Jakarta (ANTARA News) - Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dibentuk pada 1945, tepat setelah selesainya Perang Dunia II, dengan tujuan mencegah terjadinya perang dan mempromosikan perdamaian dunia yang pada akhirnya berujung pada peningkatan kualitas hidup masyarakat dunia.

Berdasarkan cita-cita mulia tersebut maka Piagam PBB menyebutkan bahwa seluruh negara di dunia yang cinta damai boleh menjadi anggota lembaga dunia itu.

Namun, tentu saja asalkan memperoleh persetujuan dari minimal sembilan anggota Dewan Keamanan PBB dan tidak ditolak oleh satu dari lima negara pemegang hak veto di dewan itu --China, Rusia, Inggris, Prancis, dan Amerika Serikat.

Perjuangan untuk memperoleh dukungan minimal sembilan angggota Dewan Keamanan PBB dan tidak mendapatkan satu veto pun dari lima anggota tetap Dewan PBB itulah yang kini sedang dihimpun oleh rakyat Palestina. Setelah sebelumnya Sudan Selatan dianugerahi keanggotaan penuh PBB --menjadi anggota PBB ke 193-- pada 14 Juli 2011 atau kurang satu pekan dari deklarasi kemerdekaannya pada 9 Juli 2011.

Semenjak beberapa hari terakhir menjelang dimulainya sidang tahunan Majelis Umum PBB di Markas Besar PBB New York, Amerika Serikat, pada pekan terakhir September 2011 ini, Presiden Palestina Mahmud Abbas telah dengan terang-terangan menyatakan niatnya untuk mengajukan permohonan agar Palestina memperoleh keanggotaan penuh dari PBB.

Langkah Abbas yang dinilai bersumber dari frustasi panjang terkait tak kunjung jelasnya rencana perundingan perdamaian dengan Israel sementara konflik terbuka menahun antara kedua belah pihak telah menyebabkan jutaan orang meregang nyawa tersebut telah memicu beragam reaksi dari berbagai belahan dunia.

Pemerintah AS yang tahun lalu menjadi mediator perundingan damai Palestina dan Israel --sebelum akhirnya menemui jalan buntu karena Palestina menuntut penghentian pembangunan pemukiman di Tepi Barat sementara Israel menyatakan tidak dapat memperpanjang moratorium pembangunan-- dalam beberapa kesempatan disebutkan telah secara terang-terangan berjanji untuk menolak permintaan rakyat Palestina dan menggunakan hak istimewanya untuk memveto upaya itu.

Menteri Luar Negeri Hillary Clinton sebagaimana dikutip dari Xinhua, Selasa (20/9), mengatakan bahwa negaranya terlibat dalam "diplomasi yang sangat intensif" untuk menghambat permintaan Palestina tersebut.

Sementara itu dalam pidatonya di Majelis Umum PBB, Presiden AS Barack Obama menegaskan dukungan AS terhadap Israel dan memperingatkan bahwa permohonan Palestina untuk menjadi negara anggota PBB merupakan tindakan sepihak dan karenanya tidak akan terwujud.

"Komitmen Amerika bagi keamanan Israel tidak akan goyah. Amerika dan Israel memiliki persahabatan yang dalam dan akan terus berlanjut," kata Obama.

Ia juga menyampaikan keyakinannya bahwa permintaan rakyat Palestina untuk diakui sebagai suatu negara merdeka anggota penuh PBB bukan solusi terbaik untuk konflik menahun di Palestina.

"Perdamaian tidak akan datang melalui pernyataan dan resolusi di PBB - jika semudah itu, itu akan tercapai sekarang," kata Obama dalam pidatonya di Majelis Umum syang dikutip oleh AFP.

Obama berpidato dari podium yang sama, tempat tahun lalu ia menyeru dunia untuk bersatu dan menolak kebencian dan memungkinkan terwujudnya sebuah negara Palestina baru yang akan masuk menjadi anggota PBB dalam waktu 12 bulan.

Pidato pemimpin AS itu serta merta mendapat kecaman keras dari rakyat Palestina, yang dalam beberapa hari terakhir melakukan aksi turun ke jalan untuk mendukung Abbas.

Kantor berita AFP yang mengutip sejumlah harian utama di Palestina menyebutkan bahwa rakyat Palestina secara umum mengecam pidato Obama dan menyebutnya bias ke arah Israel. Sikap itu dinilai sebagai bukti atas ketidakmampuan Washington menjadi mediator yang adil antara Israel dan Palestina.

"Pidato Obama mencerminkan bias Amerika Serikat terhadap pendudukan Israel dan itu membuktikan bahwa berlanjutnya sikap bergantung Arab dan Palestina kepada Amerika Serikat adalah salah," kata juru bicara Hamas Sami Abu Zuhri kepada AFP.

Sedangkan pengamat di tiga surat kabar utama Palestina semua menyuarakan kemarahan dan nada kekecawaan yang sama atas pernyataan Obama.

"Pidato Obama adalah suatu kekecewaan bagi mereka yang telah menunggu sesuatu yang baru dari dia, memprovokasi kemarahan ekstrim dan kemarahan," tulis Talal Okal di harian Al-Ayyam.

"Dia menempatkan orang-orang yahudi dan Israel dalam posisi korban yang dikelilingi oleh kebencian dan perang terhadap mereka oleh negara-negara Arab, tapi pidatonya sama sekali tidak menggambarkan penderitaan rakyat Palestina."

Sementara itu anggota Parlemen Arab-Israel Ahmed Tibi dalam tulisannya di Al-Quds, koran terbesar Palestina, mengatakan pidato Presiden Prancis Nicholas Sarkozy jauh lebih berkesan dari pidato Obama.

Menurut Tibi, meskipun pemimpin Prancis itu gagal untuk menawarkan dukungan untuk permintaan Palestina guna memperoleh keanggotaan penuh dari PBB, ia mengusulkan alternatif peningkatan status Palestina di PBB melalui Majelis Umum, dan membuat acuan yang jelas terkait penderitaan Palestina.

"Dan lebih dari itu, dalam pidato yang sama di mana Obama memuji pemberontakan dan revolusi oleh orang-orang Arab melawan tirani dan penindasan, ia menolak untuk bahkan menyebutkan pendudukan Israel atas tanah Palestina."



Optimisme Palestina

Sekalipun bergerak di bawah bayang-bayangan ancaman veto dari Amerika Serikat, Menteri Luar Negeri Palestina Riyad al-Malki menyampaikan keyakinannya bahwa delegasinya akan mengumpulkan sedikitnya sembilan suara yang dibutuhkan.

"Kami sedang bekerja ke arah itu (menjamin sembilan suara) dan saya kira kami akan mengaturnya," katanya sebagaimana dikutip dari Reuters. Ia tidak menganggap bahwa sikap AS sebagai tidak dapat diubah.

"Kami mengharapkan AS akan merevisi sikapnya dan akan berada di pihak sebagian besar negara yang mendukung hak Palestina untuk menentukan nasib sendiri dan merdeka," kata Malki. Optimisme Palestina itu mendapat dukungan dari sejumlah negara di Dewan Keamanan.

Kantor Berita India, Press Trust of India (PTI), menyebutkan bahwa Perdana Menteri India Manmohan Singh telah menulis surat kepada Abbas dan meyakinkan "dukungan penuh" India terhadap upaya Palestina itu. India saat ini merupakan ketua bergilir Dewan Keamanan PBB.

Sementara tokoh kontroversial, Presiden Venezuela Hugo Chavez telah mengirim surat kepada Sekjen PBB Ban Ki-moon untuk menyampaikan dukungan penuh bagi permintaan Palestina.

Dalam suratnya yang disiarkan ke media lokal pada 17 September lalu Chavez mengatakan bahwa Negara Palestina memiliki hak "untuk menjadi sebuah negara, bebas berdaulat dan independen."

"Solusi untuk konflik Timur Tengah harus mencakup langkah yang diperlukan untuk membuat keadilan bagi rakyat Palestina, ini adalah satu-satunya cara untuk mencapai perdamaian," kata Chavez yang tengah menjalani perawatan akibat kanker dalam surat itu.

Di saat yang bersamaan, Sekjen PBB Ban Ki-moon mendesak Netanyahu untuk bertindak dengan "menahan diri" dan bersikap "arif" terhadap upaya Palestina untuk menjadi anggota penuh PBB. Menurut AFP, Israel telah marah, menolak upaya Palestina, dan mengancam pembalasan diplomatik yang tidak ditentukan.

Sementara itu hingga Kamis (22/9) atau sehari sebelum Abbas menyampaikan permintaannya secara resmi ke Dewan Keamanan PBB, sikap sementara 15 anggota Dewan Keamanan menurut AFP berdasarkan pernyataan publik mereka terbilang beragam.

Negara yang mendukung permintaan Palestina di Dewan Keamanan PBB adalah Brazil, China, Lebanon, Rusia, dan Afrika Selatan. Sementara itu Amerika Serikat bersikap menetang permintaan Palestina dan Kolumbia memilih abstain.

Sedangkan Bosnia dan Herzigovia, Inggris, Prancis, Gabon, Jerman, India, Nigeria dan Portugal belum menentukan sikap.



Posisi Indonesia

Saat ini, Indonesia memang bukan merupakan anggota Dewan Keamanan, namun sebagaimana sejumlah negara lain yang pernah merasakan pedihnya hidup dalam pendudukan bangsa lain, Indonesia secara terbuka menyatakan dukungannya kepada Palestina.

Kepada wartawan di New York, Menteri Luar Negeri RI Marty Natalegawa menegaskan bahwa hasil apapun yang muncul dari proses pengajuan keanggotaan Palestina di PBB tidak akan menyurutkan dukungan penuh Indonesia bagi upaya Palestina, terutama melalui kerangka Gerakan Non-Blok dan Organisasi Kerja sama Islam (OKI).

"Tapi kita juga perlu memastikan bentuk dukungannya harus yang cerdas, yang tepat. Oleh karena itu, melalui komunikasi (pertemuan dengan Menlu Al-Maliki, red) tadi, kita mengidentifikasi langkah-langkah yang perlu dilakukan ke depan ini," ujar Marty seusai pertemuan dengan Menlu Palestina.

Ia juga menekankan bahwa meskipun Palestina mengupayakan keanggotaannya di PBB, hal itu bukan berarti masalah proses perdamaian Palestina-Israel diterlantarkan.

"Justru ini sebenarnya suatu kenyataan pilihan yang dipaksakan kepada Palestina karena tidak adanya kemajuan dalam proses perdamaian. Tetap prioritas adalah terhadap proses perdamaian dan diharapkan melalui upaya ini proses perdamaian akan dapat dihidupkan kembali," katanya.

Menlu Marty menyiratkan bahwa proses perolehan dukungan sembilan negara di Dewan Keamanan bagi upaya Palestina untuk menjadi negara anggota PBB belum tentu berjalan mulus.

"Memang perjuangan pertama adalah memperoleh sembilan dukungan, penggunaan veto itu akan relevan kalau sudah diperoleh sembilan dukungan. Saya rasa masih banyak perjuangan yang sangat berat di hadapan kita. Kita kan pernah duduk (sebagai anggota) di Dewan Keamanan, mengetahui sendiri betapa akan banyak dorongan dan desakan," katanya.

Sementara itu apabila permintaan rakyat Palestina gagal di Dewan Keamanan, Palestina dapat membawa kasus itu kepada Sidang Majelis Umum, tempat tidak ada anggota yang memiliki hak veto dan mereka telah menyebarkan dukungan bagi Palestina.

Melalui Majelis Umum, Palestina hanya dapat meningkatkan status menjadi negara pengamat non-anggota dari status sebelumnya, pengamat permanen di Sidang Majelis Umum, namun akan mendapat akses ke badan-badan PBB dan memiliki pengaruh lebih besar pada masa depan ketika berhadapan dengan Israel, yang menjadi anggota PBB sejak 1948.

Hasil akhir dari saat-saat kritis penentuan nasib Palestina baru akan dimulai pada Jumat (23/9) ketika Abbas secara resmi menyampaikan permintaannya akan pengakuan dan keanggotaan penuh PBB dalam pidatonya di Majelis Umum PBB.

Nasib permintaan Palestina terletak di tangan 15 anggota Dewan Keamanan PBB, atau lebih tepatnya lima negara pemegang hak veto, sementara lebih dari 100 negara yang lain hanya bisa menanti apakah mimpi Palestina untuk menjadi negara ke-194 PBB terwujud atau akan tetap menjadi mimpi.***3****
(G003*TNY) 

Oleh Gusti NC Aryani
Editor: Desy Saputra
Copyright © ANTARA 2011