Jika jumlah sengketa pemilihan umum (pemilu) dari tahun ke tahun menurun, itu menandakan masyarakat Indonesia semakin dewasa dalam berpolitik,"
Yogyakarta (ANTARA News) - Kuantitas sengketa pemilihan umum yang ditangani Mahkamah Konstitusi dapat menjadi indikator kedewasaan berpolitik masyarakat Indonesia, kata hakim Mahkamah Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi.

"Jika jumlah sengketa pemilihan umum (pemilu) dari tahun ke tahun menurun, itu menandakan masyarakat Indonesia semakin dewasa dalam berpolitik," katanya di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Jumat.

Pada diskusi "Peran Mahkamah Konstitusi Dalam Menyelesaikan Sengketa Pemilu Legislatif dan Presiden", ia mengatakan jika pada 2009 ada 600 lebih kasus, kalau sekarang partainya 15 kemudian yang ada sengketa 100 atau 200 kasus, itu pembacaan statistiknya masyarakat Indonesia semakin dewasa.

Menurut dia, negara melalui MK memang memiliki kewajiban untuk menyelesaikan sengketa yang ada. Namun, penyelesaian sengketa yang melibatkan lembaga atau perorangan sejatinya dapat diselesaikan sendiri.

Ketika pihak yang bersengketa membawa kasusnya ke MK, itu menandakan lembaga atau perorangan yang bersengketa telah gagal menyelesaikan sengketanya sendiri.

"Penyelesaian seharusnya antara pelaku, tetapi ketika telah meminta mahkamah, maka mereka telah gagal mengelola sengketa mereka sendiri," kata alumnus Fakultas Hukum UMY itu.

Ia mengatakan pemilu tanpa sengketa dalam sebuah negara demokrasi adalah pemikiran yang naif. Hampir tidak ada negara demokratis di dunia yang dapat menjalankan pemilu tanpa adanya sengketa, begitu juga di Indonesia.

Hal itu terjadi karena pemilu merupakan kontestasi hak warga negara yang berwujud persaingan politik yang dijamin oleh konstitusi. Negara harus mampu untuk menyelesaikan sengketa tersebut.

"Dengan demikian, jika pada Pemilu Legislatif 2014 akan ada banyak sengketa di MK maka dapat diukur kedewasaan politik di Indonesia," katanya.

Rektor UMY Bambang Cipto mengatakan fenomena sengketa dalam pemilu tidak hanya ditemukan pada negara dunia ketiga, tetapi juga terjadi di negara maju yang telah memiliki demokrasi yang matang seperti Amerika Serikat (AS).

"Pemilu di dunia tidak ada yang bersih dari sengketa. Setiap pemilu selesai dilaksanakan selalu ada sengketa," kata Guru Besar Ilmu Hubungan Internasional UMY itu.(*)

Pewarta: Bambang Sutopo Hadi
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2014