diplomasi, WikiLeaks menohok kerja diplomat AS yang sering menggantungkan diri pada informasi-informasi tidak terekspos, saat membujuk dan menekan satu negara.

Dan salah satu yang ditakutkan AS adalah pembocoran dokumen-dokumen tentang Timur Tengah. Mantan Dubes AS untuk Saudi, Chas Freeman, bahkan menyebut pembocoran akan semakin menyulitkan korps diplomatik AS dalam mendapatkan masukan jujur dari sekutu-sekutunya di Teluk dan Israel.

"Timur Tengah adalah tempat dimana `ya` berarti `mungkin`, `mungkin` berarti `tidak`, `tidak` berarti `tak pernah terdengar.` WikiLeaks melukai Amerika tanpa mengubah keadaan-keadaan itu," kata Freeman.

Kini, para informan AS berpikir dua kali untuk blak-blakan kepada diplomat AS. "Lantas, siapa yang mau mempercayai kita sekarang?" kata kolumnis Washington Post, Charles Krauthammer.

Namun, beberapa kalangan menyebut pembocoran hanya akan mendorong reformasi pada kerja diplomasi dan tata hubungan internasional.

"Diplomasi AS rusak, tapi tidak hancur. Itu akan pulih suatu waktu," tulis pakar hubungan internasional dari Universitas Columbia, James P. Rubin dalam New Republic (1/12).

Mendorong kejujuran

Fakta bahwa orang lebih memburu dokumen tersembunyi namun melukiskan apa yang sesungguhnya terjadi, daripada dokumen resmi namun merahasiakan kebenaran, membuat bocoran-bocoran WikiLeaks dinanti dunia.

Tentu itu tak terjadi jika diplomasi tak lagi menolerir kebohongan. Jadi, bisa saja skandal ini memang mendorong perubahan besar dalam paradigma berdiplomasi, khususnya AS, yang disebut wartawan US News and World Report, Joshua Kucera, berbeda dari yang dipraktikan Eropa.

"Eropa lebih realistis sehingga diplomat mereka berbicara lebih terbuka. Sebaliknya, diplomat-diplomat AS enggan berbicara jujur karena takut tidak menyenangkan pihak lain," kata Kucera.

Dengan masih 99,9 persen kawat diplomatik yang belum disiarkan WikiLeaks, rakyat AS akan menyaksikan bagaimana korps diplomatik bekerja.

Sedangkan pihak-pihak di luar AS harap-harap cemas karena dokumen-dokumen itu bisa menguakkan belang mereka, apalagi Assange mengancam membeberkan semua dokumen setelah laman WikiLeaks dibunuh berulang-ulang.

Di luar itu, Assange yang kini menjadi sosok paling kontroversial sejagad dan mungkin bakal selegendaris revolusioner flamboyan Ernesto Che Guevara telah mengusik dengan kritis cara sistem kekuasaan mengelola informasi.

Seperti Guevara, Assange juga seorang idealis yang mengklaim berjuang demi membeberkan ketidakadilan dan bermimpi tentang tranparansi total dalam bertatakelola.

"Target utama kami adalah rezim-rezim lalim dan membantu mereka yang ingin mengungkap prilaku imoral pemerintah dan perusahaan-perusahaan mereka," kata Assange seperti dikutip New Yorker Juni lalu.

Tak heran, sebagian orang menganggap pembocoran oleh WikiLeaks menandai awal dari akhir rezim kerahasiaan negara dan sikap bermuka dua pemerintah yang pernyataan dan tindakannya sering tidak sejalan.

"Metode anarkis ini mungkin tidak ideal, namun WikiLeaks memajukan pemahaman kita mengenai dunia dan mendorong kita memiliki pemerintah yang terbuka dan jujur," tulis majalah Inggris, New Statesman. (*)

AR09/T010

Oleh Jafar M. Sidik
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010