Jakarta (ANTARA News) - Kantor Bupati Bima, NTB, dibakar massa pada hari Jumat (27/1). Menurut anggota Komisi VII DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Dewi Aryani, peristiwa memprihatinkan itu bentuk kekecewaan rakyat sekaligus menunjukkan ketidakmampuan Pemerintah dan aparatur keamanan setempat mengantisipasi kemungkinan anarkisme yang bisa terjadi.

"Kasus Bima merefleksikan persoalan penggunaan kewenangan kepala daerah yang cenderung menyalahgunakan wewenang, teristimewa mengabaikan analisis dampak lingkungan," katanya, di Jakarta, Sabtu.

Secara politik pemberian kewenangan itu semakin menyebabkan praktik tata kelola daerah yang kurang memadai. Dia mengindikasikan, pemilihan kepala daerah sangat berbiaya mahal sehingga boleh jadi sumber daya alam dijadikan sumber pembiayaan.

Pemerintah pusat harus segera turun tangan, di antaranya Kementerian ESDM, Kementerian Lingkungan Hidup, dan Menteri Dalam Negeri. "Ketiga kementerian ini lemah perannya. Dalam kasus ini adalah kontrol terhadap daerah dalam pemberian Kuasa Penambangan/Izin Usaha Pertambangan," katanya.

Belakangan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Jero Wacik, menginstruksikan Bupati Bima, NTB, untuk mencabut izin pertambangan yang menjadi pangkal masalah berujung anarkisme dari masyarakat setempat itu. Bupati Bima, Ferry Zulkarnain, sebelumnya, telah memenuhi tuntutan masyarakat dengan menunda pemberlakuan SK Bupati Bima Nomor 188 kepada PT Sumber Mineral Nusantara, selama setahun.

Pernyataan pihak pemerintah hari ini di beberapa media yang menyatakan bahwa jangan asal mencabut izin tambang, harus ada alasan yang jelas dan dapat diterima,  menurut Aryani, pernyataan ini menunjukkan kekurangpahaman pemerintah terhadap pelaksanaan kegiatan pertambangan dalam era otonomi daerah.

Dia menyitir studi Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota FISIP Universitas Indonesia pada tahun 2010.  Disebutkan, paling tidak ada 16 modus pelanggaran pemberian kuasa pertambangan oleh pemerintah daerah, antara lain kuasa pertambangan melebihi batas waktu yang diberikan, melebihi luas wilayah yang diberikan, di lahan hutan lindung, di pemukiman masyarakat, kuasa pertambangan ganda, dan tumpang tindah.

Lebih jauh lagi, menurut dia, pendelegasian kewenangan memberikan Izin Usaha Pertambangan kepada pemerintah daerah bertentangan dengan Ayat (2) Pasal 33 UUD 45. Secara gamblang memberikan kewenangan pengelolaan bumi air kepada negara dalam hal ini adalah pemerintah pusat sebagai pemilik kedaulatan. 

"Kalimat di dalamnya yang menyatakan 'dikuasai oleh negara' artinya dimiliki oleh tingkatan pemerintahan yang memiliki kedaulatan, yaitu pemerintah pusat," katanya menjelaskan.

Menurut dia, sumber masalah yang direfleksikan pada Kasus Bima itu ada pada  Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang sudah diperbaiki dengan UU Nomor 32/2004 tentang Pemerintah Daerah. Produk hukum terakhir ini memberikan kewenangan kuasa pertambangan kepada pemerintah daerah dalam PP 75/2001 tentang Pengelolaan Pertambangan di Daerah.

Ketentuan peratuan perundangan itu diperkuat UU Nomor 9/2004 tentang Mineral dan Batu Bara yang memberikan kewenangan IUP kepada pemerintah daerah.

(A037)

Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2012