Scottsdale, Arizona (ANTARA News) - Masyarakat dunia, termasuk Indonesia, tidak lama lagi dapat menyaksikan sebuah film dokumenter tentang tragedi bencana Lumpur Lapindo, "Mud Max".

Film yang diproduksi oleh Immodicus SA dan Arizona State University School of Earth and Space Exploration itu diluncurkan pada Jumat (13/11) malam di Scottsdale, Arizona.

Peluncuran yang berlangsung di Hotel Mondrian itu dilanjutkan dengan diskusi panel oleh beberapa ahli geologi tentang fenomena lumpur panas yang mulai menyembur di lahan eksplorasi minyak dan gas PT Lapindo Brantas di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, pada 29 Mei 2006 itu.

"Mud Max" mengungkap berbagai fakta menyangkut kasus tersebut dari segi keilmuwan, ekonomi, kemanusiaan dan politik.

Dalam "Mud Max", dimunculkan pendapat bertentangan dari sejumlah ahli tentang penyebab munculnya lumpur, apakah kejadian alam atau kesalahan manusia.

Dalam diskusi panel, Juru Bicara Immodicus SA, Avian Tumengkol, mengatakan film Mud Max tidak diarahkan untuk menentukan apakah semburan lumpur itu merupakan bencana alam atau akibat dari kesalahan manusia.

"Film ini untuk memberi pemahaman, temuan-temuan dan pandangan-pandangan dari kedua pihak. Tujuan film ini adalah untuk memberi kesempatan kepada publik menentukan pemikiran dan pemahaman mereka sendiri untuk menyimpulkan mana yang benar," kata Avian.

Menurut Produser Eksekutif "Mud Max", Chris Fong, beberapa stasiun televisi asing telah menyatakan tertarik untuk memutar film berdurasi 47 menit itu..

"Metro TV di Indonesia juga menyatakan minatnya untuk menayangkan film ini," katanya.

Kontroversi adalah faktor utama yang membuat Chris Fong tertarik memproduksi film soal kasus lumpur Lapindo.

"`Audience` akan tertarik dengan kontroversi...Saya lihat isu ini ternyata lebih rumit dan unsur politisnya demikian kuat," ujar Chris.

Permasalahan yang demikian rumit sempat membuat ia sendiri kehilangan kesabaran.

"Saya benar-benar hampir menyerah karena sulit sekali mendapatkan jawaban-jawaban," cetusnya.

Namun, film tersebut akhirnya dapat diselesaikan setelah melewati berbagai riset selama satu tahun dan wawancara dengan berbagai sumber.

Komentar dan keterangan dirangkum dari berbagai pihak, termasuk dari para korban dampak luapan lumpur, pemerintah daerah, pihak PT Lapindo Brantas, Walhi dan BP Migas.

Beda Pendapat
Di bagian akhir tayangan, "Mud Max" menaruh catatan tentang keputusan Mahkamah Agung pada Mei 2009 bahwa PT Lapindo Brantas dibebaskan dari tuduhan dan pemerintah akan mengambil alih tanggung jawab penanggulangan banjir lumpur di Sidoarjo dari Lapindo Brantas.

Bagian itu juga mengungkapkan kecenderungan bahwa kontroversi soal Lumpur Lapindo akan terus berlanjut, demikian pula perbedaan pendapat di kalangan pakar tentang penyebab luapan lumpur di Sidoarjo.

"Mud Max" melaporkan bahwa simposium tentang lumpur Lapindo yang diadakan London Geological Society dan American Association of Petroleum Geologists (AAPG) Oktober 2008, misalnya, tidak dapat membuktikan pembenaran ilmiah tentang penyebab menyemburnya lumpur.

Sebelumnya menurut catatan media, simposium yang diadakan di Cape Town, Afrika Selatan, itu diakhiri dengan pemungutan suara karena pendapat-pendapat yang disampaikan para ahli tentang penyebab lumpur Lapindo sangat bertentangan.

Pemungutan suara yang diikuti oleh 74 ahli perminyakan dunia menunjukkan bahwa 42 ilmuwan mendukung teori bahwa pengeboran ladang Banjar Panji 1 di Sidoarjo yang dilakukan oleh Lapindo Brantas merupakan penyebab menyemburnya lumpur.

Tiga ilmuwan setuju dengan pendapat bahwa semburan lumpur pada 29 Mei 2006 itu disebabkan gempa bumi yang mengguncang Yogyakarta dua hari sebelumnya.

Enam belas ilmuwan menganggap bukti-bukti yang disampaikan para pakar pembicara tidak meyakinkan; dan 13 ilmuwan lainnya mendukung pendapat bahwa luapan lumpur merupakan kombinasi dampak dari terjadinya gempa bumi serta pengeboran di ladang eksplorasi.

Menurut Chris Fong, "Mud Max" dengan naskah versi Bahasa Indonesia akan diluncurkan di Indonesia pada Januari 2010. (*)

Pewarta:
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009