Jakarta (ANTARA News) - Komunikasi publik yang dilakukan pemerintah melalui  Polri dan BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) dalam merespon isu terorisme dinilai belum berhasil.

"Selain dianggap belum efektif mencegah terorisme, respon dua lembaga itu juga saya nilai memunculkan apatisme publik terhadap aparat hukum," kata Peneliti Senior Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Toto Izul Fatah di Jakarta, Selasa.

Menurut Toto, setidaknya ada dua isu penting yang harus direspon cerdas oleh Polri dan BNPT terkait kasus terorisme, yaitu  penjelasan Polri yang terkesan paradoks. Di satu sisi para teroris itu sering digambarkan sebagai kelompok terlatih dan canggih karena kemampuannya untuk terus hidup dan melancarkan aksinya, termasuk kemampuan merakit bom dan memasok senjata dari luar negeri.

"Tapi, disisi lain, Polri mengungkap fakta berbeda tentang lugunya kelompok teroris ini. Misalnya, untuk kelompok teroris sekelas Dayat CS yang ditembak mati di Ciputat, dengan lugunya masih meninggalkan jejak dengan terungkapnya sejumlah dokumen rencana pemboman di sejumlah tempat. Termasuk, selalu meninggalkannya jejak buku panduan jihad," katanya.

Direktur Eksekutif Citra Komunikasi LSI itu mengatakan, dari beberapa kali aksi penggerebekan terhadap teroris, selalu ditemukan adanya buku panduan jihad.

Toto menegaskan, penjelasan tersebut penting agar Polri terhindar dari tudingan miring kemungkinan adanya rekayasa, terutama dari kelompok agama tertentu yang merasa dirugikan dengan pengungkapan barang bukti para teroris yang selalu ada buku panduan jihad.

Toto mempertanyakan, penjelasan Polri yang juga terkesan paradoks dalam konteks sasaran aksi para teroris. Di satu sisi, Polri selalu menggambarkan kehebatan dan keterlatihan mereka itu dengan mentalnya yang sudah siap mati, sehingga perlu ditembak. Tapi, disisi yang lain, sasaran aksi mereka seperti menggambarkan keluguannya.

Sebelumnya Kapolri Jenderal Pol Sutarman menyatakan gerak-gerik teroris yang diungkap di Ciputat, Jakarta, pada beberapa waktu lalu itu sebenarnya sudah diikuti sejak 4 Agustus 2013.

"Penangkapan di Ciputat itu dilakukan setelah kami ikuti sejak 4 Agustus 2013 hingga akhirnya digerebek," katanya saat menghadiri Konsolidasi TNI-Polri Dalam Rangka Pengamanan Pemilu 2014 di Mapolda Jatim, Jumat (3/1).

Menurut dia, meski sudah banyak pelaku teroris dihukum mati dan ada pula yang tewas saat dieksekusi polisi, tapi jaringan terorisme di Indonesia tidak akan pernah mati, karena mereka akan terus berusaha mengembangkan jaringannya.

"Alasannya, teroris punya ideologi yang sangat kuat, bahkan jaringan mereka juga sangat kuat. Sel-sel teroris tidak pernah mati. Ideologi mereka sangat kuat. Mereka akan selalu hidup selama jaringan-jaringan atau anggota kelompok mereka masih hidup," katanya.

Oleh karena itu, katanya, penangkapan di Ciputat pada beberapa waktu lalu itu tidak akan menghentikan pengawasan Polri terhadap pergerakan-pergerakan teroris di beberapa daerah, seperti Jatim, Jakarta, Jateng, Poso, Aceh, Sulawesi, dan daerah lainnya.(*)

Pewarta: Ruslan Burhani
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2014