Sleman (ANTARA News) - Warga korban bencana erupsi Gunung Merapi di Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, mengeluhkan seringnya sejumlah pejabat pemerintahan menyampaikan pernyataan yang menyinggung perasaan.

"Selama ini warga banyak `gampet` (menahan diri) dengan pernyataan pejabat-pejabat pemerintah yang terlalu menyinggung perasaan, khususnya terkait masalah rencana relokasi," kata Kades Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan Bejo Mulyo, Sabtu.

Pernyataan itu ditegaskannya saat diskusi penyampaian inventarisasi masalah di Pondok Pesantren Al Qodir, Wukirsari, Cangkringan.

Menurut dia, pernyataan-pernyataan tersebut semisal ada pejabat yang menyatakan bahwa korban Merapi harus direlokasi dan jika tidak menurut maka tidak akan difasilitasi.

"Saat ini kondisi psikologis korban Merapi belum pulih, sehingga jika ada pernyataan yang menyakitkan hati mereka akan semakin trauma," katanya.

Ia mengatakan, jika yang menjadi korban dan mati itu hanya tanaman atau pohon keras itu tidak akan menjadi masalah, namun jika sampai yang mati adalah kehidupan warga dan sosial budaya masyarakat maka itu akan sangat berbahaya.

"Jika memang warga menolak untuk relokasi apa ya kemudian mereka ini tidak dianggap lagi sebagai warga yang bisa memperoleh hak-haknya dalam kehidupan," katanya.

Hal sama juga dikatakan Kepala Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan Heri Suprapto yang selama ini banyak mendapat keluhan dari warga korban Merapi yang mendengar pernyataan dari para pejabat pemerintah.

"Seperti misalnya warga korban Merapi yang telah membangun kembali rumahnya dilahan pribadi yang aman dari Merapi dengan bantuan dari pihak donatur, pejabat pemerintah belum-belum sudah menyatakan bahwa mereka tidak akan mendapatkan bantuan dana rekonstruksi dari pemerintah," katanya.

Ia mengatakan, selain itu dalam pengurusan surat-surat penting yang hilang atau terbakar akibat bencana Merapi tersebut pejabat di instansi terkait sering terlalu kaku dan tidak bisa "ngemong" warga.

"Masyarakat yang mengajukan permohonan akta kelahiran baru, oleh pejabat di instansi terkait justru diminta untuk mencari kembali akta yang lama seperti di sekolah atau di sisa reruntuhan rumah, ini kan tidak bijaksana, karena surat-surat penting jelas sudah terbakar diterjang lahar panas," katanya.

Menurut dia, sebenarnya permasalahan ini sepele tetapi dibuat rumit oleh pejabat-pejabat terkait sehingga ini juga perlu mendapat perhatian khusus.

"Seperti untuk permohonan penggantian surat-surat baik akta kelahiran maupun BPKB, warga korban Merapi diberi kemudahan selama satu tahun, nanti setelah kondisi normal, prosedurnya bisa kembali seperti masyarakat pada umumnya, Saya rasa di desa lain juga ada yang mengalami seperti ini," katanya.

Heri yakin bahwa masyarakat di Kepuharjo tidak bohong untuk urusan pembuatan akta, termnasuk proses permohonan pembuatan BPKB yang dirasa sulit harus memenuhi 12 item yang dipersyaratkan termasuk iklan di dua surat kabar.

"Termasuk kesehatan untuk menerima perawatan di rumah sakit harus diminta tanda bukti warga korban Merapi. Warga ingin dimanjakan karena keadaan. Kalau sudah pulih bisa disamakan dengan yang lain," katanya. (V001/M027/K004)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011