Kalau selisih besar, tapi hasilnya berbeda, maka ada yang tidak independen"
Surabaya (ANTARA News) - Direktur Institute for Strategic and Development Studies (ISDS) Jakarta M Aminuddin menegaskan quick count atau hitung cepat memandu independensi lembaga pemilu seperti KPU sehingga mendorong pilpres yang jurdil (jujur dan adil).

"Quick Count itu bisa menilai apakah lembaga pemilu itu fair atau tidak. Kalau melihat hasil quick count Pilpres antarlembaga survei atau antara lembaga survei dengan lembaga pemilu (KPU) itu memiliki selisih suara 1-2 persen, maka metodenya masih benar," katanya kepada Antara, Sabtu.

Namun, menurut dia, kalau selisih suara antarlembaga survei atau antara lembaga survei dengan lembaga pemilu (KPU) itu mencapai 4-5 persen atau bahkan di atas 5 persen, maka metode salah satu pihak patut dipertanyakan.

"Selisih suara yang tipis itu mungkin terjadi, karena perbedaan sampel atau pengambilan sampel dari penumpukan basis calon tertentu yang berbeda," kata dia.

Menurut dia, bila selisih tipis, maka perbedaan hasil itu sangat mungkin seperti sudah terbukti dalam Pilgub Jawa Timur 2008, Pilkada Palembang, dan Pilkada Bali. "Kalau selisih besar, tapi hasilnya berbeda, maka ada yang tidak independen," katanya.

Ia menyatakan metode yang tidak valid dalam survei itu mudah diverifikasi. "Kalau verifikasi dari awal itu tidak mudah, tapi bisa saja dicek pada data yang masuk pada komputer dari lembaga survei yang dicurigai," katanya.

Tentang sumber dana dari lembaga survei, ia menilai hal itu mungkin ada kaitannya dengan kandidat maupun parpol tertentu, karena biaya survei memang tidak murah, Rp2 miliar ke atas. "Tapi, lembaga survei yang profesional tidak akan bertaruh demi uang," katanya.

Dia memuji langkah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang meminta Prabowo dan Jokowi untuk menghindari pengerahan massa selama belum ada keputusan resmi dari KPU.

"Itu langkah Presiden yang sangat bagus, karena memgembalikan semuanya pada prosedur ke-Pilpres-an, bukan pengerahan massa yang justru berbahaya," kata dia.

Sementara itu, pengasuh Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, KH Salahuddin Wahid yang pernah menjadi calon wakil presiden pada Pilpres 2004 menyatakan Indonesia mulai menggunakan hitung cepat  pada Pemilu 2004.

"Saat itu, kita belajar dari Filipina, lembaga Pemilu di sana dikendalikan pemerintah, maka quick count menjadi ukuran untuk melihat hasil lembaga Pemilu di sana sudah fair atau manipulatif," katanya dalam Twitter (10/7).





Pewarta: Edy M Ya`kub
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2014