Jakarta (ANTARA News) - Cakupan moratorim harus menggunakan terminologi hutan alam yang telah terdapat dalam Undang-Undang No 41/1999 tentang Kehutanan dan tidak berdasarkan berbagai istilah lain yang dapat dinilai cacat hukum.

"Hutan alam sudah terdapat dalam UU No 41/1999 tentang Kehutanan, di mana disebutkan hutan alam perlu dilindungi dari konversi HTI (hutan tanam industri)," kata Peneliti LSM Huma, Bernardinus Steni, di Jakarta, Jumat.

Ia mencemaskan, pada saat ini yang berkembang terkait dengan moratorium dan penundaan izin usaha hutan adalah memakai istilah hutan primer dan hutan sekunder yang tidak memiliki rujukan hukumnya.

Menurut dia, istilah hutan primer dan hutan sekunder merupakan istilah yang berasal dari para "forrester" (praktisi hutan) tetapi masih belum dituangkan secara legal.

"Bila Menteri Kehutanan dan Menteri Koordinator Perekonomian mengambil itu (primer dan sekunder), maka itu definisi yang tidak berdasarkan hukum sehingga dapat dinilai cacat hukum dan dimentahkan oleh berbagai pihak yang tidak setuju dengan moratorium," katanya.

Steni memaparkan, bila mengacu pada definisi hutan primer dan sekunder, maka alokasi kawasan hutan di Indonesia lebih banyak berkategori kawasan hutan sekunder daripada primer.

Sedangkan sebagian besar hutan primer, lanjutnya, terletak pada kawasan lindung dan konservasi.

Dengan demikian, jelas dia, bila moratorium hanya berlaku untuk kawasan hutan primer, maka sama sekali tidak ada perubahan signifikan terhadap pengelolaan hutan di Indonesia.

"Dalam berbagai peraturan perundang-undangan pun aktivitas manusia di kawasan lindung dan konservasi memang dibatasi. Artinya, penundaan izin di kawasan hutan primer hanya merupakan `business as usual," kata Steni.

Untuk itu, ia mendesak agar cakupan penundaan izin yang termasuk bagian dari moratorium adalah pada hutan alam sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan UU Kehutanan.
(M040/S004/A038)

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011