Jakarta (ANTARA News) - Buku karya dosen ilmu Hubungan Internasional Universitas Padjajaran (Unpad), Dr Teuku Rezasyah, ini unik karena mencoba menelusuri rahasia kemenangan para selebritis dalam Pemilu Legislatif.

Dalam buku setebal 132 halaman terbitan Alfabeta, Bandung, penulis mengidentifikasikan selebritis sebagai para bintang iklan, pemain film, aktor sinetron, pembawa acara, presenter berita di televisi, penemu goyang ngetop, peramal, peragawan, pedangdut, pesinden, pemain musik, pesulap, dalang, bahkan atlit.

Dengan balutan bahasa yang ringan dan lucu, buku ini menjabarkan strategi yang perlu disiapkan oleh para selebritis bersaing di kancah politik nasional, mulai dari mendekati penjaringan partai, masa-masa penjaringan, menjajal kampanye, dan melalui detik-detik pemungutan suara.

Menurut penulis, para selebritis memiliki beragam keunggulan dibanding calon legislatif lain yang bukan berlatar belakang dunia kesohoran. Tujuh keunggulan itu disebut dengan 7-O meliputi otak, otot, ongkos, obat, ole'ng, omong, dan oleh-oleh.

Berbekal modal 7-O ini, para selebritis berpeluang merebut kursi legislatif, bahkan eksekutif, atau sebaliknya dari eksekutif berpindah ke legislatif.

Meski berpeluang besar untuk sukses di karir politik, penulis yang juga alumnus universitas Australia ini ingin menyadarkan bahwa selebritis tidak boleh gegabah sebab menjadi petinggi negeri haruslah membawa kemajuan bagi Ibu Pertiwi.

"Para selebritis harus bisa introspeksi, karena ada di antara mereka yang menjadi anggota parlemen karena mengandalkan faktor kesohoran plus kedekatan dengan pimpinan partai. Sementara kemampuan berpolitiknya masih sangat minim," ujar Dr Teuku Rezasyah.

Istilah lain yang ditawarkan dari buku ini adalah klasifikasi Tingkat Kualitas Politikus (TKP) yang setidaknya ada lima jenis.

TKP pertama adalah TKP Bayi. Ini adalah selebritis yang mendadak duduk di parlemen karena mereka sangat terkenal.

Berikutnya adalah TKP Balita, mereka yang sedang belajar berpolitik namun sangat bersemangat untuk terjun ke dunia politik.

Tipe ketiga adalah TKP ABG yaitu selebritis usia 35-40 tahun tapi kurang berhati-hati dalam mengambil keputusan.

TKP keempat adalah Remaja Kolot, di mana mereka merasa dirinya sudah senior, berani bermain mata dengan parpol lain.

Yang terakhir adalah TKP Dewasa, yakni selebritis yang sudah berusia di atas 50 tahun dan banyak pengalaman sehingga berani meminta jabatan kepada parpol manapun yang dipandang bisa menguntungkan mereka.

Tanpa menyebutkan nama partai dan selebritis, penulis buku ini berusaha mengajak pembaca untuk bersikap kritis terhadap sepak terjang para selebritis yang kondang berparlemen.

Buku yang terbit menjelang Pemilu Legislatif 2014 ini juga menawarkan cara berpolitik yang bermartabat bagi para selebritis, dengan rujukan prinsip-prinsip profesionalisme layaknya pemain golf, sepak bola, dan catur.

Sebagai pemandu para selebritis, buku ini juga menyediakan dua perspektif dalam berpolitik. Yang pertama adalah cara Petruk, yang mengutamakan kekuasaan, dan cara kedua adalah cara Ratu, yang mengutamakan kemulyaan negara.

Ada 14 contoh yang bisa dipelajari selebritis yang menjadi anggota dewan, mulai dari cara atau sikap di hari pelantikan, cara memimpin rapat, pembahasan pejabat negara, melakukan kunjungan kerja, menghadapi tender, sampai tips menghadapi rayuan korupsi.

Meskipun ditulis secara sederhana, buku ini patut menjadi referensi bagi para selebritis yang menapaki karir politik. Buku ini juga pantas dibaca oleh masyarakat yang peduli dengan sepak terjang pesohor di kancah parlemen. Apakah selebritis kita sudah layak menjadi wakil rakyat?
(E012)

Oleh Ella Syafputri
Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2014