Bogor (ANTARA News) - Dari 225 jenis kelelawar yang ada di Indonesia, empat jenis diantaranya sudah sangat sulit dijumpai dan diperkirakan terancam punah.

Empat jenis spesies kelelawar yang terancam punah itu antara lain jenis Otomops Johstonoi dari Flores dan Alor Sulawesi, Neoptenus Trostii dari Sulawesi, Rouseptus Linduenst dari Danau Lindu Sulawesi dan Otomops forrmosus dari Jawa.

"Keempat kelelawar ini, kini sudah sangat sulit ditemukan lagi," kata Pakar Kelelawar dari Pusat Penelitian Biologi LIPI, Ibnu Maryanto, dalam jumpa pers International South-East Asian Bat Confrence di Hotel Royal Bogor, Senin.

Ibnu mengatakan, kedua jenis kelelawar tersebut sudah sulit ditemukan sejak 5 hingga 10 tahun yang lalu.

Beberapa faktor yang menyebabkan rusaknya populasi kelelawar Indonesia adalah ekspoitasi hutan dan penambangan di wilayah batu kapur yang merupakan tempat habitat kelelawar.

Lebih lanjut, Ibnu menjelaskan, Kelelawar memiliki peranan penting dalam keseimbangan ekosistem dan bermanfaat bagi kehidupan manusia.

Kelelawar, salah satu ordo mamalia yang dapat terbang, merupakan salah satu predator alami dan berfungsi menyerbuki tanaman.

Dari 225 jenis kelelawar di Indonesia, 75 jenis diantaranya pemakan buah dan berperan dalam penyerbukan, sisanya 148 jenis pemakan serangga yang secara tidak langsung membantu manusia dalam memberantas hama dan penyakit.

"Dalam satu jam kelelawar bisa memakan 6.000 ekor serangga, bayangkan jika populasi kelelawar hilang, bisa kita prediksikan penyakit seperti malaria akan banyak terjadi," kata Ibnu.

Ibnu menambahkan bahwa koloni besar kelelawar yang menghuni goa-goa batu kapur sangat rentan terhadap gangguan.

"Perubahan yang ditimbulkan oleh ulah manusia akan mempengaruhi kehidupanya," katanya.

Eksploitasi batu kapur guna keperluan industri yang banyak menghancurkan goa-goa di hampir semua kawasan karst di Indonesia merupakan penyebab punahnya jenis-jenis kelelawar, kata Ibnu.

Sementara itu Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Lukman Hakim mengatakan, hilangnya peran kelelawar sebagai hewan penyerbuk kini telah dirasakan.

"Dulu di Kabupaten Bogor khususnya di daerah Parung kita sering menemukan durian Parung. Tapi sekarang durian ini sudah sulit ditemukan," katanya.

Lukman menyebutkan, Indonesia memiliki jumlah jenis kelelawar terbesar di dunia (11 persen jenis kelelawar terdapat di Indonesia) dan besar pula kehilangan karena habitatnya hancur.

Habitat kelelawar yang telah rusak terjadi hampir di setiap wilayah Indonesia, diantaranya, Jakarta, Bogor, Depok dan Bekasi, sebagian besar pohon dan hutan telah beralih fungsi.

Lukman mengatakan, sebagai lembaga penelitian, LIPI memiliki kepedulian terhadap lingkungan telah memperkuat jaringan kerjasama dengan para peneliti kelelawar yang meneliti di kawasan Asia Tenggara.

"Kegiatan konverensi kelelawar harus ditingkatkan mengingat kelelawar memberi manfaat bagi kehidupan manusia," katanya.

Lukman menambahkan, hasil pembahasan pada konverensi tersebut akan menjadi rekomendasi kepada pemerintah untuk melindungi habitat kelelawar.

Konferensi kelelawar berlangsung di Bogor selama 6-9 Juni merupakan konferensi kelelawar Asia Selatan, Tenggara dan Timur adalah yang kedua dilaksanakan. Konferensi pertama telah digelar di Pucket, Thailand 2007 yang membahas semua aspek mulai dari sosial hingga biologi dan zoogeografi.

Pada konferensi kali ini yang berlangsung telah hadir 80 peneliti dari 20 negara, yakni Indonesia, Malaysia, Thailand, Philipina, Brunei Darussalam, Vietnam, Kambogja, Laos, Singapore, India, Cina, Jepang, Taiwan, USA, Canada, Inggris, Australia, Pakistan dan Vanuatu.

(KR-LR/S026)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2011