Jakarta (ANTARA News) - Lingkaran Survey Indonesia (LSI) menyebutkan mayoritas publik Indonesia dari Aceh sampai Merauke tetap kokoh mengidealkan Indonesia mengembangkan sistem kenegaraan berdasarkan Pancasila, dan hanya sebagian kecil yang menginginkan Indonesia seperti negara demokrasi di Barat maupun negara Islam di Timur Tengah. Menurut Direktur Eksekutif LSI, Denny JA, saat memaparkan hasil survei LSI tentang "Respon Publik atas Perda Bernuansa Syariat Islam" di Jakarta, Kamis, mayoritas publik juga setuju penerapan hukum nasional yang menjamin keberagaman, dan bukan hukum Islam. LSI melakukan survei di 33 provinsi mulai 28 Juli - 3 Agustus 2006 dengan responden sebanyak 700 orang. Metode yang digunakan adalah "multi-stage random sampling" dan wawancara tatap muka dengan "margin of error" sekitar 3,8 persen. Berdasarkan survei itu, 69,6 persen publik tetap kokoh mengidealkan Indonesia mengembangkan sistem kenegaraan berdasarkan Pancasila, dan hanya 3,5 persen yang menginginkan Indonesia seperti negara demokrasi Barat, dan 11,5 persen menginginkan seperti negara Islam di Timur Tengah. Idealisme sistem kenegaraan Pancasila, bukan demokrasi ala Barat atau ala Timur Tengah, ternyata menyebar rata dalam mayoritas rakyat Indonesia. Bahkan 67,4 persen publik yang beragama Islam berpandangan yang sama tentang sistem kenegaraan berdasarkan Pancasila, walau tidak sebesar rakyat yang beragama Kristen (81,7 persen) dan agama lainnya (90,9 persen). Persepsi yang mengidealkan Pancasila ternyata juga merata di berbagai latar belakang politik, termasuk di kalangan pemilih partai yang berbasiskan Islam, seperti PPP (55,2 persen), walau tidak sebesar di parpol yang berbasiskan kebangsaan, seperti PDIP (79 persen), Golkar (74,1 persen) dan Partai Demokrat (71,4 persen). Mayoritas publik mengidealkan sistem kenegaraan Pancasila, karena 66,7 persen publik merasa bahwa Pancasila adalah ideologi simbolik yang lebih cocok dengan keberagaman yang ada, baik dari suku, agama, adat, ras maupun golongan. "Idealisme terhadap Pancasila bisa pula dianggap pilihan mayoritas rakyat Indonesia agar negara kita mengembangkan sistem yang berakar dari kultur, tradisi, dan sejarah Indonesia sendiri," kata Denny. Survei LSI itu juga menunjukkan 64,3 persen publik menyetujui penerapan hukum nasional yang menjamin keberagaman, dan bukan penerapan hukum Islam. Mayoritas publik yang beragama Islam (61,7 persen) lebih memilih hukum nasional yang menjamin keberagaman dibandingkan hukum Islam. Mayoritas publik yang beragama Kristen (78,5 persen) maupun agama lainnya (90,9 persen) juga mendukung penerapan hukum nasional. Keberagaman dan kebangsaan Mengenai moderatnya perilaku Muslim Indonesia terhadap keberagaman, Denny menyebutkan bahwa mayoritas Muslim Indonesia sejak lama memang berorientasi lebih banyak kepada keberagaman dan kebangsaan. Hal itu dapat dilihat dari Pemilu bebas yang dilaksanakan Indonesia tahun 1955, 1999, dan 2004, di mana Pemilu dimenangkan parpol yang berbasiskan kebangsaan (PNI, PDIP, Golkar), dan bukan parpol yang berazaskan Islam. Penerapan asa tunggal Pancasila di era Orba ternyata juga berpengaruh besar dalam pembentukan kesadaran akan keberagaman, apalagi NU dan Muhammadiyah sejak lama ikut mendeklarasikan pentingnya asas tunggal Pancasila sebagai basis bernegara. Survei LSI itu juga menunjukkan mayoritas publik setuju diterapkannya UU Anti Kemaksiatan. Lebih dari 80 persen publik setuju diterapkannya aturan yang melarang peredaran minuman keras, perjudian, dan pelacuran. Namun, mayoritas (53 persen) setuju agar aturan maksiat itu diatur dalam KUHP, sehingga tidak perlu dibuat perda. Sebanyak 61 persen publik setuju bahwa kesusilaan dan moral ditegakkan melalui penerapan hukum yang konsisten, dan bukan dengan perda yang bernuansa syariat Islam. Publik memberikan respon berbeda atas 3 jenis hukum Islam, yakni perdata, pidana, dan tata negara. Mayoritas setuju atas hukum perdata Islam, seperti warisan (58,5 persen), perwakafan (59,5 persen), dan aturan haji sebanyak 75,5 persen. Mayoritas publik tidak setuju atas penerapan hukum pidana Islam, seperti menghukum yang tidak mengenakan busana Muslim (tidak setuju 77,3 persen), potong tangan untuk pencuri (tidak setuju 77,3 persen), hukum cambuk untuk pemabuk ( tidak setuju 56,4 persen), rajam untuk orang berzinah (tidak setuju 63,3 persen), dan hukum mati untuk murtad ( tidak setuju 71,2 persen). Selain itu, mayoritas muslim (54,9 persen) tidak setuju dengan penerapan hukum tata negara Islam. Survei itu juga menunjukkan bahwa 61,4 persen publik Indonesia mengkhawatirkan perda bernuansa syariat Islam akan mendorong perpecahan. Kekhawatiran itu bahkan menjadi mayoritas (59,7 persen) di kalangan warga Indonesia beragama Islam. Menurut Denny, hasil survei LSI itu memperkuat dugaan bahwa mayoritas Muslim disini memang moderat, dan berbeda dengan mayoritas muslim di Timur Tengah. "Sejak Bung Karno hingga era Susilo Bambang Yudhoyono, mereka dipimpin oleh Presiden yang memiliki komitmen kuat sekali dengan keberagaman yang disimbolkan oleh Pancasila. Bahkan Abdurrahman Wahid adalah penggagas keberagaman itu," katanya. (*)

Copyright © ANTARA 2006