Setiap bulan kami membayar Rp15 ribu, lalu kekurangan biaya akan digenapkan di akhir pembayaran."
Jember (ANTARA News) - Jember,punya tradisi khas yang menyambut Lebaran. Tradisi itu juga menyebar ke sekitar Jember, seperti di Bondowoso.

Tradisi itu misalnya dilakukan warga Desa Suco Krajan, Kecamatan Mumbulsari, Kabupaten Jember.

Selang 1-2 hari menjelang Ramadhan berakhir, warga desa disibukkan dengan menyembelih sapi secara beramai-ramai.

Sapi itu merupakan hewan yang dibeli dari hasil "patungan" sejak beberapa bulan sebelumnya.

Mereka arisan bulanan dengan diikuti puluhan warga, tapi ada juga yang langsung membayar secara tunai. Itulah yang disebut dengan tradisi "tompokan".

"Di sini ada 29 anggota yang setiap orang membayar Rp200 ribu. Biasanya, satu tompokan ada 30-50 orang yang setiap orang membayar Rp200 ribu atau Rp100 ribu," kata koordinator tompokan di Desa Suco Krajan, Mumbulsari, Jember, Wawan.

Ia menjelaskan pihaknya mengumpulkan Rp5,8 juta dari 29 anggota tompokan yang akhirnya dibelikan seekor sapi seharga itu, lalu disembelih bersama-sama.

"Biasanya, penyembelihan sapi tompokan memang dilakukan pada 1-2 hari menjelang Lebaran.

Nanti, daging itu dimasak untuk hidangan keluarga dan kerabat yang bersilaturrahmi," paparnya.

Hasil sembelihan pun dibagikan kepada 29 anggota yang setiap orang mendapatkan 3 kilogram daging sapi, lalu mendapatkan tambahan tulang dan uang hasil penjualan kulit sapi.

Pembagian daging sapi untuk Lebaran itu semula dijatah 2,5 kilogram per orang yang diletakkan di atas hamparan daun pisang, lalu daging sisanya dibagi lagi secara merata hingga terkumpul 3 kilogram per orang.

Tradisi serupa juga ada di Grujugan Lor, Bondowoso. "Kalau di sini, kami patungan selama setahun. Setiap bulan kami membayar Rp15 ribu, lalu kekurangan biaya akan digenapkan di akhir pembayaran," tutur warga Grujugan Lor, Bondowoso, Ayub.

Jangan heran, jika bersilaturrahim lebaran di desa akan menerima sajian masakan daging sapi dengan berbagai menu olahan, termasuk makanan yang diantarkan anak-anak muda kepada orang yang lebih tua dalam tradisi "ater-ater". Semuanya dengan lauk daging.

Ya, orang desa memang makan lauk daging dalam setahun sekali dan hal itu terjadi saat lebaran.

Di luar lebaran, lauk mereka seadanya, kadang tahu atau tempe, kadang telur, kadang hanya dengan lauk kerupuk, atau bahkan tanpa lauk.

Ada pula warga desa yang mampu dengan lauk ikan atau daging ayam.

"perang" petasan
Selain tradisi "tompokan", ada pula tradisi "perang" petasan. Petasan itu buatan warga desa sendiri yang dirangkai saat Ramadhan dengan berbagai ukuran, besar atau kecil.

Ukuran terbesar bisa seukuran kaleng cat seberat 5 kilogram.

"Peperangan" dimulai saat malam takbiran sejak pemerintah mengumumkan penetapan awal Syawal dalam Sidang Itsbat yang disiarkan stasiun televisi.

Sejak itulah, bunyi ledakan petasan pun bersahut-sahutan di atas atap rumah warga.

Tradisi "perang" petasan dan kembang api yang lebih "besar" dilaksanakan warga Jember di alun-alun kota pada malam takbiran setelah pukul 00.00 WIB.

"Kalau sehabis Isya masih bersifat dari desa ke desa atau dari kampung ke kampung, tapi kalau sudah malam di atas jam 00.00 WIB akan kumpul semua pakar di alun-alun kota hingga dini hari," ujar warga Kalisat, Jember, Roni.

Bahan petasannya dari tumpukan kertas koran yang diberi dengan obat petasan dan ditutup dengan tanah liat atau batubata.

"Kalau diberi semen justru membahayakan nyawa orang, karena itu sekarang sudah tidak ada lagi, meski bunyi ledakan akan lebih keras dengan bahan semen itu," ucap warga Desa Suco, Mumbulsari, Jember, Baihaqi.

Bahkan, ledakan petasan pun masih terdengar hingga sesaat setelah turun dari lantai masjid desa setempat.

"Mumpung Lebaran, mas. Kalau tidak lebaran, kapan lagi," ujar seorang pemuda desa Suco, Yusuf, sembari tersenyum.

Tak jarang, warga menyulut petasan itu di tengah jalan desa, sehingga setiap kendaraan yang melintas terpaksa menghentikan langkahnya agar tidak terkena semburan ledakan petasan itu.

Tradisi menyambut lebaran yang juga khas desa adalah warga langsung bersilaturrahim kepada tetangga sesaat setelah turun dari lantai masjid desa, terutama anak-anak kecil.

Namun, sebagian warga juga langsung berziarah ke makam leluhur di pemakaman desa yang lokasinya tak jauh dari masjid desa.

"Saya selalu langsung ke makam kakek setelah Shalat Idul Fitri," ungkap warga desa setempat, Syamsul Arifin.

Selanjutnya, warga desa saling bersilaturrahim dan dijamu dengan santapan makanan berlauk daging sapi.

Sebagian anak-anak muda bersilaturrahim kepada orang yang lebih tua dengan "ater-ater" atau makanan hantaran dengan lauk daging sapi.

"Kalau warga yang sangat miskin dan tak mampu melakukan tompokan daging sapi, mereka tetap melakukan ater-ater dengan lauk dari telur dalam berbagai olahan," tutur warga desa setempat, Maryam.

Ya, orang desa meluapkan kegembiraan dalam memaknai lebaran sebagai "hari kemenangan" setelah sebulan menjalani puasa Ramadhan dengan cara yang khas. Khas desa. 

Oleh Edy M Ya`kub
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2014