Meski tubuhnya terlihat tegap namun kerutan di wajah, serta rambutnya yang mulai memutih, tidak mampu menutupi usia pria paruh baya itu.

Nada suaranya yang berat dan lantang ketika bertugas sebagai pemandu wisata, menunjukkan gelora semangat yang tetap menyala dalam dirinya.

Dialah Wilizon, pria berusia 54 tahun yang biasa dipanggil Pak Win.

Pak Win, yang menjadi pemandu wisata di Lubang Tambang Mbah Soero di Kota Sawahlunto, Provinsi Sumatra Barat, itu terlihat antusias menjelaskan sejarah pembangunan terowongan tua bekas penambangan batubara itu.

"Bekas terowongan tambang batubara ini mulai dipugar sejak 26 Juni 2007," katanya menceritakan awal mula pemugaran terowongan bersejarah peninggalan masa penjajahan Belanda itu.

Sebanyak 15 pekerja dikerahkan untuk memompa air yang sempat menggenangi terowongan yang sudah tidak dipakai sejak sekitar tahun 1930 itu.

"Butuh waktu sekitar 20 hari untuk mengeringkan air rembesan yang merendam terowongan ini. Lamanya pekerjaan berlangsung sekitar lima bulan. Renovasi terowongan ini selesai sekitar akhir Desember 2007," ujar pria yang pernah bekerja selama sekitar 21 tahun sebagai karyawan perusahaan pertambangan batubara, PT Bukit Asam.

Renovasi terowongan bekas penambangan yang kemudian diberi nama Lubang Tambang Mbah Soero itu dilakukan hingga mencapai 186 meter.

Pemerintah Kota Sawahlunto yang dipimpin Wali Kota Amran Nur harus mengeluarkan biaya sekitar Rp1 miliar untuk merenovasi terowongan tersebut, lengkap dengan sarana penerangan dan saluran udara (blower).

Biaya itu sudah termasuk pembangunan kembali bekas Gedung Pertemuan Karyawan PT Bukit Asam, untuk disulap menjadi Gedung Info Box yang berisi informasi pariwisata Kota Sawahlunto.

Berdasarkan catatan yang dihimpun dari Gedung Info Box Sawahlunto, potensi cadangan batubara yang sangat besar di sekitar Sungai Ombilin itu ditemukan oleh Geolog asal Belanda, William Hendrik De Greve, pada 1868.

Panambangan batubara secara besar-besaran dilakukan sejak 1891. Setelah sekitar 110 tahun dieksploitasi, cadangan batubara di Sawahlunto sudah menipis dan pada tahun 2000, PT Bukit Asam selaku pengelola menghentikan kegiatannya.

Nama Mbah Soero yang diberikan sebagai nama lubang tambang itu merupakan nama mandor "orang rantai", sebutan untuk orang-orang hukuman yang dipaksa bekerja di pertambangan batubara itu pada masa kolonial Belanda.

Semasa hidupnya, Mbah Soero dikenal sebagai pekerja keras, tegas, dan taat beragama, sehingga disegani oleh masyarakat setempat.

"Beliau dikenal taat beragama dan memiliki ilmu kebatinan yang tinggi. Mbah Soero dimakamkan di pemakaman orang rantai, Tanjung Sari, Kota Sawahlunto," katanya.

Pak Win menuturkan, meskipun hanya berupa terowongan bekas tambang batubara, namun Lubang Tambang Mbah Soero punya kisah yang cukup panjang dan menarik.

Dari tempat inilah muncul sebutan "Orang Rantai". Orang rantai merupakan sebutan bagi pekerja tambang, yang tak lain adalah para tahanan di zaman Belanda, yang dikirim dari berbagai daerah di Hindia Belanda termasuk dari Batavia atau sekarang Jakarta.

Sebelum bekerja di pertambangan batubara itu, para buruh itu sempat pula membuat jalur kereta api dari Pelabuhan Emma Haven (sekarang Pelabuhan Teluk Bayur) di Padang ke Sawahlunto sepanjang 155,5 km, melewati Lembah Anai (Padangpariaman), Padangpanjang, dan Solok.

Mereka disebut "orang rantai" karena pada saat bekerja di pertambangan, kaki mereka dirantai.

Menurut Pak Win, banyak yang menyebut Lubang Tambang Soero mirip dengan Goa Jepang di Bukittinggi yang dibangun pada masa penjajahan Jepang.

Bedanya, selain dibangun pada masa yang berbeda, Lubang Tambang Mbah Soero ternyata memiliki keunikan tersendiri.

Karena, kata Pak Win, meski tidak diketahui secara pasti berapa panjang terowongan itu, namun diperkirakan mencapai sekitar satu kilometer lebih dan persis berada di bawah Kota Sawahlunto.

Lebar Lubang Tambang Mbah Soero sekitar dua meter dengan ketinggian dua meter.

Lubang tersebut berkedalaman sekitar 15 meter dari permukaan tanah dan bisa dimasuki hingga sejauh 186 meter, yang merupakan hasil renovasi pada 2007.

Saat memasuki kedalaman sekitar 15 meter, ternyata masih ada beberapa lubang lain yang berada lebih di bawah namun belum bisa dilewati karena belum dipugar.

Setelah di kedalaman sekitar 15 meter itu, jalan yang bisa dilalui dan telah dipugar berbelok ke arah kanan.

Dengan lampu penerangan yang cukup memadai, masih jelas terlihat batubara berkualitas super yang berwarna hitam pekat di dinding terowongan tersebut.

Menurut Pak Win, selama pemugaran berlangsung pada 2007, para pekerja menemukan banyak kerangka manusia, dan sejumlah benda peninggalan zaman Belanda seperti minuman beralkohol.

Karena itu, katanya, untuk masuk ke dalam lubang, ada beberapa peringatan yang harus dipatuhi pengunjung.

Pengunjung harus menggunakan topi (helm) pengaman karena air rembesan masih menetes dari dinding lubang.

Selain itu pengunjung juga harus menggunakan sepatu bot karena lantai yang kerap basah.

"Para pengunjung juga kami minta untuk tidak bicara `kotor` dan bagi perempuan yang sedang datang bulan, tidak boleh masuk," kata Pak Win sambil menceritakan kejadian-kejadian aneh yang pernah dialami sejumlah pengunjung yang tidak menjaga sikapnya dan tidak mematuhi aturan.

Ketika menelusuri lubang tambang itu, para pengunjung tidak merasakan bahwa mereka berada di bawah jalan raya Kota Sawahlunto, yang di kiri kanannya dipadati rumah penduduk.

Para pengunjung baru menyadarinya ketika keluar dari lubang tambang itu.

Ketika keluar, mereka muncul di seberang jalan tempat pintu masuk lubang tambang.

Berdasarkan catatan di Gedung Info Box, Wisata Lubang Tambang Mbah Soero kian banyak diminati wisatawan dari luar Sawahlunto, bahkan dari luar Sumatra Barat.

Sejak menjabat pertama kali sebagai Wali Kota Sawahlunto pada 2003, Amran Nur berupaya keras menjadikan kawasan kota yang banyak menyimpan cerita sejarah penambangan batubara saat penjajahan Belanda.

Menurut Amran Nur, bangunan bersejarah zaman kolonial Belanda adalah ciri khas objek wisata di Sawahlunto.

Selain Lubang Tambang Mbah Soero, peninggalan zaman kolinial Belanda yang dijadikan lokasi wisata adalah Museum Goedang Ransoem dan Museum Kereta Api Sawahlunto.
(A041)

Oleh Arief Mujayatno
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2011