Paris (ANTARA News/AFP) - Koran di seluruh dunia pada Selasa merayakan pembebasan Libya dari kekuasaan puluhan tahun Moamar Gaddafi, tapi semua memperingatkan pemberontak akan bertanggung jawab mereka memberi masa depan lebih baik.

Enam bulan setelah melawan salah satu penguasa paling ditakuti di dunia, pemberontak Libya di ambang kemenangan pada Selasa, menguasai sebagian besar ibukota, Tripoli, dan mendapat pengakuan luas antarbangsa.

Harapan dari kejatuhan penguasa itu diwarnai kekhawatiran akan kelangsungan hidup Libya oleh bekas pemberontak, yang memiliki kekuasaan, tapi sedikit pengalaman dalam pemerintahan demokratik.

"Kami sekarang mendesak mereka menahan diri dalam saat akhir ini dan menghormati seluruh rakyat Libya dalam hari dan bulan mendatang," kata tajuk "New York Times", saat pertempuran masih berkobar di sekitar tempat tinggal Gaddafi di Tripoli.

"Mereka berjanji membangun Libya demokrat. Mereka harus memenuhi janji itu," kata surat kabar tersebut.

Koran London juga melansir kejatuhan salah satu penguasa paling dibenci Barat itu, tapi mendesak menahan diri dan berjaga terhadap gelombang pembalasan terhadap bekas petugas dan kelompok penguasa tersebut.

"Beberapa orang muda, yang berjuang di pihak pemberontak akan menginginkan imbalan. Mereka juga mungkin merasa memiliki hak atas pekerjaan dan kenikmatan lawan mereka," kata "The Guardian".

"Semua di Libya harus berhati-hati terhadap pemanfaatan masa kacau, yang tak terelakkan, untuk menyelesaikan soal lama, merebut keuntungan suku atau melampiaskan dendam terhadap bekas sarana penguasa itu," kata suratkabar "The Times".

Di negara pendukung campur tangan persekutuan pertahanan Atlantik utara NATO di Libya, terdapat perasaan bahwa keputusan bermasalah pemimpin Barat untuk menggelar gerakan tentara menghasilkan ketidakpastian terbukti benar.

"Kemenangan pemberontak Libya adalah kemenangan NATO, yang tanpanya, usaha mereka kecil kemungkinan berhasil," kata koran Prancis "Le Figaro".

"Khususnya, tak dapat disangkal keberhasilan diplomasi Prancis," kata tajuk harian sayap kanan itu, yang berjudul "Prancis benar soal Libya".

Presiden Prancis Nicolas Sarkozy memimpin campur tangan Barat dalam kemelut itu dan yang pertama menyatakan sah pemerintah pemberontak.

"Ketika pengecam di Washington dan tempat lain menyatakan Libya rawa, pemimpin itu menolak mundur," kata "New York Times".

Di Cina, tempat pemerintah menerapkan kebijakan ketat tak ikut campur, suratkabar menyatakan Barat bertanggung jawab membantu membangun kembali Libya.

"Menggulingkan Gaddafi adalah hiburan bagi media, tapi berbicara tentang membangun kembali adalah tidak," kata tajuk "Global Times", harian kolot berbahasa Inggris.

"Terlalu banyak tempat di dunia perlu dibangun kembali sekarang," katanya, "Barat sedang kesulitan ekonomi sekarang dan diragukan apakah mereka dapat menanggung beban Libya," katanya.

Tapi, suratkabar di Aljazair, tetangga Libya, menyatakan ada pecundang dan pemenang jelas dalam kemelut Libya itu dan kegagalan memilih pihak saat Kebangkitan Arab melanda kawasan tersebut akan memakan korban.

"Peta Afrika utara berubah cepat dan Aljazair sekedar mengamati, menebak dan sungkan mengakui," kata harian berbahasa Prancis "El Watan".

Suratkabar "Quotidien d`Oran" memperingatkan bahwa pemerintah baru salah satu kekuatan minyak utama Afrika itu akan mengingat di mana teman mereka saat perang.

"Aljazair diam dan tak bersikap dan sekarang memperkirakan hubungan buruk dengan penguasa baru Libya," katanya.

Angin ketidakpuasan rakyat bertiup di wilayah itu membuat penguasa Tunisia Zine el Abidine Ben Ali mengungsi, memaksa presiden Mesir Hosni Mubarak mundur dan menggoyang keras kekuasaan mengakar di Yaman dan Suriah.

Dalam kesimpulan suratkabar lain di dunia, "New York Times" menekankan bahwa Gaddafi kemungkinan yang terkini, tapi bukan domino terakhir jatuh.

(B002/H-RN)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011