Islamabad (ANTARA News) - Puluhan ribu demonstran bergerak menuju gedung parlemen Pakistan dalam usaha menggulingkan Perdana Menteri
Nawaz Sharif, sementara militer negara itu mengusulkan perundingan untuk menyelesaikan krisis politik di negeri itu.

Pemimpin partai Tehreek-e-Insaaf yang juga mantan bintang kriket, Iran Khan, beserta ulama Tahir-ul-Qadri, mengatakan pemilu tahun lalu curang dan memimpin demonstrasi yang berlangsung sepekan, menuntut pemunduran Nawaz Sharif.

Unjuk rasa lima hari di Islamabad dan dua hari "arak-arakan" dari kota Lahore, Pakistan timur telah meningkatkan tekanan pada pemerintah berumur setahun setelah kemenangannya dalam pemilu itu.

Pemerintah melarang mereka memasuki "zona merah" Ibu Kota Islamabad, yang merupakan tempat gedung-gedung penting termasuk parlemen, rumah perdana menteri dan sejumlah besar kedutaan besar Barat.

Tetapi Khan dan Qadri tidak mempedulikan seruan itu dan segera setelah tengah malam Rabu ribuan prndukung mereka memasuki zona merah yang dijaga ketat itu, dengan menggunakan derek-derek untuk menyingkirkan peti-peti kemas yang diletakkan untuk menutup lokasi itu.

Puluhan ribu personil keamanan telah digelar untuk menjaga ketertiban. Pada Selasa petang, pemerintah melipatgandakan personil militer yang menjaga gedung-gedung penting di zona merah menjadi 700 tentara.

Saat para pengikut Khan dan Qadri memasuki zona merah, juru bicara militer Asim Bajwa menyerukan mereka menahan diri dan menyelesaikan konflik itu melalui perundingan.

"Situasi membutuhkan kesabaran, kearifan dan kebijaksanaan dari semua pemangku kepentingan untuk menyelesaikan konflik itu melakukan dialog untuk kepentingan publik dan nasional yang lebih luas.

Intervesi militer larut malam yang tidak diperkirakan terjadi setelah Khan mengeluarkan satu ultimatum menuntut Sharif mundur pada Rabu petang.

"Nawaz Sharif, Saya menunggu pengunduran diri anda sampai besok petang dan setelah itu, kami akan memasuki rumah perdana menteri," kata Khan.

Kendatipun khawatir terjadi aksi kekerasan, tidak ada bentrokan penting saat para pemrotes memasuki zona merah, dan pemerintah berjanji menahan diri.

"Kami akan menghindari penggunaan aksi kekerasan, nyawa manusia jauh lebih berharga bagi kami, mereka membawa anak-anak yang tidak bersalah dan wanita-wanita," kata Menteri Informasi Pervez Rashid.

Baik Khan maupun Qadri telah memerintahkan para pendukung mereka, yang berjumlah sekitar 35.000 orang menghindari aksi kekerasan ketika mereka melakukan protes dekat gedung parlemen.

Akan tetapi Qadri menolak seruan Khan untuk menduduki rumah perdana menteri, dengan mengatakan para pendukungnya akan tetap melakukan aksi damai sampai Sharif mundur.

Amerika Serikat, yang memantau unjuk rasa dengan seksama, mengulangi seruan kepada para pemrotes untuk menghidari aksi kekerasan, mendesak semua pihak "menyelesaikan perbedaan pendapat mereka melalui dialog damai".

"Kami mendesak semua pihak menahan diri dari aksi kekerasan, dan menghormati norma hukum," kata wakil juru bicara Depertemen Luar Negeri Marie Harf.

Keputusan untuk meningkatkan jumlah pasukan dibuat dalam satu pertemuan yang dipimpin Sharif dan dihadiri panglima militer Jenderal Raheel Sharif.

Pakistan yang memiliki senjata nuklir telah dilanda tiga kudeta militer dan protes-protes itu dipicu spekulasi tentang kemungkinan intervnsi angkatan bersenjata. Demikian diberitakan AFP.

Partai Liga Muslim Pakistan-N (PML-N) yang berkuasa dipimpin Sharif menuduh para pemrotes berusaha merusak sistem demokrasi demokrasi yang baru tumbuh, sementara pemerintah berjuang menghadapi pemberontak Taliban dan ekonomi yang merosot.
(H-RN)

Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2014