Jakarta (ANTARA News) - Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas Saldi Isra menilai bahwa koalisi partai pendukung pemerintah yang dibentuk Susilo Bambang Yudhoyono terlalu besar sehingga menyulitkan kinerja presiden.

"Koalisi partai-partai politik pendukung pemerintah beranggota enam partai politik dan memiliki 75 persen kursi di parlemen," katanya pada diskusi "Presidensialisme Setengah Hati" di Jakarta, Jumat.

Menurut dia, koalisi partai-partai politik pendukung pemerintah yang sangat besar menyebabkan anggota koalisi menjadi tidak solid dan sulit dikendalikan.

Apalagi, kata dia, pada kontrak koalisi tersebut klausulnya masih abu-abu dan tidak menawarkan konsep yang tegas, yakni seluruh parpol anggota koalisi berada dalam suatu fraksi.

"Dengan memberikan kebebasan kepada partai-partai anggota koalisi tetap memiliki fraksi sendiri dan sikap sendiri, sehingga koalisi sulit dikendalikan," katanya.

Menurut dia, jika presiden bisa menawarkan partai-partai anggota koalisi berada dalam satu fraksi dan satu sikap, maka koalisi akan berjalan baik dan pemerintahan juga berjalan efektif.

Hal lain yang menyulitkan presiden dengan adanya koalisi partai yang sangat besar, kata dia, adanya sejumlah undang-undang yang bisa mengurangi hak prerogatif presiden.

Saldi mencontohkan, penetapan Panglima TNI, Kapolri, dan Gubernur Bank Indonesia melalui uji kelayakan dan kepatutan di DPR RI.

Aturan uji kelayakan dan kepatutan itu, kata dia, tidak diatur dalam konstitusi, tapi dalam undang-undang, sehingga persoalan ini bukan persoalan konstitusional tapi seputar undang-undang.

"Jika presiden merasa terganggu dengan aturan uji kelayakan dan kepatutan itu, maka bisa mengusulkan untuk merevisi undang-undang," katanya.

Jika presiden tidak mengusulkan revisi undang-undang tersebut dan aturan uji kelayakan dan kepatutan tersebut terus berlaku, katanya, maka bisa mengurangi hak prerogatif presiden.

(R024/R014)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2011