Jakarta (ANTARA News) - Mengubah atau memperbaiki sesuatu yang sudah mendarah daging benar-benar tak semudah membalikkan telapak tangan, apalagi kalau urusannya sudah berhubungan dengan uang.

Namun, dengan kesungguhan dan ketegasan, sesuatu yang semula dikira tidak akan bisa dilakukan, ternyata bisa. Sekali sebuah awal bisa dilakukan, dengan modal perasaan "ternyata bisa", maka semuanya akan benar-benar bisa dilakukan, bahkan lebih baik lagi.

Menata PT Kereta Api Indonesia (KAI) dengan perasaan "ternyata bisa" itu diungkapkan oleh Menteri BUMN Dahlan Iskan dalam prolog buku berjudul "Jonan & Evolusi Kereta Api Indonesia" yang ditulis Hadi M Djuraid.

Dalam prolog tersebut, Dahlan memuji keberhasilan PT KAI di bawah Direktur Utama Ignasius Jonan yang berhasil mempertahankan keberhasilan menyelenggarakan angkutan Lebaran pada 2013, bahkan lebih baik daripada 2012.

Hal itu menunjukkan perbaikan pelayanan di kereta api bukan usaha musiman tapi usaha yang tersistem. Sistem yang ditetapkan tahun lalu ternyata valid dan solid. (halaman 20)

Buku setebal 336 halaman yang diterbitkan PT Mediasuara Shakti - BUMN Track itu menceritakan keberhasilan PT KAI menata dan memperbaiki diri di bawah kepemimpinan Ignasius Jonan.

Ignasius Jonan, figur luar PT KAI yang lebih banyak memiliki pengalaman di perbankan. Sebelum di PT KAI, dia sukses di Citibank. Dia juga sempat dipercaya memimpin PT Bahana Pembinaan Usaha, sebuah BUMN di bidang jasa keuangan yang saat itu sedang bermasalah, setelah akhirnya kembali ke Citibank.

Adalah Menteri BUMN Sofyan A Djalil yang pada 2009 yang secara khusus memintanya membenahi perkeretaapian Indonesia. "Kalau Anda tidak bisa, tidak ada orang di Indonesia yang bisa," begitu kata Sofyan menantang, sekaligus meletakkan tanggung jawab besar di pundak Jonan. (halaman 28)

Maka, jadilah Jonan dilantik sebagai Dirut PT KAI pada 25 Februari 2009, menggantikan Roni Wahyudi yang menjabat sejak September 2005.


Bukan bidangnya

Sebagai orang luar PT KAI, Jonan merasa perkeretaapian bukanlah bidangnya. Namun, dia tidak menolak saat diminta memimpin PT KAI yang saat itu kondisinya sedang kacau dan terus membukukan kerugian.

Pada 2005 dan 2006 PT KAI masih bisa membukukan laba bersih sebesar Rp6,9 miliar dan Rp14,2 miliar. Namun, tahun berikutnya kinerja keuangan terjun bebas hingga membukukan rugi Rp38,6 miliar dan melonjak 100 persen menjadi Rp82,6 miliar pada 2008. (halaman 28)

Berbekal kegemarannya naik kereta api ketika berada di luar negeri, dia mencatat dan mencermati bagaimana pelayanan terhadap penumpang, kondisi stasiun, manajemen dan profesionalisme petugas.

Dengan bekal pengalaman menggunakan kereta api di luar negeri, Jonan melakukan sejumlah langkah cepat untuk menyelamatkan dan mencegah kondisi keuangan semakin parah.

Hasilnya ternyata tak mengecewakan, dari rugi Rp82,6 miliar pada 2008, PT KAI meraup laba bersih Rp155 miliar pada 2009. Bila pada 2007 dan 2008 kondisi kesehatan perusahaan adalah BBB alias kurang sehat, sejak 2008 PT KAI sudah masuk kategori BUMN sehat dengan peringkat A. (halaman 31)

Tak hanya itu, PT KAI dan Jonan pun berhasil meraih berbagai penghargaan. Diantara penghargaan yang berhasil diraih adalah dalam ajang BUMN Innovation Award 2013, KAI meraih "The Best Product Innovation" untuk "Rail Ticket System" (RTS), "The Best Technology Innovation untuk sistem pencegah pelanggarann sinyalatau "Automatic Train Stop" (ATS) dan "Gold Level" untuk "The Best Corporate Innovation Culture and Management".


Dimulai dari toilet

Ada yang menarik dalam melihat keberhasilan Jonan bersama PT KAI. Menteri Dahlan Iskan menilai keberhasilan proses transformasi PT KAI tidak lain karena perusahaan itu berhasil membenahi toilet di rangkaian kereta. Toilet? Ya, toilet.

Di awal memimpin, Jonan bertanya kepada pejabat yang bertanggung jawab terhadap kebersihan toilet. Apakah toilet bisa diubah menjadi lebih bersih dan sehat? Jawaban yang diberikan sangat mengejutkan: tidak bisa karena sudah sejak dahulu seperti itu. Sebuah jawaban yang menggambarkan "mindset" dan kultur yang jauh dari orientasi melayani. (halaman 49)

Maka, perbaikan toilet di rangkaian kereta api pun dilakukan. Hasilnya, kini di seluruh rangkaian kereta api jarak menengah dan jauh, toiletnya kini bersih dan wangi. Air pun tersedia sesuai kebutuhan, lengkap dengan sabun cair.

Perubahan terhadap toilet itu mendapat kesan masyarakat terhadap kereta api mulai berubah. Bahkan, ada seorang penumpang kereta api yang tak segan-segan menuliskan kesan dan pujian terhadap toilet di situs media warga Kompasiana.

Berawal dari toilet, maka kesan positif dan pujian penumpang pun mengalir kepada perusahaan secara umum. Namun, yang paling penting adalah terjadi perubahan "mindset" awak kereta api secara keseluruhan.

Terjadi perubahan dari "product oriented" ke "customer oriented". Seluruh potensi dan sumber daya diarahkan untuk "customer friendly", sehingga kereta api bisa merebut kembali hati masyarakat pengguna transportasi.


Rugi jadi laba

Salah satu hal lain yang disorot dalam buku Hadi M Djuraid ini adalah perubahan keuangan PT KAI dari sebelumnya merugi menjadi mendapatkan laba yang signifikan.

Tentu adalah suatu hal yang mengherankan, ketika dulu kereta api terkesan selalu menarik penumpang sebanyaknya-banyak hingga melebih kapasitas, ternyata justru merugi.

Bandingkan dengan sekarang, ketika PT KAI menerapkan aturan "one seat one passenger" dan tiket dijual berdasakan kapasitas kereta serta seluruh penumpang harus duduk, ternyata PT KAI justru mendapatkan laba.

Dalam buku ini, pembaca akan dapat menemukan beberapa fakta yang menyebabkan PT KAI sebelumnya terus menerus merugi. Penyebabnya, salah satunya adalah banyak kebocoran-kebocoran penjualan tiket.

Penumpang berjubel di atas kereta api, ternyata karena banyak yang tidak membeli dan memiliki tiket. Untuk dapat naik ke atas kereta, banyak diantara penumpang yang memilih memberikan "salam tempel" kepada petugas kereta api atau masinis.

Begitu pula dengan calo yang sebelumnya banyak berkeliaran di stasiun. Ternyata keberadaan para calo itu karena bekerja sama dengan "orang dalam".

Pada salah satu kesempatan, Jonan menuturkan pernah bertemu dengan seorang bankir yang merupakan teman lamanya. Saat itu, sang bankir menceritakan bahwa ada beberapa mantan kepala daerah operasi dan kepala divisi regional yang memiliki deposito belasan miliar. (halaman 126-127)

Hal itu tentu saja sangat mengherankan. Di tengah kondisi PT KAI yang dulu terpuruk, kondisi sarana dan prasarana sudah tua dan merugi, ada beberapa pejabat yang bisa menikmati hasilnya.


Komunikasi intensif

Sebagai pemimpin, Jonan pun tak segan-segan berkomunikasi langsung kepada anak buahnya. Teknologi yang semakin maju dengan banyaknya alat komunikasi membuat komunikasi Jonan dengan anak buahnya semakin intensif.

Tak jarang sampai dini hari, saat sebagian besar orang terlelap, dia masih sibuk membaca laporan-laporan dari anak buahnya melalui surat elektronik. Tak hanya membaca, dia pun tak segan membalas, bertanya, menjawab dan memberikan pujian.

Jonan pun tak segan menerima kritik dan masukan dari luar. Ketika ada kritikan, masukan bahkan pujian dari luar, dia pun tak segan-segan memberitahukan kepada seluruh anak buahnya melalui "mailing list".

Gaya kepemimpinan Jonan itu mendapat perhatian dari CEO dan Founder Markplus Inc Hermawan Kertajaya. Dalam testimoninya di bagian awal buku. Hermawan mengatakan Jonan merupakan Pemimpin 3.0.

Menurut Hermawan di halaman 16, Pemimpin 1.0 adalah pemimpin yang mementingkan kesuksesan diri sendiri dengan berorientasi pada perintah dan instruksi. Sedangkan Pemimpin 2.0 adalah pemimpin yang memperlakukan karyawan layaknya "customer" sehingga harus disenangkan.

Tetapi Jonan adalan Pemimpin 3.0, yaitu sosok yang memimpin dengan "human spirit". Para direksi, manajer, staf dan karyawan pada umumnya mengikuti apa yang dia kehendaki karena mereka melihat pemimpinnya mengedepankan kejujuran, bersih, amanah dan kerja keras. Ia disegani bukan ditakuti.
(D018/Z003)

Oleh Dewanto Samodro
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2013