Jakarta, 11 Juni 2014 (ANTARA) -- Terancamnya beberapa jenis ikan endemik dan punahnya beberapa jenis ikan endemik Indonesia di beberapa perairan umum merupakan ancaman serius terhadap keanekaragaman dan kelestarian sumberdaya ikan Indonesia. Kenyataan ini memberi pelajaran untuk segera mengambil langkah konkrit dan strategis agar dampak negatif dari introduksi ikan asing dapat diminimalisir.  Untuk itu Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah melakukan upaya konkrit dan strategis dalam rangka mencegah dan mengendalikan species invasif. Demikian disampaikan Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif C. Sutardjo di Jakarta, Senin (9/6).

Menurut Sharif, upaya yang telah dilakukan KKP di antaranya penyusunan regulasi sebagai penjabaran lebih lanjut atas pengesahan konvensi PBB mengenai keanekaragaman hayati. Kedua, disusun pijakan bagi institusi teknis dalam menyusun ketentuan operasional dalam pelaksanaan pengawasan dan pengendalian Species Invasif. “Untuk itu perlu segera ditetapkan Species Invasif dari jenis ikan, sehingga pelaksanaan pengawasan dan pengendaliannya  menjadi semakin lebih fokus dan terarah”, kata Sharif.

Sharif menjelaskan, untuk mencegah dan mengendalikan species invasif perlu keterlibatan berbagai pihak secara bersama melalui koordinasi yang kuat lintas sektoral untuk membangun kebersamaan di tingkat nasional.  Termasuk upaya peningkatan dukungan pemerintah terhadap penelitian dan pengembangan terkait dengan dampak species asing invasif, seperti dengan metode untuk mitigasi dampak. Perlunya segera dilakukan pengendalian terhadap species invasif yang sudah menetap secara domestik bersama instansi pemerintah lainnya. Seperti dengan Kementerian Pertanian, Kementerian Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup) di bawah koordinasi Kementerian Lingkungan Hidup sebagai focal point dari Convention on Biological Diversity (CBD). “Perlu dibangun sebuah sistem informasi yang lengkap menyangkut penyebaran dan perdaran, deteksi ancaman dan serangan. Serta upaya pengendalian dan eradikasi species invasif  domestik atau internasional di masing-masing kementerian teknis, yang saling bertaut,” tambah Sharif.

Menyadari pentingnya hal tersebut, KKP melalui Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) bersama beberapa kementerian terkait, hari ini (9/6) menyelenggarakan Seminar tentang Strategi Nasional Pengelolaan Spesies Invasif. Kegiatan tersebut bertujuan meningkatkan pemahaman tentang strategi dan langkah-langkah pengelolaan spesies invasif di Indonesia, sekaligus sebagai langkah nyata dalam pencegahan dan pengendalian SAI di tanah air.

Kepala BKIPM  Narmoko Prasmadji di sela kegiatan seminar tersebut menjelaskan, upaya pencegahan terhadap species yang berpotensi sebagai species invasif, harus dapat dilaksanakan di semua titik-titik pelabuhan pemasukan di seluruh Indonesia. Terutama dengan mengintegrasikan perkarantinaan dan penilaian resiko lingkungan sebelum dilakukan suatu introduksi species. Upaya lain, mengembangkan kerangka kerja legal berkaitan dengan spesies invasif di Indonesia sebagai dasar aturan analisis risiko dan sistem pengendalian species invasif.  Baik untuk pemasukan dan pengeluaran maupun untuk eradikasi species invasif yang sudah mapan di Indonesia. Perlu juga dilakukan peningkatan pemahaman masyarakat terhadap species invasif, melalui sosialisasi, edukasi maupun penegakan hukum. “KKP juga telah berupaya mengendalikan  kemungkinan masuknya jenis asing invasive tersebut dengan menerbitkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: PER.17/MEN/2009 tentang Larangan Pemasukan Beberapa Jenis Ikan Dari Luar Negeri ke Dalam Wilayah Negara Republik Indonesia,” ungkap Narmoko.

Narmoko menjelaskan, dampak negatif introduksi ikan asing, telah dirasakan di Indonesia dan banyak Negara.  Meledaknya populasi ikan Sapu-sapu, Keong Mas dan ikan Mujair di beberapa perairan umum
menunjukkan adanya dominasi dan ketidak seimbangan populasi yang  dapat menurunkan populasi bahkan mungkin kepunahan species ikan asli di perairan. Populasi ikan Mujair di  waduk Cirata semakin berkurang, tapi ironisnya populasi ikan Louhan meningkat, sedangkan di waduk Sempor, Jawa Tengah, ikan  Wader dan ikan Betik yang dulunya berlimpah sekarang sudah jauh berkurang, dan sebaliknya ikan Oscar dan Louhan banyak ditemukan. “Ikan-ikan asli di perairan Bangka seperti Belida, Tapah sekarang populasinya tergusur oleh ikan Toman yang dahulu ditebarkan sebagai upaya reklamasi bekas galian tambang,” katanya.

Ditambahkan, populasi ikan Depik, ikan asli danau Laut Tawar, Aceh mulai terdesak oleh ikan Nila yang diintroduksikan ke danau tersebut. Ikan setan merah (red devil) yang masuk secara tidak sengaja bersama aneka jenis benih ikan di waduk Sermo, Yogyakarta populasinya semakin tidak terkendali, memangsa ikan lain seperti ikan Mas, Tawes, Nila di waduk tersebut. Setelah 10 tahun sejak ikan itu masuk ke waduk tersebut, hasil tangkapan semakin menurun dan sekitar 75% dari hasil tangkapan adalah ikan red devil. Saat ini ikan tersebut juga semakin mengancam populasi ikan lain di Waduk Cirata, dan Kedung Ombo. “Contoh lain, Lobster air tawar Cherax quadricarinatus yang diintroduksikan ke danau Maninjau, Sumatera Barat dikhawatirkan akan menjadi jenis invasif karena lobster ini mempunyai laju pertumbuhan dan fekunditas yang superior,” tambah Narmoko.

Menurut Narmoko, bersamaan masuknya jenis ikan asing, masuk Juga beberapa jenis penyakit asing eksotik yang menyerang ikan budidaya maupun ikan perairan umum. Beberapa jenis penyakit eksotik yang masuk ke Indonesia ada 13 jenis. Di antaranya, Lerneae cyprinacea, pada ikan Mas, Viral Nervous Necrosis Virus (VNNV)  pada ikan Kerapu, Koi herpes virus (KHV) pada ikan Koi dan Mas, White Spot Syndrome Virus (WSSV) dan Taura Syndrome Virus (TSV) pada udang.  Wabah penyakit pertama diketahui tahun 1932 di Jawa Tengah dan Jawa Barat yang disebabkan  parasit Ichthyophthirius multifilis yang diduga masuk ke Indonesia bersama ikan yang diimpor dari Amerikan dan Eropa. Parasit Myxobulus pyriformis menyebabkan kematian masal benih ikan Mas di Jawa Tengah pada tahun 1951. “Lernaea cyprinacea, parasit cacing berbentuk jangkar yang berasal dari Jepang masuk pada awal 70-an menyebabkan kematian sekitar 30% benih ikan Mas, ikan Tawes, ikan Tambakan, ikan Gurame di pulau Jawa, Sumatera Utara dan Sulawesi Utara,” jelasnya.  

Untuk keterangan lebih lanjut, silakan menghubungi Anang Noegroho, Pelaksana Tugas Kepala Pusat Data Statistik dan Informasi, Kementerian Kelautan dan Perikanan (HP. 0811806244)

Editor: PR Wire
Copyright © ANTARA 2014