Surabaya (ANTARA News) - Ketua Umum DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum meminta semua pihak memberikan kesempatan kepada DPR dan Kepolisian untuk bekerja profesional dalam mengungkap pemalsuan surat putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

"Sampai saat ini proses sedang berjalan, baik di Panitia Kerja DPR maupun Mabes Polri. Biarkan mereka bekerja profesional dan kita menunggu hasil perkembangannya lebih lanjut," ujarnya kepada wartawan yang menemui pasca-dialog Otonomi Awards 2011 di Surabaya, Rabu.

Kasus tersebut sedang ditangani serius oleh Komisi II DPR RI dengan Panja Mafia Pemilu. Selain itu, proses hukumnya juga sedang ditangani aparat kepolisian.

Anas menjelaskan, hingga kini belum ada hasil atau kesimpulan apapun dari kedua lembaga tersebut, karena itu semua pihak sebaiknya tidak membuat kesimpulan sendiri dan berharap menunggu hasil penanganan aparat.

"Sekarang belum ada status apa-apa kedua lembaga itu dan belum memiliki kesimpulan resmi, maka ya harus ditunggu dulu," papar mantan Ketua Umum Pengurus Besar (PB) Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI) tersebut.

Kasus dugaan pemalsuan dokumen MK sampai saat ini terus bergulir. Ketua MK Mahfud MD melaporkan dugaan pemalsuan dokumen negara tersebut terkait yang diduga melibatkan mantan anggota KPU Pusat, Andi Nurpati pada Pemilu 2009.

Perkembangannya, polisi telah menetapkan satu tersangka dugaan pemalsuan dokumen negara, yakni juru panggil MK, Mansyuri Hasan.

Tidak hanya itu saja, Penyidik Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri juga telah memeriksa Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), Bambang Eka Cahya Widodo terkait kasus ini.

Dalam kesempatan tersebut, penyidik meminta keterangan terkait siapa yang membacakan dan apa isi surat MK yang diduga palsu tersebut.

Selain itu, Bambang juga dimintai keterangan seputar apa tindakan yang dilakukan Bawaslu saat ditemukan surat palsu MK tersebut.

Namun, Bambang menuturkan saat itu, pihaknya belum mengetahui surat keputusan dari MK adalah diduga palsu.(*)

(ANT-165/E011)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011