Surabaya (ANTARA News) - Pengusaha nasional dari Kelompok Bakrie, Aburizal Bakrie, berjanji akan menuntaskan ganti rugi untuk korban semburan lumpur di kawasan eksplorasi PT Lapindo Brantas di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, pada 2012.

"Kalau mengikuti ketetapan hukum, saya tidak bersalah, tapi ibu saya berpesan agar saya membantu korban tanpa melihat apakah saya benar atau salah," katanya saat dialog pada kuliah umum tamu di Aula Fakultas Ekonomi (FE) Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Rabu petang.

Ia mengemukakan hal itu menjawab pertanyaan dosen Fisip Unair, Airlangga Pribadi, dalam dialog pada kuliah umum tamu bertajuk "Kepemimpinan dan Kebangsaan" yang digagas Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FE Unair Surabaya.

Menurut Ketua Umum DPP Partai Golkar itu, lumpur di Porong, Sidoarjo itu merupakan masalah "debatable" (masalah yang diperdebatkan) tentang siapa yang bersalah, karena itu pihaknya mempercayakan masalah pada jalur hukum.

"Tapi, kita tidak menunggu proses hukum, maka kita memikirkan bagaimana upaya untuk menolong orang-orang yang susah, karena itu saya pun membeli tanah dengan harga 10-20 kali lipat dari NJOP, sehingga ada tanah yang harganya mencapai Rp65 miliar, tapi harga rata-rata Rp2 miliar," kata mantan Menko Kesra dan Menko Perekonomian itu.

Hingga kini, pihaknya sudah menghabiskan dana sebesar Rp8 triliun dari kantong pribadi untuk pembayaran ganti rugi itu, karena perusahaan (PT Lapindo Brantas) memang tidak mampu membayar, sedangkan kemampuan perusahaan hanya Rp100 miliar.

"Kalau dinyatakan pailit, maka urusan akan selesai, apalagi Mahkamah Tinggi sudah memutuskan bahwa luapan lumpur itu merupakan bencana alam, tapi ibu saya berpesan agar saya membantu mereka tanpa melihat siapa yang benar," kata pria yang akrab dipanggil Ical itu.

Oleh karena itu, katanya, dirinya pun mengeluarkan uang dari kantong pribadi. "Ada 11.923 keluarga yang setuju dengan ganti rugi dan hanya 700 keluarga yang belum setuju. Dari jumlah itu, pembayaran ganti rugi masih kurang Rp1,1 triliun," katanya.

Ia mengatakan ganti rugi yang tersisa itu akan diselesaikan pada tahun ini sebesar Rp400 miliar dan tahun depan (2012) sebesar Rp700 miliar. "Insya-Allah, tahun depan sudah terselesaikan. Semuanya saya lakukan dari kantong pribadi atas perintah ibu," katanya.

Tentang adanya 45 RT (rukun tetangga) di luar peta terdampak yang meminta ganti rugi dari pemerintah dan tidak dipenuhi, ia menyatakan ganti rugi untuk kawasan di luar peta terdampak menjadi tanggung jawab pemerintah.

"Tapi, saya tahu pemerintah tidak mau membeli tanah dengan harga 20 kali lipat dari NJOP, karena mereka takut ditangkap KPK. Untuk itu, saya kira pemerintah harus meyakinkan KPK bahwa ganti rugi hingga 20 kali lipat dari NJOP itu untuk membantu rakyat," katanya.

Mengenai upaya untuk menghentikan luapan lumpur yang saat ini sudah berkurang banyak itu, Ical mengaku pengalaman luapan lumpur di Cirebon, Sumsel, Kalsel, dan Purworejo (Jateng) menunjukkan luapan lumpur itu sulit untuk dihentikan.

"Itu akan berhenti dengan sendirinya, karena hal serupa yang terjadi di Purworejo sudah berlangsung hampir 45 tahun dan tidak ada tanda-tanda akan berhenti. Saya kira, penyelesaian secara hukum sudah final, tapi saya kira memang ada yang mempolitisasi," katanya.

Dalam kuliah umum tamunya, Ical menyatakan perlunya para pemimpin mengarahkan Indonesia sebagai negara kesejahteraan dan tidak percaya pada ekonomi liberal yang merugikan masyarakat kecil. "Pemerintah perlu melakukan intervensi pada kemiskinan," katanya.

(E011/I007)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2011